Bali Beruntung Memiliki Umbu

Cak Nun, begitu ia biasa disapa, hadir ke acara di Jalan Cok Agung Tresna, Denpasar itu setelah menjenguk penyair Umbu Landu Paranggi di RSUP Sanglah.

Penulis: Niken Wresthi KM | Editor: imam hidayat
zoom-inlihat foto Bali Beruntung Memiliki Umbu
Tribun Bali
Cak Nun Ngaji Sastra di Jatijagat Kampung Puisi, Denpasar.

TRIBUN-BALI.com

Malam ini saya merasa memasuki sesuatu yang saya rindukan, kata budayawan asal Jombang, Jawa Timur, Emha Ainun Najib pada diskusi sastra Jatijagat Kampung Puisi, Rabu (29/10). Ia lega setelah berjumpa Umbu Landu Paranggi.

Cak Nun, begitu ia biasa disapa, hadir ke acara di Jalan Cok Agung Tresna, Denpasar itu setelah menjenguk penyair Umbu Landu Paranggi di RSUP Sanglah.

Budayawan 61 tahun itu mengenakan kemeja putih dengan lengan tergulung hingga menyentuh siku. Duduk di atas karpet merah, Cak berbicara dalam diskusi sastra yang diadakan komunitas pegiat puisi Jatijagat Kampung Puisi. Umbu Landu Paranggi,  penyair yang dianggap guru oleh Cak Nun, adalah pendiri komunitas ini.

Ide dadakan untuk menggelar diskusi sastra malam itu berawal dari kunjungan Cak Nun ke Denpasar untuk menjenguk Umbu yang dirawat di RSUP Sanglah. Menueut Wayan Jenki Sunarta, pegiat Jatijagat Kampung Puisi yang malam itu didapuk sebagai moderator diskusi, ide diskusi itu adalah keinginan Cak Nun.

Praktis, diskusi yang dimulai dua jam lebih lambat dari yang diagendakan ini berisi tuturan personal Cak Nun tentang sosok Umbu. Pada diskusi berlangsung itu Cak Nun menyiratkan rasa hormatnya pada penyair yang telah lama tinggal di Bali ini.

“Jangan harap memahami Umbu. Ia tidak bisa dimengerti, hanya bisa dinikmati,” ujar budayawan suami Novia Kolopaking ini.

Lontaran ini seakan mengomentari tanggapan beberapa masyarakat tentang sosok Umbu yang lebih sering dikenal sebagai seniman yang angkuh. Sebaliknya, bagi Cak Nun, keangkuhan Umbu adalah bentuk penolakan penyair yang dikenal nyentrik ini terhadap budaya basa-basi.

Menurutnya, Umbu tidak bisa dijangkau lewat obrolan remeh-temeh. Makna kata menikmati yang ia lontarkan berarti bahwa memahami Umbu hanya bisa dilakukan dengan mengamati kesehariannya secara langsung.

Hanya saja kesempatan bertatap muka dengan Umbu merupakan momen yang langka. Cak Nun bertutur, Umbu hanya bisa ditemui jika memang Umbu sendiri yang menginginkan pertemuan itu.

Karenanya, meski pada akhirya Cak Nun berhasil bertemu langsung dengan Umbu yang sedang terbaring sakit, momen pertemuan itu adalah momen yang paling dirindukan Cak Nun.

Cak Nun berujar, di balik sosok angkuh yang lebih banyak diketahui masyarakat, Umbu adalah sosok yang hangat. Sosok hangat ini dituturkannya lewat pribadi rendah hati dari penyair yang dikenal lewat karyanya seperti puisi Melodia ini.

Cak Nun tak sendiri malam itu. Ia ditemani budayawan yang aktif di Jogjakarta Imam Budhi Santosa. Senada dengan Cak Nun, penyair ini pun menaruh hormat pada Umbu.

Cak Nun sendiri mengaku memahami pribadi Umbu bukan dengan cara mengajaknya ngobrol. Melainkan membaca karya sekaligus lakunya.

“Bali sangat beruntung memiliki Umbu,” ujar Cak Nun berulang kali.

Kalimat ini ia ulang sekali lagi sebelum ia meninggalkan diskusi pada pukul 00.00 Wita. (niken wresthi km)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved