Sarbagi Region

Bila Seniman Hanya Tampilkan Lelucon Sama Seperti Memberi Drunk

Tinggalkan Filosofis Berdampak Pendangkalan Budaya

Penulis: I Wayan Eri Gunarta | Editor: Rizki Laelani
TRIBUN BALI/I WAYAN ERI GUNARTA
WAYANG WANARA - I Wayan Wija, saat menunjukkan wayang wanara dan singa hasil karyanya di Banjar Kalah, Peliatan, Ubud, Minggu (31/8/2014). . 

TRIBUN BALI.COM, GIANYAR - Sajian pagelaran seni tradisional yang dibalut pakem-pakem budaya kini mulai ditinggalkan masyarakat khususnya generasi muda.

Bahkan maestro seni pedalangan Bali, I Wayan Wija mengatakan, sejak empat tahun lalu, terjadi pendangkalan budaya.

Hal itu dinilai Wayan Wija dibuktikan dari merosotnya minat masyarakat akan pertunjukan yang mengutamakan pakem.

"Masyarakat saat ini tidak melihat apa isi, nilai dan manfaat pertunjukan. Mereka hanya melihat dari sisi luar. Kalau bikin ketawa, masyarakat baru suka. Kalau sudah mengandung nilai filosofis, pasti langsung ditinggalkan," ujar pria yang saat ini menetap di Banjar Kalah, Peliatan, Ubud, Minggu (31/8/2014).

Pendangkalan tersebut, kata Wija, terjdi pada pertunjukan pedalangan, topeng, prembon dan kesenian arja.

Merosotnya minat masyarakat akan ajaran yang terkandung dalam pertunjukan membuat seniman dalam keadaan dilematis. Yakni, mengikuti esensi seniman atau kebutuhan publik.

"Esensi seniman pertunjukkan adalah memberi ajaran dan panduan yang bisa dipedomani hingga seumur hidup. Kalau seniman hanya memberikan lelucon (kesenangan sesaat), sama saja seperti drunk (narkotika). Kalau sudah begitu, mereka kehilangan jati diri seorang seniman," ungkapnya.

Pria kelahiran Sukawasti, 31 Desember 1952 ini mengawali karirnya dalam pementasan kelas dunia sejak tahun 1982.

"Pentas di luar negeri itu bukan dari ajakkan pemerintah. Saat pentas di acara besar, seperti Festival Asia Pasifik, itu bukan karena ajakkan pemerintah Indonesia. Tapi warga luar negeri yang langsung memanggil dan mensponsori. Sebab di luar negeri saya punya banyak murid," ujar pria yang memiliki piagam bergengsi Wija Kusuma dan penghargaan dari Menteri Pendidikan dan Kebudayaan itu.

Dalam suasana ramah tamah di rumahnya yang sejuk dan asri, Wija menceritakan kisah pahit bersama Pemerintah Indonesia.

"Pernah waktu ini mau ke India. Sudah siap-siap berangkat ke luar negeri, tiba-tiba diganti oleh dalang lain. Entah apa alasannya sampai saat ini tidak tahu," ujarnya ramah.

Meski dikecewakan, kata Wija, hal tersebut tidak membuatnya berhenti berkarya dan memengaruhi generasi muda untuk mencintai kesenian pedalangan Bali.

"Saya tidak kecewa. Malahan senang. Sebab, pentas ke luar negeri banyak beban. Sementara saya lebih suka hidup santai dan tenang," ujarnya lalu tersenyum. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved