Simpang Ring Banjar
Merinding, Pemedek Rasakan Ada ‘Ikan Panjang’ Sentuh Kaki Saat Melukat di Pancoran Solas
Menurut Ngakan Suarsana, pada masa dahulu kala, pancoran solas hanya merupakan mata air biasa di bantaran sungai melangit
Laporan Wartawan Tribun Bali, Muhammad Fredey Mercury
TRIBUN-BALI.COM- Pancoran solas ini merupakan salah satu saksi bisu sejarah, pada masa pelarian Raja Dalem Dimade ke wilayah Guliang.
Menurut Ngakan Suarsana, pada masa dahulu kala, pancoran solas hanya merupakan mata air biasa di bantaran sungai melangit, hanya saja kerap digunakan sang raja untuk mandi (mesiram) serta beristirahat.
Baca: Pura Agung dan Pancoran Solas Bukti Pengungsian Raja Gelgel, Hasil Meditasi Ida Bagawanta
Sebagai ungkapan kebahagiaan raja lantaran mata air ini mampu memberikan rasa tenang dan nyaman, dipugarlah mata air tersebut menjadi sebuah pesiraman dengan membagi menjadi 11 pancuran, dan diberi nama Pancoran Solas.
“Bentuk pancorannya sama, namun dulu menggunakan bambu pada padas, yang terus diperbaharui setiap tiga bulan sekali. Namun sejak pemugaran dari pihak provinsi seluruhnya diganti menggunakan padas yang berbentuk, mengikuti pancoran di Tampak Siring, Gianyar,” jelasnya.
Ngakan Suarsana kemudian menceritakan, dari sisi niskala, menurut pernyataan pemedek yang melakukan pemelukatan di pancoran solas, mereka merasakan ikan panjang yang berenang, hingga menyentuh kaki.
Pihaknya juga sempat mendapati pemedek yang tiba-tiba kerasukan.
“Entah mengapa tiba-tiba mereka menyebut Allahhu Akbar… Allahhu Akbar, atau menyebut nama orang, saya juga kurang tahu mengapa. Yang jelas saya sendiri tidak merasakan hal tersebut,” ucapnya.
Kuatnya aroma magis di Pancoran Solas, ternyata juga bayak diyakini masyarakat bahwa melukat di pancoran solas mampu menetralisir segala penyakit.
Buktinya salah seorang pemedek asal Lombok, bernama Kadek Arsana rela jauh-jauh mengunjungi pancoran solas.
Pria yang mengakui tidak memiliki satupun kerabat di Bali ini, mendapatkan info penyembuhan mujarab Pancoran Solas dari Internet.
Kata dia, penyembuhan yang dilakoninya tidak lain untuk anak ketiganya yang berusia 3 tahun yang tiba-tiba tidak bisa berbicara.
“Padahal saat bayi, padahal bisa berbicara. Namun menginjak usia 2 tahun, sama sekali tidak bisa mengeluarkan suara. Setelah saya bawa kesini, akhirnya sudah mulai ada perubahan. Ini kali kedua saya kesini,” ucapnya seraya meninggalkan Tribun Bali untuk segera melakukan pemelukatan.
Ngakan Suarsana menambahkan, pihaknya juga sempat beberapa kali mendapati pemedek dengan keluhan sama.
Ada yang mengeluhkan sulit mendapat keturunan, dan setelah melakukan pemelukatan beberapa kali, kini dianugerahi keturunan.
Ada pula pemedek asal Tabanan yang membawa kerabatnya lantaran menderita Agoraphobia (takut ditempat ramai).
Setelah delapan kali dibawa melukat, akhirnya bisa kembali seperti sedia kala.
Ngakan Suarsana juga mengatakan, jumlah pemedek akan meningkat drastis saat memasuki purnama, tilem, serta hari liburan. Jumlahnya pun mencapai 800 orang.
Selain hari-hari tersebut, pemelukatan juga sangat ramai pada momen banyu pinaruh (setelah saraswati).
“Satu hari setelah hari raya saraswati, banyak pemedek yang kesini, untuk memohon air pengetahuan. Biasanya dari pagi sejak pukul 04.00 wita, jika dihitung jumlahnya mencapai ribuan,” bebernya.
Selain pancoran solas, hal yang menjadi icon unik dari Banjar Guliang Kawan yakni sebuah pohon keramat yang diyakini berusia 400 tahun.
Pohon yang disebut cenana (cendana) oleh masyarakat sekitar ini tumbuh di jaba Pura Dalem Tengaling.
Menurut kepercayaan masyarakat sekitar, sejak dahulu bagi masyarakat yang ingin melakukan pertunjukan tari, janger, joged hingga ngelawang, terlebih dahulu melakukan persembahyangan di pohon ini.
“Kepercayaan tersebut masih dilakoni hingga saat ini. Sebab sempat saat pementasan tari, tanpa dilakukan persembahyangan, penarinya mengalami kerauhan. Begitupun saat ngelawang barong, jika tidak didahului dengan persembahyangan di pohon ini, maka tidak akan mendapat uang sepeserpun. Sempat sekitar tahun 90an, anak-anak muda disini melakukan ngelawang barong hingga wilayah ubud, saat pulang tidak mendapat uang satupun. Namun jika diawali dengan persembahyangan, tidak sampai jauh sudah mendapat upah,” ujarnya.
Tak hanya untuk pementasan tari maupun ngelawang.
Beber Suarsana, sejak dulu pohon tersebut kerap didatangi oleh orang-orang yang hendak mencari ilmu kesaktian.
“Jaman saya SD dulu juga banyak orang-orang yang melakukan meditasi mencari kekuatan. Ada beberapa yang telah mendapatkan paica berupa keris hingga mirah delima. Namun hal tersebut kembali pada jodoh, serta kepercayaan masing-masing,” tandasnya. (mer)
Berita selengkapnya dapat dibaca di Harian Tribun Bali edisi Sabtu (10/2/2018)