Inilah Sosok Panglima Militer Myanmar, Min Aung Hlaing, Orang Dibalik Tragedi Kekerasan Rohingya

Wall Street Journal mengabarkan bahwa Hlaing sempat membela aksi pasukannya dalam menghabisi desa-desa Rohingya di Rakhine.

Editor: Eviera Paramita Sandi
News.com.au
Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar Min Aung Hlaing 

TRIBUN-BALI.COM --Aksi kekerasan terhadap warga Rohingya di Rakhine, Myanmar, menuai kecaman dan kritik dari berbagai pihak.

Kebanyakan kritik ditujukan pada pemimpin politik negara tersebut, Aung San Suu Kyi, yang bungkam dengan situasi di Rakhine sehingga dianggap memperparah keadaan.

Padahal, ada sosok lain yang dinilai lebih terlibat dalam kekerasan yang terjadi.

Sosok tersebut adalah Panglima Angkatan Bersenjata Myanmar Min Aung Hlaing.

Baca: Inilah Sosok Yang Disebut Pembenci Rohingya dan Dalang Pemicu Permusuhan Di Myanmar

Lahir pada 1956 di Tavoy, Myanmar, Hlaing merupakan jebolan Akademi Militer yang sebelumnya sempat mengambil pendidikan jurusan hukum di Rangoon Arts and Science University.

Setelah lulus dari Akademi Militer pada 1974, Hlaing sempat menjabat sebagai komandan di negara bagian Mon.

Kariernya di bidang militer melonjak sejak 2009, tepatnya setelah ia memimpin serangan terhadap pemberontak Tentara Nasional Aliansi Demokratik di Kokang.

Pada Juni 2010, Hlaing menggantikan Jenderal Shwe Mann sebagai Kepala Gabungan Staf Angkatan Darat, Angkatan Laut, dan Angkatan Udara.

Pemerintah Myanmar kemudian mempromosikan Hlaing untuk menjabat sebagai Wakil Jenderal pada April 2012, jabatan tertinggi kedua di Angkatan Bersenjata Myanmar.

Hlaing baru diangkat menjadi Jenderal Panglima pada 2013 dan beberapa kali dikritik atas perlakuan pasukan militer di bawah kepemimpinannya yang dianggap melanggar HAM.

Belum lama ini, Wall Street Journal mengabarkan bahwa Hlaing sempat membela aksi pasukannya dalam menghabisi desa-desa Rohingya di Rakhine.

Menurut Hlaing, aksi tersebut merupakan langkah penting dalam membasmi "militan" Rohingya sampai ke akarnya.

Selain itu, Hlaing mengatakan bahwa konfrontasi terhadap Rohingya itu merupakan "urusan yang belum tuntas" sejak Perang Dunia II.

Hlaing mengklaim bahwa pasukannya hanya melakukan tugas kenegaraan untuk menjaga perbatasan Myanmar dan mencegah pemberontak Rohingya merebut wilayah Rakhine.

Sumber: Tribunnews
Halaman 1/4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved