Persona

Erick Est, Sutradara Muda Bali Garap Jonas Thomassen

Aku senang menjadi sutradara, tapi bukan di Indonesia. Pemerintah belum bisa mensupport kita sepenuhnya.

Editor: Bambang Wiyono
istimewa
Erick Est 

Laporan Wartawan Tribun Bali: Murthada Murthahari

DIA terlihat fokus memggerak-gerakkan mouse komputer dengan tangan kirinya. Matanya tertuju pada dua layar yang ditaruh berdampingan di hadapannya.

Rambut panjangnya diikat ke belakang. Seketika ia mebalikkan badan dan mempersilakan Tribun Bali masuk ke ruang kerjanya. Dia adalah Erick Ebert Sabungan Tambunan atau biasa disingkat Erick EST.

Pria kelahiran 7 Februari 1980 lalu yang kini sebagai sutradara video klip dan film pendek ini menceritakan kisahnya menginjakkan Bali pada 1999 silam.

Erick yang menghabiskan waktu SMA-nya di Kota Medan sempat mengikuti ujian seleksi masuk universitas. Universitas tujuannya kala itu adalah Institut Tehnik Bandung (ITB) dengan Jurusan Teknik Fisika, Universitas Indonesia (UI) Jurusan Psikiater dan Universitas Udayana dengan Jurusan Seni Rupa Murni.

"Ya hampir semua keluarga adalah orang sains, makanya pilihan pertama saya adalah Teknik Fisika," ujarnya.

Namun Erick tidak beruntung karena gagal diterima di ITB maupun UI. Erick kemudian nekat berangkat ke Bali. Meski, dia hanya punya duit Rp 18 ribu saja. Menurutnya, bukan tidak mau meminta uang kepada orangtua.

Tapi Erick takut orangtuanya marah ketika tahu jurusan kuliah yang diambilnya di Unud. Bukan bidang teknik seperti yang digeluti anggota keluarganya.

Sesampainya di Bali, Erick sempat bingung, tidak tahu mau kemana karena duit di kantong cuma Rp 18 ribu. Termasuk, ketika ia melihat bangunan PSSRD (Program Studi Seni Rupa dan Desain) Unud yang kecil. Sempat terpikir, 'kecil sekali ini, apa yang bisa didapat dari kampus kecil ini?'

Namun ternyata Erick belakangan baru mengakui kampusnya itu 'sakti'. "Sekolah itu adalah sekolah paling sakti. Sekarang teman-teman yang pernah di sana sudah jadi orang (sukses) semua," papar Erick.

Ia mengenang masa kuliahnya yang memprihatinkan. Tugas-tugas yang berbulan-bulan dibuat, hingga tidak tidur, keesokan harinya hanya disilang tanda salah.

"Waktu itu sampai berhari-hari tidak tidur bikin tugas, namun esok harinya cuma disilang dan dibilang salah," kenang Erick.

Selama di Denpasar, Erick numpang tinggal di beberapa temannya. Termasuk untuk makan, pria bertato di leher ini harus berjuang keras dengan serabutan.

Namun ketika PSSRD bergabung dengan STSI (Sekolah Tinggi Seni Indonesia) menjadi ISI pada 2004, Erick memutuskan untuk keluar dan tidak melanjutkan kuliahnya. Alasannya, tidak setuju dengan akuisisi itu.

"Bagaimana mungkin menggabungkan dua matahari pada satu tempat yang sama," katanya.

Sumber: Tribun Bali
Halaman 1 dari 3
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved