Pura Jagatnatha Yogyakarta
Pura Jagatnatha Yogyakarta Dulunya Tempat Bertapa Hamengku Buwono II
Pada tahun 1975 masyarakat pemeluk agama Hindu mulai membangun Pura Jagatnatha, dengan membangun gedung persembahyangan ala Jawa dan Padmasana.
Penulis: Komang Agus Ruspawan | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
TRIBUN-BALI.COM, YOGYAKARTA – Pura Jagatnatha Yogyakarta diempon oleh warga asli Banguntapan sebanyak 80 kepala keluarga (KK).
Sementara pengempon asal Bali ada ratusan KK, yang berdomisili di Bantul, Sleman, Kodya Yogyakarta, Wanasari (Gunung Kidul).
(Baca Berita Terkait: Indahnya Perpaduan Jawa dan Bali di Pura Jagatnatha Yogyakarta)
Kabarnya, lokasi pura ini dulu juga pernah digunakan sebagai tempat bertapa Hamengku Buwono II sampai mendapatkan gelar Ki Banguntapa.
Sejarah berdirinya pura ini mulai pada tahun 1967.
Saat itu Kelurahan Banguntapan banyak disinggahi masyarakat pemeluk agama Hindu, hingga terbentuk Majelis Umat Hindu Dharma di wilayah Banguntapan.
"Awalnya hanya satu Pelinggih dan area pura sangat kecil," terang Jero Mangku Widodo, yang menyebut almarhum bapaknya juga seorang Jero Mangku di Pura Jagatnatha Banguntapan.
Pada tahun 1975 masyarakat pemeluk agama Hindu mulai membangun Pura Jagatnatha, dengan membangun gedung persembahyangan ala Jawa dan Padmasana.
"Pelinggih yang dulu, sekarang dipindah ke sana," kata Jero Mangku Widodo sembari menunjuk ke aras isi kanan di jeroan pura.
Dari tahun 1976 sampai tahun 1982 dilanjutkan pembangunan gedung kori, pemagaran kanan dan kiri, pembangunan candi bentar, dan tembok penyengker.
Tahun 2006 sebagian bangunan pura hancur akibat gempa bumi.
Setahun kemudian dilakukan perbaikan atas bantuan dana dari Pemprov Bali, Pemkab Bantul, dan pemedek.
Adapun Pujawali/Piodalan di pura ini bertepatan Hari Raya Galungan yakni pada setiap Budha Kliwon Dunggulan.
"Ribuan umat sembahyang setiap Pujawali. Umat juga banyak sembahyang saat Purnama, Tilem, dan khususnya saat Kliwon," tutur Jero Mangku Widodo.
Di tengah obrolan saya dengan Jero Mangku Widodo, datang seorang gadis untuk melakukan persembahyangan.
Dengan memakai kemeja dipadu celana jeans dan selendang, ia menghaturkan canang ke setiap pelinggih dan padmasana, lalu dilanjutkan dengan sembahyang.
Gadis bernama Ayu Ary Santhi ini mengaku selalu menyempatkan diri sembahyang ke Pura Jagatnatha Banguntapan saat pulang kuliah.
Dari kampusnya di Universitas Gadjah Mada (UGM), ia menempuh perjalanan sekitar 30 menit dengan naik sepeda motor.
"Ya saya sering sembahyang sore sepulang dari kampus," ujar mahasiswi semester III Fakultas Pertanian Jurusan Manajemen Sumber Daya Perikanan ini.
Saat rerahinan seperti Purnama, Tilem, dan Saraswati, gadis asal Tonja Denpasar Utara ini sembahyang bersama teman-temanya dari Kesatuan Mahasiswa Hindu Dharma (KMHD).
Semakin sore, pemedek yang datang sembahyang semakin bertambah.
Meski sembahyang sendiri-sendiri tanpa dipimpin Jero Mangku, mereka sangat khusuk. (*)