Griya Style

Jineng Warisan Leluhur di Tangan Kartunis Jango

Jineng Disulap Jadi Tempat Diskusi Ruang Budaya untuk Para Seniman

Penulis: Ni Ketut Sudiani | Editor: Rizki Laelani
TRIBUN BALI/ I NYOMAN MAHAYASA
TAMPAK KOKOH - Bangunan jineng milik Kadek Jango Pramartha di Jalan Veteran, Gang IV, No 3, Denpasar, tampak kokoh, Sabtu (17/1). Jineng yang biasa digunakan menyimpan beras, diubah Jango menjadi tempat diskusi ringan. 

TRIBUN-BALI.COM - Bagi sebagian besar masyarakat Bali, khususnya yang ada di pedesaan, memanfaatkan jineng hanya sebagai tempat menyimpan padi.

Berbeda halnya di kediaman kartunis Kadek Jango Pramartha.     Rumahnya terletak di pusat kota, tepatnya Jalan Veteran, Gang IV, No 3, Denpasar, namun sebagian besar bangunan yang ada di sana masih terbilang tradisional.

Hanya beberapa bagian saja yang telah direnovasi, menimbang kondisinya yang sudah merapuh.

Bahkan, jineng yang oleh leluhurnya masih digunakan untuk menyimpan sejumlah padi, dimanfaatkan sebagai ruang budaya, tempat berdiskusi dan berekspresi bagi para seniman dan penulis.

Tercatat nama-nama seperti penyair Umbu Landu Paranggi, Frans Nadjira, Robi Navicula, hingga personil Superman is Dead, pernah berkumpul di sana.

Setidaknya setiap hari Kamis dan Jumat, mereka akan bertemu dan mendiskusikan banyak hal.

“Saya kurang tahu kapan pastinya jineng ini dibangun. Saat saya lahir sudah ada di sini. Semuanya masih alami, hanya bagian atasnya saja yang beberapa kali diganti karena memang rusak. Para seniman paling senang duduk di sini, katanya adem,” tutur Jango saat Tribun Bali bertandang ke rumahnya, Sabtu (17/1/2015) siang.

Jineng berukuran sekitar 2x2 m itu, di bagian tengahnya diberi hiasan barupa kayu persegi panjang yang di dalamnya berlobang.

“Kayu ini diberikan sahabat saya, Boping, saat dulu dia masih aktif berkesenian,” imbuh Jango yang juga seorang pelukis.

“Nah, di dalamnya, sengaja saya beri batu alam. Kalau anak-anak ke sini, mereka bisa memainkan batu-batunya. Sebenarnya hiasan ini diletakkan di sini agar teman-teman saya tidak bermain gaplek,” ujarnya seraya bergurau.

Saat berdiskusi, apabila lebih dari empat orang yang ikut, di sekeliling jineng, akan ditambahkan kursi, sehingga bagian tengah jineng dapat dimanfaatkan sebagai meja.

Tapi biasanya jika hanya empat orang, mereka hanya bersandar di tiap tiang penyangga. Hampir semua bahan jineng tampak masih kuat, terutama bagian kayu-kayunya.

“Saya tidak berani mengutak-atik karena ini peninggalan leluhur,” jelasnya. Di sekitar jineng, terdapat beberapa pohon besar dan pot tanaman hias yang dapat memperindang dan menyejukkan. Halaman terbilang luas, sehingga dapat menjadi tempat untuk berlatih teater ataupun semacam pertunjukan sederhana.

“Di sinilah semuanya dulu dipertemukan. Tempat ini juga sangat terbuka. Maksudnya, siapapun bisa berbagi di sini. Begitu juga jika ada mahasiswa dari luar negeri, mereka bisa mempelajari konsep dan sejarah bangunan rumah Bali yang masih alami ini,” ungkapnya. (*)

Dinding Berlapis Kayu Batu
BEGITU memasuki kediaman Kadek Jango Pramartha, langsung tampak sebuah dinding tinggi berwarna coklat.

Dinding itu dilapisi bahan kayu yang tampaknya sudah mengeras seperti batu. Apabila diperhatikan secara sekilas, dinding itu tampak cukup artistik dengan bentuk kayunya yang beraneka dan tidak begitu kaku.

Dicermati lebih dekat, ada pula yang mirip seperti kayu bakar yang bagian ujungnya telah menghitam, serupa arang.

“Sebenarnya, bagian itu tidak lagi tradisional, tapi sudah cukup modern. Rencana akan dibenahi lagi nanti. Dulu orangtua saya yang melakukannya, saya tidak tahu lebih mendetail tentang itu,” terang Jango.

Menurutnya, barangkali baiknya, untuk rumah tradisi Bali, pada bagian paling depan, setelah memasuki pintu utama, yang diletakkan adalah patung ganesha.

Meskipun telah dilakukan beberapa perubahan pada rumahnya, namun Jango berusaha untuk tetap mempertahankan bangunan yang diwariskan leluhurnya.

“Di rumah ini masih ada cangkem paon (mulut dapur). Biasanya kalau rumah di daerah perkotaan, tidak punya cangkem paon,” terangnya.

Cangkem paon, menurut Jango merupakan bagian dari tradisi Bali yang berlaku di semua kabupaten dan kota.

Tribun Bali sempat melihat bentuk cangkem paon yang ada di dapurnya. Bentuknya memang masih tradisional, terbuat dari semen, dan oleh masyarakat dulu digunakan untuk tempat memasukkan saang (kayu bak).

“Ada cerita mengatakan, kalau ada orang Bali menikah dengan keturunan Tiongkok, pasangan pengantin perlu melakukan sesi upacara tertentu di depan cangkem paon itu,” jelasnya. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved