Griya Style
Gung Wid Pertahankan Pintu Berusia 100 Tahun
Nilai sejarahnya yang luar biasa, sebagai warisan leluhur
Penulis: Ni Ketut Sudiani | Editor: Rizki Laelani
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - AA Putu Widiana, tetap mempertahankan pintu masuk utama kediaman, meski sudah berumur sekitar 100 tahun.
Gung Wid sapaannya, menyebutkan tampilannya sangat klasik, bentuknya pun sudah tidak utuh lagi.
"Umur paman saya sudah lebih dari 90 tahun. Pintunya ada sebelum dia lahir, jadi memang sudah tua sekali," tambah Gung Wid di kediamannya di Jalan WR Supratman, Denpasar, Bali, Kamis (27/11/2014) lalu.
Meskipun sempat disarankan untuk mengganti dengan yang baru, tapi Gung Wid tidak mau melakukannya.
Menurutnya nilai sejarahnya yang luar biasa, sebagai warisan leluhur. Saat ditanya bahan kayu apa yang dipakai, Gung Wid tidak bisa menyebutkannya secara pasti.
Sambil ragu-ragu ia menjawab, "ya, yang pasti itu kayu lokal di Bali." Mengingat usianya yang sudah sangat tua, pada beberapa bagiannya memang sudah tidak utuh lagi.
Sudut-sudutnya sebagian besar lapuk, bahkan kayu tempat penyangga bagian bawahnya sudah hampir seperempat saja yang tersisa.
"Saya poles saja sedikit supaya lebih baik kondisinya. Tapi sejak awal warnanya memang gelap seperti itu.
Dan untuk penyangga di tiap-tiap sudutnya, dibuatkan yang baru," jelasnya. Ukiran pada pintu itu tidak banyak sebagaimana yang kini sering ditemukan pada pintu-pintu khas Bali, bahkan pintu itu terbilang sangat sederhana, hampir tidak ada ukiran yang rumit dan detail.
Hanya tampak pola seperti tameng senjata suku dayak, itu pun sudah tidak terlihat begitu jelas. Sementara bagian penutup, bentuknya sama dengan pintu-pintu klasik masyarakat tradisional Bali.
Hanya menggunakan kayu yang dipakai semacam palang, menyatukan kedua sisi pintu sehingga ia tertutup rapat dan tidak bisa dibuka dari luar.
"Ya, begitu saja kami menutupnya. Tidak ada gembok atau kunci lain. Aman kok, kami percaya itu," ungkapnya.
Untuk keseluruhan gerbang utama, Gung Wid juga tidak banyak melakukan perubahan. Ia hanya merenovasi bagian-bagian yang sudah tidak tahan lagi, baik karena pengaruh cuaca maupun waktu. Agar tetap tampak kuno, ia menggunakan tanah taro.
"Bata yang dipakai disebut bata polpolan, itu seperti bata merah, tapi belum dipanasi. Masih murni juga. Selain itu bagian atapnya juga saya perbaiki sedikit," imbuhnya. (*)