Serba Serbi
Cetik Kerikan Gangsa, Begini Ciri-ciri Orang yang Kena Racun Ini
Ini digunakan orang yang mempunyai keinginan tidak baik untuk mencelakai orang lain.
Penulis: Putu Supartika | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Cetik kerikan gangsa adalah salah satu jenis cetik yang berkembang di masyarakat Bali.
Ini digunakan orang yang mempunyai keinginan tidak baik untuk mencelakai orang lain.
Racun kerikan gangsa ini dibuat dengan kerikan perunggu.
Dalam buku Berbagai Cara Pengobatan Menurut Lontar Usada Pengobatan Tradisional Bali, yang disusun oleh I Ketut Suwidja, halaman 79 dikatakan ciri-ciri orang terkena cetik kerikan gangsa yaitu sakit kuning pada mata.
Selain itu, bulu-bulu melengkung, dan lama kelamaan menjadi batuk darah.
Adapun obat yang digunakan yaitu putih telur matang karena direbus, rumput lepas, temutis (Curcuma Purpurancens Bl. Zingiberaceae), jeruk, yang dijadikan loloh lalu diminum.
Selain itu, dalam buku Jejak Bhairawa di Pulau Bali karangan Jiwa Atmaja pada halaman 80 dituliskan, cetik kerikan gangsa yang dicampur dengan tabu (waluh) memiliki gejala tenaga penderita sangat lemah atau disebut dengan sakit anglayung.
"Bahan-bahan obatnya adalah kunir yang tua, kapur bubuk, ditumbuk, diperas, dan disaring halus lalu diminun," tulis Jiwa Atmaja dalam bukunya.
Selain obat minum, dilengkapi juga dengan obat sembur (simbuh) dengan bahan-bahan ketela, gamongan, dan garam.
Crongcong Polo Jenis Cetik Paling Berbahaya di Bali yang Serang Otak, Kenali Gejalanya Ini
Dalam kehidupan masyarakat Bali, ada yang dikenal dengan nama cetik.
Cetik ini merupakan racun khas Bali yang digunakan untuk mencelakakan orang.
Dalam buku Leak Ngamah Leak karya I Wayan Yendra (Mangku Alit Pakandelan) dikatakan bahwa cetik biasanya dibuat dari bahan tunggal atau bahan campuran (ramuan).
Salah satu cetik yang dibuat dari ramuan adalah cetik crongcong polo.
Menurut Jiwa Atmaja dalam bukunya Jejak Bhairawa di Pulau Bali, cetik crongcong polo ini merupakan cetik yang paling menakutkan dan dipersepsikan sebagai racun yang paling menyakitkan dan berbahaya.
"Persepsi ini tentu saja terbentuk dari pemaknaan kata crongcong polo yang diartikan racun yang menyerang otak," tulis Jiwa Atmaja.
Ditambahkannya lagi, dalam lontar Usadha Cetik, crongcong polo hanya disebutkan tiga kali yakni pada bait ke-2, 112, dan 139.
"Menurut ketiga bait tersebut, crongcong polo memang menyerang otak dengan gejala-gejala mata merah, badan terasa panas (bait ke-2), telinga penderita terasa pecah, seperti diseruduk 'dilumbih beduda,' mata merah (bait ke-112) gejala-gejala yang sama juga disebutkan dalam bait ke-113," tulisnya lagi.
Selain itu dalam buku Leak Ngamah Leak juga dituliskan gejala-gejala orang terkena cetik crongcong polo yaitu sakit kepala berat sebelah atau seluruhnya, mata merah melotot, tetapi tidak sakit, benda-benda yang dilihatnya terasa berputar.
Setelah diulas mengenai cetik crongcong polo yang merupakan cetik yang paling berbahaya karena menyerang otak.
Cetik ini dianggap paling menakutkan dan mematikan oleh sebagian masyarakat.
Akan tetapi menurut beberapa sumber yang dihimpun tribun-bali.com, cetik jenis ini bisa diobati.
Dalam buku Leak Ngamah Leak karya Mangku Alit Pekandelan atau I Wayan Yendra obatnya yaitu, ditutuh dengan bahan campuran kakul kraca, welirang bang dan madu klupa serta air jeruk.
Sementara dalam buku Berbagai Cara Pengobatan Menurut Lontar Usdha Pengobatan Tradisional Bali yang disusun oleh I Ketut Suwidja dituliskan bahwa obatnya siput kakaraci, madu klupa, air jeruk, belerang merah, lalu ditutuh pada bagian hidung.
Pengobatan ini juga dijelaskan dalam buku Jejak Bhairawa di Pulau Bali karya Jiwa Atmaja.
Berdasarkan lontar Usadha Cetik yang ia kutip, sarana penyembuhannya yaitu keong kraca, madu klupa (madu kental seperti menyan), air jeruk, belerang merah.
Sarana ini digunakan untuk metutuh atau diteteskan pada hidung.
"Dalam bait ke-139, barulah dijelaskan bahwa bahan-bahan berupa air basuhan belerang merah dimasak atau dikukus, ditambah dengan keong kraca, madu, air jeruk, minyak kelapa, lalu diteteskan pada hidung. Pada pelipis penderita lalu ditempelkan pada daun kelor dicampur dengan minyak ular," tulis Jiwa Atmaja.
Akan tetapi tidak dijelaskan apakah daun kelor tersebut diulek dan dicampur minyak ular baru ditempelkan di pelipis atau ditempelkan begitu saja di pelipis. (*)