Margo Wening, Pura Pertama di Sidoarjo, Impian Mbah Untung pun Terwujud   

Kelak, anak keturunan Mbah Untung pula yang banyak berperan meneruskan perjuangannya merawat pura yang terletak sekitar 16 Km di barat daya Sidoarjo

Penulis: Sunarko | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
Tribun Bali/Sunarko
Pura Margo Wening 

TRIBUN-BALI.COM - Keberadaan Pura Penataran Agung Margo Wening, pura pertama di Kabupaten Sidoarjo (Jawa Timur), tak bisa dipisahkan dari nama almarhum Mbah Untung.

Mbah Untung yang meninggal dunia pada 2006 dalam usia 71 tahun itu merupakan perintis berdirinya Pura Penataran Agung Margo Wening yang terletak di Desa Balong Garut, Kecamatan Krembung, Sidoarjo.

Dia asli warga Desa Balong Garut.

Kelak, anak keturunan Mbah Untung pula yang banyak berperan meneruskan perjuangannya merawat pura yang terletak sekitar 16 Km di barat daya Kota Sidoarjo itu.

“Dulu, tempat berdirinya pura ini adalah kawasan perkebunan tebu,” kata Edi Tawanto, anak Mbah Untung, saat bercerita kepada Tribun Bali tentang sejarah pura yang berada di kawasan permukiman, yang di sisi-sisinya masih terdapat kebun tebu itu.

Pasangan Mbah Untung dan istrinya Apita sebetulnya memiliki 8 anak.

Namun demikian, tiga anak pertamanya meninggal dunia tatkala masih bayi, sehingga tinggal lima anak.

“Dalam budaya masyarakat Jawa, saya ini disebut sebagai mbarep urip atau anak tertua dari anak-anaknya bapak yang masih hidup. Karena itu, saya kemudian sering disebut sebagai anak pertama Mbah Untung, padahal sesungguhnya anak yang keempat jika semua anak Mbah Untung hidup,” jelas Edi, yang berusia 52 tahun.

Menurut Edi, pendirian Pura Margo Wening penuh dengan lika-liku.

Ketika pertama kali muncul ide dari Mbah Untung untuk mendirikan pura di pekarangan depan rumahnya pada tahun 1977, hal itu memang seperti membuat tertegun. 

Sebab, sebagaimana desa-desa lain di Kabupaten Sidoarjo, mayoritas penduduk Desa Balong Garut bukan pemeluk agama Hindu.

“Apalagi, ketika bapak menikahi ibu saya dulu, pernikahannya juga tidak secara Hindu, meskipun kemudian disahkan kembali secara Hindu,” tutur Edi.

Hal itu bisa dimaklumi lantaran baru di tahun 1962 sebutan “agama Hindu” tercatat secara resmi di Indonesia. 

Oleh karenanya, menurut Edi, pada masa lalu tidak sedikit umat Hindu yang masih belum tertulis sebagai beragama Hindu dalam catatan resmi kependudukan.

Padahal, dalam ritual sehari-hari, warga seperti Mbah Untung sebetulnya menjalani praktik aliran kebatinan Jawa atau Kejawen Wisnu, yang seperti ritual Hindu.

“Nah, suatu hari bapak ingin mencari tahu apa wadah bagi penganut aliran Kejawen yang dijalaninya. Sebab, ajaran Kejawen itu diwarisinya dari orangtua, mbah-mbahnya dan leluhurnya, sehingga bapak saya yakin tentu tidak hanya dirinya yang menganut ajaran ini. Dari pencarian itu, akhirnya ketemulah bahwa sebetulnya apa yang dijalani bapak waktu itu adalah ajaran Hindu. Sejak itu, bapak kemudian secara resmi menyebut sebagai penganut Hindu,” kata Ida Romo Pandito Eko Dwijo Putra Keniten, anak ketiga Mbah Untung yang kini melinggih atau menjadi pandita di Pura Margo Wening.

Pendirian Pura Margo Wening dimulai sejak tahun 1977.

Akan tetapi, situasi dan kondisi saat itu tidak mudah untuk mewujudkan ide tersebut ke dalam kenyataan.

Proses pembangunan menghadapi kendala baik internal maupun eksternal.

Apalagi, kebutuhan akan biaya pembangunan tentu juga tidak kecil, padahal Mbah Untung adalah petani biasa.

Bersama sejumlah kecil warga lokal Krembung yang juga beragama Hindu, bahan-bahan bangunan dikumpulkan sedikit demi sedikit oleh Mbah Untung, termasuk membuat batu-bata sendiri.

Edi mengetahui sendiri bagaimana jerih-payah dan perjuangan ayahnya merintis pura.

Suatu ketika, Edi yang masih bocah belasan tahun duduk bersila di teras rumahnya, bersemedi di tengah keprihatinannya atas kesulitan-kesulitan yang dihadapi keluarganya dalam mewujudkan pura.

Ada yang menganggapnya dengan sinis.

Namun, sang ayah Mbah Untung memintanya untuk terus bersabar, sampai kemudian Edi merasa mendapatkan energi ekstra untuk pantang menyerah dalam turut membantu perjuangan sang ayah dalam mewujudkan berdirinya pura.

“Pernah suatu kali ketika keluarga kami merasa sudah sedemikian berat untuk mewujudkan pura ini, bapak lantas berujar begini kepada saya ‘wis to ngger, ojo gupuh. Mengko ono pitulungan dulur saka wetan (sudahlah nak, gak usah panik. Nanti ada saudara kita dari timur yang akan menolong). Dan astungkara, perkataan bapak saya itu benar-benar menjadi kenyataan,” tutur Edi, kini berusia 52 tahun, sembari menyebut ayahnya memiliki daya linuwih, semacam indera keenam, sehingga oleh warga setempat dipanggil dengan sebutan “mbah” di depan namanya.

Saudara dari timur itu kemudian ternyata adalah saudara seagama dari Pulau Bali.  Akhirnya memang ada warga Hindu Bali yang kebetulan ditugaskan menjadi pejabat di Sidoarjo, dan mereka cukup banyak membantu pembangunan pura menjadi berjalan lancar.

Pada 1 Juni 1991 atau setelah 14 tahun sejak idenya muncul, hadirnya pura yang dinanti-nantikan itu akhirnya terwujud, dan diresmikan oleh Bupati Sidoarjo saat itu Edi Sanyoto.

“Saat itu namanya masih Pura Jagat Natha Margo Wening. Bisalah dibilang Mbah Untung yang melinggih pertama, namun belum ada upacara sebagaimana semestinya (seorang sulinggih) karena kondisi saat itu belum siap untuk melaksanakan upacara,” kata Ida Romo Pandito Eko Dwijo Putra Keniten.

Seiring waktu berjalan, Pura Margo Wening yang merupakan satu-satunya pura di Kabupaten Sidoarjo pada saat itu, makin dikenal.

Tidak hanya dari Sidoarjo, umat Hindu dari wilayah-wilayah sekitar Sidoarjo (seperti Pasuruan dan Mojokerto) juga turut beribadah di Pura Jagat Natha Margo Wening.

Pada tahun 1998, pura sudah dianggap tidak mampu menampung umat yang kian bertambah jumlahnya.

Terlebih, saat ada upacara-upacara besar.

“Awalnya kan pura hanya untuk warga lokal Desa Balong Garut dan wilayah Sidoarjo. Lama-kelamaan jumlah umat mencapai ribuan, ada dari Surabaya, Mojokerto dan Pasuruan,” kata Made Budi Astika, kepala Humas (Hubungan Masyarakat) Pura Margo Wening sekaligus Humas PHDI (Parisada Hindu Dharma Indonesia) Sidoarjo.

Pada tahun 1999 mulai dilakukan pembangunan atau tepatnya relokasi pura dengan lahan yang lebih luas, yang lokasinya hanya berjarak sekitar 15 meter dari pura lama.

Namanya pun berubah menjadi Pura Penataran Agung Margo Wening.

Selain lahan yang ditempati lebih luas, bangunan pura yang baru juga lebih besar.

Pura lama hanya seukuran sekitar 150 meter persegi.

Sedangkan pura perluasan seluas 640 meter persegi atau empat kali lipat lebih luas dari pura lama.

Pada tanggal 21 Agustus 2004 diadakan ngenteg linggih atau peresmian pura perluasan oleh Bupati Sidoarjo Win Hendrarso.

Lagi-lagi, untuk perluasan pura Mbah Untung kembali memberi andil besar.

“Ketika umat menyampaikan maksudnya kepada Mbah Untung tentang kebutuhan untuk memperluas pura, bapak langsung memberikan tanah kebun di belakang rumah kami untuk digunakan dan dihibahkan,” kata Ida Pandito Romo.

Berdirinya Pura Penataran Agung Margo Wening pun kemudian seperti menjadi inspirator bagi kehadiran beberapa pura lain di Kabupaten Sidoarjo, seperti Pura Jala Siddhi Amertha di Sedati dan Pura Nirwana Jati di Sekelor.

Bahkan, menurut Made Budi, Pura Penataran Agung Margo Wening yang piodalannya bertepatan dengan Hari Raya Kuningan kini menjadi semacam rujukan bagi pura-pura terdekat, kendati pura-pura itu sudah masuk wilayah kabupaten yang berbeda.

Misalnya, Pura Tirtha Wuluh Surapati di Bangil (Kabupaten Pasuruan), Pura Pasopati Watu Kosek (Kabupaten Mojokerto) dan Pura Dharma Suci, Kota Pasuruan.

Sebagai pura perintis di Kabupaten Sidoarjo, Pura Penataran Agung Margo Wening hingga kini selalu ramai dikunjungi umat dengan aneka kegiatan ibadah, meskipun Pura Jala Siddhi Amertha di Sedati tidak kalah besar.

“Sebagian besar kegiatan rohani umat Hindu di Sidoarjo dipusatkan di Pura Margo Wening ini. Sebagai pura penataran agung, ini pura umum dan yang nyungsung sekitar 3.500 umat,” kata Made Budi.

Selain ibadah rutin, PHDI Sidoarjo juga mengadakan pelajaran agama Hindu setiap pekan di pura. Kelas khusus ini diikuti para pelajar beragama Hindu mulai dari tingkat SD hingga SMA.    

Di bagian belakang griya Ida Romo Pandito Eko Dwijo Putra Keniten yang terletak di samping pura terlihat ada pasraman, dengan dua ruangan.(*)

Info ter-UPDATE tentang BALI, dapat Anda pantau melalui:
Like fanpage >>> https://www.facebook.com/tribunbali
Follow >>> https://twitter.com/Tribun_Bali
Follow >>> https://www.instagram.com/tribunbali
Subscribe >>> https://www.youtube.com/Tribun Bali

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved