Kisah Pria Pemeran Liku Gek Rempongs dan Gek Sekar Tono, Berjuang di Balik Stigma Negatif ‘Kemayu’

Pria yang memiliki tiga sudara perempuan itu bisa lulus kuliah di IKIP PGRI Bali pada jurusan Sendratasik karena menjalani kegiatan menjadi liku.

Penulis: I Made Argawa | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
Istimewa
I Komang Muliadi Jusnaedi saat berhias dengan nama panggung Gek Rempongs (kiri) dan I Gede Komang Kartonoyasa saat berhias dengan nama panggung Gek Sekar Tono (kanan). 

TRIBUN-BALI.COM, TABANAN - Yen sing dadi liku, liku mebading dadi kuli (Kalau tidak menjadi liku, liku berbalik jadi kuli).

Itulah sepenggal bait lagu Pop Bali berjudul Lika-liku Laki-laki Dadi Liku yang dibawakan oleh Duo Liku dan diunggah pada 2013 di Youtube.

Lagu milik Duo Liku itu memang sesuai dengan kenyataan hidup para penari liku.

Mereka memilih jadi liku dengan berbagai kontroversinya untuk menyambung hidup sekaligus memperbaiki perekonomian keluarganya.

Liku adalah sebuah lakon dalam Drama Arja. Lakon liku seperti putri buduh atau gila.

Liku ditarikan seorang laki-laki yang berperan sebagai perempuan.

Stigma negatif banyak melekat pada sosok seorang liku.

Baik dari keluarga sendiri maupun lingkungan.

Namun mereka menepikan semua stigma tersebut karena merasa cocok menjadi liku dan juga mampu menghasilkan uang yang cukup menjanjikan. Seperti yang disampaikan oleh seorang pemeran tokoh liku, I Komang Muliadi Jusnaedi (25) atau yang lebih terkenal dipanggil Gek Rempongs. Dari penghasilannya sebagai liku, ia mampu membantu keluarganya.

I Komang Muliadi Jusnaedi saat tidak berhias, nama panggung Gek Rempongs
I Komang Muliadi Jusnaedi saat tidak berhias, nama panggung Gek Rempongs ()

“Sekarang sudah bisa membantu perekonomian keluarga. Dari job manggung sendiri maupun dengan grup Canging Mas,” katanya, Rabu (31/5/2017).

Mata pria asal Banjar Penarukan Kelod, Desa Penarukan, Kecamatan Kerambitan, Tabanan, itu berkaca-kaca menceritakan bagaimana orangtuanya, I Ketut Sidia, yang sempat melarangnya menjadi seorang liku.

“Mungkin bapak saya takut anak pria satu-satunya menjadi perempuan,” ujarnya.

Kenangan yang membekas dari bapaknya yang kini telah almarhum adalah saat Gek Rempongs menari di Karangasem dan di saat bersamaan bapaknya meninggal di RSUP Sanglah, Denpasar.

“Bapak meninggal karena tumor di empedu, hingga saat itu saya tidak dapat restu menari liku,” jelasnya.

Dia yang akrab disapa Jusna tetap memaksakan diri menari liku karena alasan ekonomi keluarga.

Semasa hidup bapaknya tidak bekerja dan ibunya hanya menjadi seorang tukang jahit di rumah.

Pria yang memiliki tiga sudara perempuan itu bisa lulus kuliah di IKIP PGRI Bali pada jurusan Sendratasik karena menjalani kegiatan menjadi liku.

“Selesai kuliah juga tidak bisa dapat pekerjaan yang memberikan hasil mencukupi. Saat ini saya menjadi guru honor di sebuah sekolah swasta, hasilnya perbulan kurang,” kata Jusna, yang menamatkan Strata 1 pada 2015.

Lingkungan tempat tinggal dan sekolah juga memberikan stigma negatif pada dirinya yang tampak kemayu dan sering dipanggil bencong.

“Itu tidak masalah, saya jalani saja,” ungkapnya.

Dia menyebutkan, karakter kemayu merupakan keturunan.

Hal itu didapatkan dari pamannya yang juga dikatakannya memiliki karakter serupa.

“Keluarga bilang karakter kemayu keturunan dari adik bapak,” jelasnya.

Jusna merasakan dirinya cocok menjadi liku saat masih kuliah.

Ia kemudian diminta memerankan liku saat ikut ngayah bersama Sanggar Suara Cita di Kerambitan.

Saat itu dia sempat tidak percaya diri, hingga dibantu oleh rekannya yang bernama Kapuk.

“Saya didorong-dorong oleh rekan sepanggung bernama Kapuk, saya beranikan diri hingga dibilang oleh Kapuk cocok memerankan liku,” kenangnya.

Setelah itu, dia diajak bergabung dengan Sanggar Canging Mas, Tabanan.

Hingga saat ini masih terus menerima job manggung sendiri atau bersama grup Canging Mas.

“Saya sudah menari liku sekitar satu setengah tahun terakhir, hasilnya lumayanlah. Hal ini diawali dari ngayah ke berbagai pura dan kegiatan keagamaan,” terangnya.

Sama dengan Jusna, I Gede Komang Kartonoyasa (26) asal Banjar Buahan Kaja, Desa Buahan, Kecamatan Tabanan, juga mendapatkan penolakan dari keluarganya dalam memerankan liku.

I Gede Komang Kartonoyasa saat tidak berhias, nama panggung Gek Sekar Tono
I Gede Komang Kartonoyasa saat tidak berhias, nama panggung Gek Sekar Tono ()

Pria dengan nama beken di atas panggung, Gek Sekar Tono, itu bahkan harus sembunyi-sembunyi agar bisa menari.

“Saya pernah menari dengan Arja Kampus IKIP PGRI Bali, Sekaa Widyaksara ke Jakarta, saya tidak bilang di rumah untuk menari jadi liku, tapi ada kegiatan lain,” ujarnya.

Pria yang kini kuliah S2 di UNHI Denpasar pada jurusan Ilmu Agama dan Kebudayaan itu bahkan harus bersiasat agar keluarga bisa menerimanya menjalankan lakon liku.

Kartono menyebutkan, dirinya harus menyiapkan rokok di sebuah tas untuk diberikan kepada kakaknya ketika pulang ke rumah.

“Setiap habis manggung menjadi liku selalu dikasi rokok, saya pulang dan simpan di tas. Nah, kakak selalu menanyakannya,” ujarnya.

Bungsu dari tiga bersaudara itu setiap hari selalu membeli rokok dan disimpan dalam tas, tas yang disebutnya tas liku.

“Hingga saya tawarkan kepada kakak untuk mengambil rokok dalam tas,” kata Kartono.

Dia menilai, dengan selalu diambilnya rokok dalam tas liku, pihak keluarga perlahan-lahan bisa menerima jalan hidupnya menjadi seorang liku.

“Hingga sekarang saya bersyukur keluarga bisa terima,” jelasnya.

Ia pernah merasa cemas karena menjadi sosok yang kemayu.

Hal itu ditandai kesukaan Kartono saat muda melihat orang merias wajah.

Diceritakan, ketika masih remaja, Kartono selalu semangat bangun pagi untuk melihat tetangga yang memiliki hajatan seperti menikah atau mesangih.

“Saya bisa bangun dini hari pukul 03.00 Wita. Tapi, bibi yang punya salon bilang seorang pragina atau penari harus bisa merias. Saya tekuni keduanya hingga sekarang punya dua salon sendiri dan tetap menari menjadi liku di Arja Widyaksara, kadang job sendiri,” paparnya.

Dari fee menarik sebagai liku ditambah penghasilan dari dua salonnya, Kartono mampu hidup berkecukupan.

Ia pun bersyukur berbagai lika-liku yang dihadapinya untuk menjadi seorang liku juga turut meningkatkan perekonomian keluarganya. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved