Ternyata Ini Alasan Mistis Dilarang Sembahyang Hingga Malam di Pura Dalem Khayangan Kedaton

Pamangku di Pura Dalem Kahyangan Kedaton dan pura lainnya di Desa Pakraman Kukuh berdasarkan garis keturunan.

Penulis: I Made Argawa | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
Tribun Bali/I Nyoman Mahayasa
Pemedek melaksanakan tradisi mapeed pada Pujawali di Pura Dalem Kahyangan Kedaton, Desa Pakraman Kukuh, Kecamatan Marga, Tabanan, Selasa (27/9/2016). 

TRIBUN-BALI.COM, TABANAN - Iring-iringan gebogan yang disuun oleh ibu-ibu melintas di depan objek wisata Alas Kedaton, Desa Kukuh, Marga, Tabanan, Bali, Selasa (27/9/2016).

Pemadangan itu adalah rangkaian pagelaran tradisi mapeed oleh masyarakat di Desa Kukuh, Kecamatan Marga.

Rangkaian pujawali yang dihadiri ribuan umat ini digelar setiap enam bulan sekali di Pura Dalem Khayangan Kedaton pada Anggara Sasih Medang Sia.

Pemedek yang datang tak hanya dari seputaran Desa Pakraman Kukuh, Kabupaten Tabanan.

Ada pula dari luar Tabanan. Tak pelak, tradisi mapeed prani dan ngerebeg ini menjadi incaran fotografer untuk diabadikan.

Tradisi mapeed dimulai pukul 13.00 Wita, diawali iring-iringan dari kelompok PKK Banjar Adat Menalun dan PKK Banjar Adat Lodalang yang lokasinya paling dekat dengan Pura Dalem Kahyangan Kedaton.

Ada 12 banjar adat yang menjadi peserta mapeed prani ini.

Namun hanya lima banjar adat yang mapeed sekaligus ngiring Ida Bhatara Patapakan Barong Ket dan Barong Landung.

Ada pun kelima banjar adat itu adalah Banjar Adat Lodalang, Banjar Adat Tengah, Banjar Adat Munggal, Banjar Adat Batanwani, dan Banjar Adat Tegal.

Bendesa Adat Kukuh, I Gede Subawa, menjelaskan, pada H-1 pujawali atau pada Soma Wage Medangsi, Senin (26/9/2016), ada upacara pawintenan pamangku.

I Gede Pindah dari Banjar Munggal maeka jati sebagai pamangku menggantikan ibu kandungnya yang telah meninggal dunia.

Dikatakannya, pamangku di Pura Dalem Kahyangan Kedaton dan pura lainnya di Desa Pakraman Kukuh berdasarkan garis keturunan.

“Mereka yang kapingit (dipilih secara niskala) secara sukarela ngayah menjadi pamangku.” ujarnya.  

Selain mapeed, tradisi ngerebeg menjadi paling dinanti anak-anak hingga orangtua.

Ngerebeg merupakan ritual berlari keliling pura sebanyak tiga kali dengan membawa tombak, bandrang, umbul-umbul, tedung, dan lelontek.

Sementara peserta anak-anak berlari membawa ranting kayu.

Menurut Bendesa Adat Kukuh, I Gede Subawa, ngerebeg bermakna gereget, suka cita karena seluruh rangkaian upacara berjalan dengan lancar. Saat ngerebeg, patapakan barong ket dan barong landung dari 5 banjar pakraman tedun dari balai peparuman untuk menyaksikan krama ngayah berlari sorak sorai.

Para peserta ngerebeg tak berani berlari sebelum pamangku pura memercikkan tirta sebagai tanda aba-aba.

Pamangku yang bertugas standby membawa bumbung berisi tirta untuk dipercikkan kepada peserta setiba di jaba tengah pura.

Sekretaris Adat Desa Kukuh, Marga I Gusti Ngurah Rai Puja Yasa (64), mengatakan, tradisi mepeed di desanya telah ada sejak dirinya kecil.

Sebelum dilaksanakan di Pura Dalem Khayangan Kedaton, digelar di Pura Puseh, Desa Adat Kukuh. 

"Sebelumnya telah ada di Pura Desa, sejak kawasan alas Kedaton mulai berkembang sekitar tahun 1978, tradisi mepeed mulai dilakukan di sini," terangnya.

Ada 12 banjar yang mengikuti tradisi mepeed di Desa Kukuh yakni Banjar Menalun, Banjar Lodalang, Banjar Mekar Sari, Banjar Amreta Sari, Banjar Tengah, Banjar Munggal, Banjar Dalem Kerti, Banjar Batan Wani, Banjar Tegal, Banjar Den Uma, Banjar Pande dan Banjar Tagtag.

"Tradisi mepeed dimulai pukul 13.00 wita ,selesai sekitar pukul 18.00 wita. Persembahyang selesai pukul 19.00 wita dan pukul 20.00 wita pura telah sepi," ujar Puja Yasa.

Dia mengakui ada kepercayaan warga setempat tidak diperbolehkan sembahyang hingga larut malam di Pura Dalem Khayangan Kedaton.

Selain itu, penggunaan dupa saat sembahyang juga tidak diperbolehkan.

"Sebab ada keyakinan jika saat malam ada penghuni dari niskala yang sembahyang, warga di alam nyata hanya sampai sore saja. Di luar waktu piodalan, sembahyang tidak dibatasi," paparnya.

Dia menceritakan, pernah ada rombongan seniman yang mencoba menginap di Pura Dalem Khayangan Kedaton saat piodalan.

Begitu malam tiba, semua rombongan seniman itu kabur meninggalkan Pura karena melihat banyak sosok aneh yang sembahyang ke Pura yang dikelilingi oleh hutan tersebut.

"Tapi itu cerita, kapan pastinya, saya juga tidak tahu," jelasnya.

Untuk penggunaan dupa, Kepala Badan Pengelola Objek Wisata Alas Kedaton, itu mengatakan, secara logika, kawasan Alas Kedaton adalah hutan dan ada atap pelinggih dari ijuk sehingga tidak diperkenankan menggunakan dupa saat sembahyang.

"Dupa tidak diperbolehkan karena takut terjadi kebakaran," ujarnya. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved