Dharma Wacana

Tak Jarang, Ada Umat Yang Rajin Muspa Namun Tetap Ditimpa Kejadian Buruk, Mengapa?

Biasanya orang yang seperti ini, kualitas muspa-nya sangat dangkal. Sebab dia hanya berhenti di kesembuhan.

Penulis: I Wayan Eri Gunarta | Editor: Eviera Paramita Sandi
Tribun Bali/AA Gde Putu Wahyura
Persembahyangan di Pura Penataran Agung Besakih, Karangasem, Jumat dini hari, (27/1/2017). 

Oleh : Ida Pandita Mpu Jaya Acharya Nanda

TRIBUN-BALI.COM - MUSPA menjadi salah satu cara umat Hindu di Bali untuk menghaturkan sujud bhakti pada Ida Sang Hyang Widhi Wasa.

Bahkan tidak sedikit umat yang memiliki agenda tetap tirta yatra ke sejumlah pura, dengan tujuan muspa.

Lalu apakah rajin muspa menentukan seseorang bisa meraih kedamaian?

Sebab selama ini tidak jarang adanya umat yang rajin muspa, namun kejadian-kejadian buruk tetap menimpanya.

Kondisi ini pula yang menyebabkan banyak umat meragukan keberadaan Tuhan.

Muspa atau wujud bhakti ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa, di dalam Bhagawad Gita ditegaskan, yang menentukan hasilnya adalah kualitas muspa-nya.

Bukan kuantitas atau seberapa banyak dia muspa setiap hari.

Di dalam Bhagawad Gita bagian VII disebutkan,

“Catur vidha bhajante mam janah sukrtino ‘rjuna, arto jijnasur artharthi jnani ca bharatarsabha,’’.

Artinya, ada empat macam orang yang menyembah Tuhan.

Pertama artah yaitu orang yang mengalami penderitaan, sakit, sakit hati, dan sebagainya.

Biasanya orang yang seperti ini, kualitas muspa-nya sangat dangkal.

Sebab dia hanya berhenti di kesembuhan.

Padahal segala kesengsaraan maupun kebahagiaan yang kita alami, berpangkal pada diri kita sendiri.

Kedua arta arthii, yaitu penyembah Tuhan dengan tujuan memperoleh kekayaan.

Ketiga jijnyasuh, orang yang sedang mengejar jabatan.

Tentunya kedua tipe ini kualitasnya tidak bagus, karena ada transaksi yang dilakukan dengan Tuhan, yang dapat berakibat, saat keinginannya terpenuhi dia akan berhenti muspa atau tetap muspa supaya hal yang telah tercapai itu tidak diusik orang lain.

Dari keempat tipe penyembah Tuhan, yang memiliki kualitas bagus ialah jnani, yakni memuja Tuhan untuk mencapai kebijaksanaan suci mencapai pencerahan rohani untuk mewujudkan bersatunya Atman dengan Parama Atman.

Orang yang muspa dengan tujuan seperti ini, betul-betul menyerahkan diri pada Tuhan.

Terkadang, jangankan tujuan dari muspa, antara apa yang diucapkan dan apa yang dinginkan terkadang tidak sesuai.

Kadang-kadang bahasanya ‘nunas ica’, tapi dia mengatur Tuhan untuk memenuhi keinginannya.

Padahal ‘ica’ itu sendiri berarti, “terjadilah atas kehendak Tuhan”.

Orang yang tidak memahami hal ini, terkadang meragukan keberadaan Tuhan atau bahkan berhenti muspa ketika dia sering kena musibah, meskipun rajin muspa.

Seharusnya kalau sudah nunas ica atau meminta kehendak Tuhan, harus menerimanya dengan rasa bhakti, karena itu adalah karunia Tuhan sebagai Yang Maha Kuasa.

Meskipun yang kita terima itu adalah suatu bentuk musibah.

Perlu kita sadari, musibah yang kita terima ketika rajin muspa, merupakan sebuah pembersihan dosa-dosa kita di masa lampau atau kehidupan sebelum kita bereinkarnasi menjadi orang saat ini.

Karena hal inilah, tidak semua orang yang rajin sembahyang hidupnya selalu selamat atau bahagia.

Tapi jika kita dapat melewati cobaan ini dengan rasa bhakti, Atman setelah kita meninggal, akan mendapatkan tempat yang baik. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved