Simpang Ring Banjar
3 Beji Suci di Penestanan, Pura Pesimpangan Ulun Danu Genah Nunas Kesembuhan
Air dari beji tersebut kerap dimanfaatkan penduduk sebagai sumber air suci untuk keperluan upacara.
Penulis: Ni Putu Diah paramitha ganeshwari | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR - Banjar Penestanan Kaja ada di Desa Pekraman Penestanan, Sayan, Ubud, Gianyar Bali.
Menurut kisah yang diturunkan dari penglingsir banjar, ada dua versi sejarah nama Penestanan.
Versi pertama merujuk pada asal kata ‘penastan’ yang berarti wadah tirta atau air suci.
Versi kedua berhubungan dengan sejarah Penestanan yang dulunya merupakan wilayah perbatasan antara Kerajaan Peliatan dengan Kerajaan Mengwi.
Asal kata ‘penastan’ ini pun sesungguhnya beralasan, sebab di wilayan Desa Pekraman Penestanan memang banyak ditemukan mata air.
Di Banjar Penestanan Kaja saja terdapat tiga pura beji yang semuanya mengeluarkan air jernih.
Tiga beji tersebut berada di kawasan Pura Pesimpangan Ulun Danu, Beji Pura Puseh, dan Beji Pura Dalem.
Air dari beji tersebut kerap dimanfaatkan penduduk sebagai sumber air suci untuk keperluan upacara.
“Selain untuk kepentingan upacara, masyarakat juga memanfaatkan air di beji untuk keperluan sehari-hari. Penduduk masih sering memanfaatkan air beji untuk mandi, terutama di beji Puseh yang debit airnya besar. Selain itu airnya jernih dan segar sehingga bisa langsung diminum,” ungkap I Made Andika (31), Prajuru Banjar PenestananKaja.
Sedangkan cerita pada zaman kerajaan menyebutkan jika wilayah Penestanan merupakan bagian Kerajaan Peliatan yang berada tepat di garis perbatasan.
Oleh karenanya, Raja pada waktu itu mengutus orang-orang sakti untuk bermukim di perbatasan supaya tidak mudah diserang kerajaan tetangga.
“Kata Penestanan juga diperkirakan berasal dari kata desti yang artinya sakti,” jelas I Made Andika.
Made Andika menambahkan, orang-orang sakti yang ditempatkan di Penestanan didatangkan dari beberapa wilayah.
Ada yang berasal dari Ketewel, Sanur, Ubud, dan wilayah lainnya.
Sejarah ini pula yang menyebabkan nenek moyang warga Banjar Penestanan Kaja tidak hanya berasal dari satu wit atau leluhur.
“Kebenaran kedua cerita itu didukung pula dengan kondisi geografis Desa Pekraman Penestanan. Namun diskusi saya dengan Ida Bagus Bajra juga menyimpulkan adanya kemungkinan wilayah Penestanan sudah dihuni pada masa Bali Kuna,” ungkap prajuru muda ini.
Dugaan ini bemula dari ditemukannya sebuah batu ulun desa yang terletak di dalam Pura Pesimpangan Ulun Danu.
Batu tersebut diduga merupakan peninggalan Bali Kuna, sebab ada kebiasaan orang dulu untuk meletakkan batu pada wilayah hulu desa (tempat yang dianggap tinggi) dan teben (wilayah yang dianggap lebih rendah) desa.
Konsep ini merupakan peninggalan dari zaman Rsi Markandeya yang membawa konsep ulu-teben di Bali.
“Jadi ada kemungkinan wilayah ini sudah dihuni penduduk, namun bukan berbentuk desa. Orang dulu menyebutnya sebagai kuwu. Kuwu ini tidak memiliki nama, namun ada aturan adat yang mengatur kehidupan mereka. Aturan tersebut disebut sima, fungsinya sama dengan dresta pada zaman sekarang,” tutur I Made Andika.
Lek, Yan Sing Milu Ngayah
Sejak lima tahun terakhir, wilayah Banjar Penestanan Kaja menjadi tempat menginap turis asing.
Di wilayah banjar ini telah berdiri vila, restoran, dan jasa transportasi. Penduduk pun membuka pintu rumah mereka sebagai homestay.
Lokasi yang dekat dengan kawasan wisata Ubud serta suasana desa yang masih tenang dan asri membuat wisatawan memilih untuk tinggal di tempat ini.
Keberadaan potensi wisata ini juga berdampak pada perubahan mata pencaharian penduduk.
Jika pada tahun 1990-an, mata pencaharian utama penduduk adalah sebagai petani, maka sekarang beralih ke sektor wisata.
Kendati demikian penduduk tetap memiliki kesadaran untuk menyama braya. Hal ini terlihat dari budaya ngayah yang masih dipertahankan.
Oktober mendatang, Desa Pekraman akan melakukan upacara besar yaiitu Karya Agung Memungkah, Ngenteg Linggih, Mendem Pedagingan, Pedudusan Agung, Tawur Manca Sanak Agung lan Pedanan di Pura Pesimpangan Ulun Danu. Sejak Agustus, penduduk sudah bekerja mempersiapkan upacara.
“Semangat untuk ngayah penduduk Banjar Penestanan Kaja masih ada. Setiap ada jadwal ngayah, penduduk akan ramai-ramai tedun. Masih ada rasa malu kalau sampai tidak ikut ngayah,” terang I Made Andika, Prajuru Banjar Penestanan Kaja.
Upacara di Pura Pesimpangan Ulun Danu tergolong upacara besar sebab tergolong Pura Khayangan Manca.
Pura ini pun menyimpan cerita-cerita magis yang dipercaya penduduk setempat.
Menurut keterangan Made Andika, Pesimpangan Ulun Danu memiliki kaitan dengan Pura Ulun Danu yang ada di Batur, Bangli.
“Maka setiap piodalan pun, kami akan nunas tirta ke Dewi Danu,” jelas Made Andika.
Pura Pesimpangan Ulun Danu ini juga sering dikunjungi warga luar desa yang ingin meminta kesembuhan.
“Beberapa orang datang berdasarkan pewisik, katanya di tempat ini mereka akan memperoleh kesembuhan. Ada juga yang mengaku melihat ada danau besar yang letaknya di belakang pohon beringin, dekat Pura Pesimpangan Ulun Danu. Padahal di sana hanya ada aungan (jurang). Hal inilah yang membuat pura ini memiliki energi yang luar biasa,” ungkapnya.
Murid-Murid Arie Smit
Kenangan akan sosok Arie Smit rupanya melekat pada warga Banjar Penestanan Kaja.
Hal ini dikarenakan beberapa penduduk banjar ini merupakan murid langsung dari seniman kelahiran Belanda tersebut.
Ketut Karta (53) merupakan satu di antaranya.
Dia dikenal sebagai murid Arie Smit yang terakhir.
Hingga kini Ketut Karta masih melukis. Ia memiliki studio yang menjadi satu dengan rumahnya.
Ketut Karta masih ingat pertemuan pertamanya dengan Arie Smith.
“Waktu itu ayah saya adalah juru masak di rumah Arie Smit. Jadi saya cukup sering melihatnya. Namun suatu hari, saya iseng mengambil kanvas kosong milik Arie Smit dan saya menggambar di atasnya. Saat tahu, Arie Smit sangat marah pada saya,” kenangnya.
Itulah awal mula Arie Smit melihat bakat melukis Ketut Karta. Keduanya pun menjalin hubungan baik sebagai murid dan guru.
Menurut Ketut Karta, Arie Smit adalah orang yang mengajari anak-anak di Penestanan cara mencampur warna yang benar.
Sebelum itu seniman lokal sangat jarang menggunakan warna dalam melukis.
“Hingga suatu hari beliau berpesan kepada saya untuk tetap meneruskan gerakan Young Artist. Saya menjawab, bahwa untuk menemukan jati diri, saya ingin menggali gaya khas sendiri. Namun spirit Young Artist akan tetap saya bawa. Sebab karya seni tidak akan pernah tua,” ungkapnya.
Selain Ketut Karta, terdapat juga nama-nama semisal Ketut Soki, Nyoman Cakra, Wayan Purnata, Wayan Karja yang juga merupakan murid Arie Smit dari Banjar Penestanan Kaja.
Di antara mereka ada yang masih giat melukis, ada pula yang sudah beralih profesi lain.
Namun kenangan akan sosok Arie Smit sebagai guru masih melekat dalam ingatan mereka. (*)