Sarbagi Region
Sopir Angkutan Desa Hanya Andalkan Anak Sekolah
Paceklik Penumpang Sehari Hanya Dapat Rp 50 Ribu
Penulis: I Putu Darmendra | Editor: Rizki Laelani
TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR - Tiga unit mobil angkutan desa terparkir di terminal Gianyar, Senin (1/9/2014). Hingga pukul 11.00 Wita belum ada seorang penumpang yang naik.
Sambil menanti penumpang, para supir tersebut tampak bersenda gurau. Ada yang duduk sambil memakan buah jeruk, ada juga yang bersandar sambil menghitung uang dalam dompetnya.
Sementara, sopir angkutan, Jero Mangku Karmi (55) lebih memilih membersihkan mobilnya. Sehelai kain usang berwarna cokelat dipakai mengelap kendaraan roda empat kesayangannya itu.
Kendati matahari bersinar terik, mereka tetap setia pada posisi antreannya masing-masing.
"Susah sekali sekarang. Bayangkan pukul 07.00 Wita sampai pukul 11.00 Wita, mangkal di sini belum ada penumpang," keluh Mangku Karmi pada Tribun Bali.
Pria asal Desa Pejeng Tampaksiring, Gianyar ini mengatakan, dari tahun 90 menjadi sopir angkutan desa baru saat ini ia merasakan musim paceklik penumpang.
Jika dibandingkan beberapa tahun lalu, para supir masih bisa bernafas lega karena sebagaian warga masih mau memakai jasa transportasi angkutan desa.
"Benar-benar mencekik, kalau beruntung bisa dapat Rp 70 ribu tapi kalau apes Rp 50 ribu sudah syukur. Iya ini dihitung per hari, yang itu bersih karena belum dipotong beli bensin," jelasnya sambil menggelengkan kepala.
Dikatakannya saat ini, hanya siswa SMP yang memberikannya penghasilan. Itu pun maksimal tiga kali keberangkatan, pagi, siang dan sore. Tarif untuk anak sekolah ia kenakan sebesar Rp 3 ribu dari Gianyar-Tampaksiring.
Kendati demikian semakin hari jumlah pengguna jasa angkutan desa semakin menurun. Ia menduga hal ini disebabkan karena anak sekolah lebih memilih menggunakan kendaraan roda dua pribadi.
"Banyak sekarang yang sudah bawa motor sendiri. Jadi penumpangnya semakin sedikit. Lihat saja sekolah-sekolah yang di pedesaan kebanyakan bawa motor," terang dia.
Sopir lainnya, Gusti Ngurah Suastika mengeluhkan hal senada. Bagaimana tidak, dengan rata-rata penghasilan bersih Rp 50 ribu per hari, ia harus mencari tambahan untuk menutup kebutuhan rumah tangga dan biaya anaknya sekolah.
Kalau seandainya tak ada pekerjaan lain, Gusti mengaku tidak bisa berlama-lama menggeluti profesi menjadi sopir.
Terlebih jika bahan bakar minyak (BBM) jadi dinaikan pemerintah. Ia memastikan handuk yang selama ini yang setia mengikat kepalanya saat bekerja akan dilepaskannya.
"Ini faktanya bukan? Angkutan desa kian ditinggalkan. Belum lagi bensin mau naik. Lama-lama seperti ini saya berhenti, lebih baik jadi buruh saja," kata Gusti dengan garis kening mengkerut.
Saat ini, tersisa sekitar 50 angkutan desa yang beroprasi Gianyar-Tampaksiring. Target yang paling realistis adalah penumpang dari kalangan anak sekolah. Namun, mereka harus bersaing dengan puluhan sopir lainnya. (*)