Galungan di Tenganan Pegringsingan; Tak Ada Penjor dan Bau Dupa, Pertahakan Tradisi Leluhur
Perayaan Galungan di Desa Tenganan Pegringsingan memang beda dengan daerah lain di Karangasem, bahkan di Bali
Penulis: Saiful Rohim | Editor: Widyartha Suryawan
TRIBUN-BALI.COM, AMLAPURA - Rabu (26/12/2018), Umat Hindu merayakan Hari Raya Galungan. Hari suci yang ditunggu-tunggu dalam bentuk peringatan kemenangan dharma atau kebaikan melawan adharma atau kejahatan.
Hari Suci Galungan dirayakan setiap 210 hari dengan menggunakan penghitungan kalender Bali. Kegiatan ini dirayakan selama 10 hari mulai 26 Desember 2018 hingga 5 Januari 2019.
Satu di antara yang merayakan Galungan adalah Desa Adat Tenganan Pegringsingan, Kecamatan Manggis, Kabupaten Karangasem.
Namun, ada yang berbeda dalam merayakan Galungan di desa adat tersebut.
Suasana Hari Raya Galungan terasa sederhana. Sarana dan prasarana sembahyang beda dengan umumnya. Tak ada penjor yang menjadi ciri khas perayaan Hari Raya Galungan.
Bau dupa pun tak tercium. Janur, bungan, dan canang untuk sembahyang sama sekali tak ada. Yang terlihat hanya buah-buahan berisi jaje, serta makanan.
Kelian Ketiga Desa Tenganan Pegringsingan, I Wayan Sudarsana mengakui, perayaan Galungan di Desa Tenganan Pegringsingan memang beda dengan daerah lain di Karangasem, bahkan di Bali.
"Makna Galungannya sama, yakni merayakan kemenangan dharma. Yang membedakan hanya di bantenan, dan tak ada penjor. Kebiasaan ini sudah ada dari dulu. Dan sampai sekarang dijaga," ungkap Sudarsana.
Bantenan yang dihaturkan krama berupa uduan. Komposisi bantenan uduan yakni hasil pertanian dari desa, dan jajan khas Tenganan Pegringsingan. Seperti tumpeng, jaje uli, iwel, angine, gegodoh, jeruk, pisang, nanas, semangka, anggur.
Menurut krama Tenganan Pegringsingan, bantenan uduan bermakna sebagai ucapan rasa syukur ke Tuhan Yang Maha Esa yang memberikan rezeki yang berlimpah.
"Tumpeng itu simbol keikhlasan karena diberi sesuatu yang melimpah kepada kami," jelasnya.
Bantenan uduan dihanturkan di Pura Puseh dan ayam putih tulus yang dipanggang. Dilanjutkan ke Pura Ulun Suarga dan Pura Bale Agung Tenganan, ditambah ayam brunbun serta biing.
"Dari jam 07.00 Wita. Setelah dihaturkan, bantenan uduan dibawa ke Bale Desa untuk dimakan bersama krama," jelas Sudarsana. Sehari sebelumnya, krama juga memotong babi dengan berat 134 kilogram.
Daging babi dibagi jadi tiga bagian untuk persiapan saat Galungan.
"Satu bagian diberikan untuk enam juru arah, dan Jro penyarikan. Sedangkan dua bagian lagi diberikan untuk krama Desa Adat Tenganan Pegringsingan. Lalu kami tambah lagi motong satu ekor babi," ucap Wayan Sudarsana.
Setelah persembahyangan, warga kembali beraktivitas seperti biasa.
Ada yang menulis lontar, berjualan, dan berkebun di Tenganan Pegringsingan. Prosesi ini berjalan setiap Hari Raya Galungan, karena termasuk warisan leluhur yang harus dilestarikan. (saiful rohim)