Smart Women

Kadek Dwita Apriani, Jadi Direktur di Usia 26 Tahun!

Saya masih sering ke lapangan, karena kalau tidak di lapangan tidak tahu dinamikanya

Penulis: Agung Yulianto | Editor: Agung Yulianto
Tribun Bali/Agung Yulianto Wibowo
Kadek Dwita Apriani 

DUNIA riset menjadi kegiatan yang sudah dilakukan Kadek Dwita Apriani sejak masa kuliah. Menurutnya, riset menjadi kegiatan atau pekerjaan yang belum dilirik oleh banyak orang. Apalagi bagi mereka yang baru saja menyelesaikan masa kuliah dan mencari kerja.

Selain itu, belum banyak yang konsisten dalam melakukan riset karena melihat dunia ini belum menjanjikan, termasuk riset di bidang politik. Namun bagi perempuan berusia 26 tahun ini, riset, terutama di bidang politik adalah pekerjaan yang menantang.

"Sudah mulai riset dari 2008, saat masih kuliah di semester lima. Mulai dari ketok pintu rumah untuk melakukan survei jelang pemilu 2009 di Jakarta. Dari satu kampung ke kampung lain," katanya kepada Tribun Bali di Bali Bakery di Jalan Hayam Wuruk, Denpasar, Sabtu (17/5/2014) sore.

Perempuan yang bisa disapa Dedek ini kuliah di Universitas Indonesia (UI) di Jurusan Ilmu Politik pada 2006. Dia lulus dengan predikat lulusan termuda dan tercepat dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,56. Lulusan termuda dan tercepat pertama di jurusan dan kampus yang sama sejak 1960.

Dedek lulus setelah melakukan skripsi Pengaruh Faktor Soroh Terhadap Perilaku Memilih di Bali. Kemudian dia bekerja di perusahaan riset mulai 2010, sembari meneruskan kuliah S2 Ilmu Politik di UI. Dia akhirnya bisa menyelesaikan S2 dengan IPK 3,86.

Hanya dalam empat tahun bekerja sebagai surveyor, Dedek kemudian menjabat sebagai direktur di Cirus, sebuah perusahaan survei di Jakarta.

Namun, sebagai seorang direktur, dosen Universitas Udayana (Unud) ini tetap masih turun ke lapangan sebagai surveyor.

"Saya masih sering ke lapangan, karena kalau tidak di lapangan tidak tahu dinamikanya. Selain itu, saya sudah tahu riset dari A-Z, karena bertahap dari periset, korlap, data entri, dan sekarang jadi direktur. Kalau ada periset yang bohong, saya pasti tahu," ujar perempuan kelahiran 24 April 1988 ini.

Perempuan yang mengenakan kawat gigi ini menganggap riset membawa dampak di kehidupannya sehari-hari. Seperti pada proses pengambilan keputusan, jadi lebih tidak emosional, dan lebih rasional.

Dedek juga mengaku menyukai dunia politik sejak SMA, karena pernah menjadi ketua OSIS. Selain itu, belum banyak perempuan asal Bali yang tertarik mengambil program studi tersebut.

"Saya mau sekolah politik, semua pada kaget, termasuk bapak sendiri. Tapi saya bertanya, kenapa tidak boleh. Akhirnya ya saya kuliah di UI Jurusan Ilmu Politik," kata Dedek seraya tersenyum.

Selain menjadi periset, Dedek juga beraktivitas di lab politik Unud dan mengajar mata kuliah Electoral Engineering dan Sistem Kepartaian, Metode Kuantitatif, Gender dan Politik, dan Komunikasi dan Manajemen Pencitraan di Unud. (guy)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved