Simpang Ring Banjar
Sulit Membentuk Sekaa Gong Anak
Dana dialokasikan untuk membuat pasraman atau tempat belajar tradisi dan budaya Bali.
Penulis: I Wayan Eri Gunarta | Editor: Iman Suryanto
Setiap tahun, Banjar / Desa Pakraman Kekeran mendapatkan dana dari Pemerintah Kabupaten Badung. Dana dialokasikan untuk membuat pasraman atau tempat belajar tradisi dan budaya Bali. Di Banjar yang dihuni oleh 170 Kepala Keluarga (KK) ini, dana itu dipakai membentuk Sekaa Gong Anak-anak.
Kelian Dinas Banjar Kekeran, I Putu Swastika (46) mengatakan, Sekaa Gong ini dibentuk tahun 2012. Beberapa anggotanya sudah mewakili Desa Angantaka dalam Parade Gong Kebyar tingkat Kabupaten Badung.
"Di Badung kesenian itu diberikan tempat. Setiap tahun parade gong kebyar. Karena itu, setiap banjar dan desa harus memiliki sekaa gong. Karena itu, kami tidak bisa meniadakan sekaa gong anak-anak," ujarnya, Rabu (24/12).
Swastika mengatakan dalam pembentukan sekaa gong ini tidaklah mudah. Meskipun setiap latihan pihak banjar memberi imbalan Rp 7.000 per orang, hal itu tidak jaminan anak-anak santep (semangat) mengikuti latihan. Bahkan, pihak banjar beberapa kali harus mendatangi satu per satu anak-anak ke rumahnya untuk ikut latihan.
"Sulit membentuk sekaa gong ini. Sampai mencari ke rumahnya. Sebenarnya tidak mau mengurus sekaa ini, karena berat. Tapi, karena dapat dana pasraman setiap tahun, makanya mau tak mau harus ada," ungkapnya. Ditanya berapa dana yang didapat, Swatika mengatakan, "Tak tahu. Sebab desa dinas yang langsung menyerahkan ke banjar," imbuhnya.
Kelian adat setempat, I Wayan Nuka mengatakan posisi pengurus harus berada di bawah anak-anak. Dalam artian harus selalu mengikuti keinginan mereka. "Kalau dikerasin, mereka akan ngambek dan tak mau latihan. Bagaimana pun bandelnya, harus tetap halus," ujarnya.
Kata Swastika, keadaan sama juga terjadi pada Sekaa Gong Pemuda. "Pemuda juga punya sekaa gong. Latihannya hanya sekali saja, yakni saat dalam acara pentas. He..he..he," selorohnya.
Ia tak bisa memungkiri anak muda di Banjar Kekeran tidak aktif dalam kegiatan berkesenian. "Zaman sekarang tidak seperti dulu. Dulu kan orang-orang kerjanya hanya di seputaran desa dinas dan orang sekolah juga sedikit. Sekarang keadaannya terbalik sejak kerajinan tangan di sini mangkrak," katanya. (*)