Liputan Khusus

Kisah Penghuni Abadi Rumah Sakit Jiwa Bangli, Ditolak Keluarga Saat Dipulangkan Karena Alasan Ini

Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali (RSJ) di Bangli ternyata banyak yang ditolak oleh keluarga

Penulis: I Wayan Erwin Widyaswara | Editor: Ady Sucipto
Tribun Bali/I Wayan Erwin Widyaswara
Seorang pegawai melintas di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali di Bangli, pekan lalu. 10 ODGKJ yang dirawat di RSJ Bangli ditolak keluarga saat dipulangkan. 

TRIBUN-BALI.COM, BANGLI - Orang dengan gangguan jiwa (ODGJ) yang dirawat di Rumah Sakit Jiwa Provinsi Bali (RSJ) di Bangli ternyata banyak yang ditolak oleh keluarga saat akan dipulangkan.

Tak hanya keluarga, pihak desa pun ada yang mengambil sikap menolak kepulangan pasien ODGJ kembali ke lingkungan mereka. Mereka pun terancam menjadi penghuni abadi di RSJ Bangli.

Pihak RSJ Bangli mencatat hingga saat ini ada 10 pasien yang sebetulnya sudah bisa dipulangkan, namun masih tinggal di RSJ lantaran ditolak oleh keluarga mereka.

Dari 10 pasien ODGJ tersebut, satu orang yang ditolak secara resmi oleh desa dengan bersurat secara remis ke RSJ Bangli.

"Ada satu pasien yang ditolak oleh desa. Pihak desa bersurat ke kami. Kami dimintai garansi bahwa pasien tidak kumat lagi. Ya kami tidak bisa berikan garansi seperti itu. Sisanya yang lagi sembilan orang, pihak keluarga belum mau menerima karena masih trauma," ungkap Wakil Direktur Pelayanan RSJ Bangli, dr I Dewa Gede Basudewa, saat ditemui Tribun Bali di ruang kerjanya pekan lalu.

Ke-10 pasien yang ditolak oleh keluarga dan masyarakat ini rata-rata sempat melakukan perbuatan tindak kekerasan hingga perbuatan sadisme di keluarga atau lingkungan mereka tinggal.

Seperti membunuh keluarga, tetangga, dan melakukan tindakan perusakan bangunan.

Masih ingat dengan kasus oknum polisi yang menggorok keponakan dan iparnya di Desa Apuan, Bangli, pada Juni 2015 silam? Pelaku I Nyoman Suarsa ternyata hingga kini masih dirawat di RSJ Bangli, kendati sudah diizinkan pulang oleh pihak RSJ.

Hingga kini pihak keluarga Suarsa belum siap menerima kehadiran dia kembali lantaran masih trauma.

Sebelum kejadian sadis itu, sebetulnya oknum polisi ini sempat dirawat di RSJ Bangli. Namun setelah kembali ke rumahnya, dalam beberapa waktu oknum polisi itu kumat dan membunuh keponakan dan iparnya.

Hal inilah yang membuat trauma dari pihak keluarga Suarsa, sehingga sampai saat ini meskipun telah mengalami perawatan, keluarga tetap menolak kepulangan Suarsa.

"Keluarga masih mempertimbangkan berani atau tidaknya menerima kembali. Karena ketakutan mereka cuma dia kumat lagi. Jadi ada rasa cemas dan khawatir," jelas Basudewa.

Pasien gangguan jiwa asal Banjar Saba, Desa Saba, Gianyar, yang berinisial MSA saat ini juga masih ditolak oleh keluarganya.

Bahkan, ODGJ yang dulunya kerap mengamuk seraya membawa senjata tajam di lingkunganya kini ditolak secara resmi oleh pihak desa setempat.

Pihak desa bahkan bersurat secara resmi ke RSJ Bangli meminta agar MSA tak dikembalikan ke desanya lantaran mengancam keselamatan warga sekitar.

Dari 10 pasein ODGJ di RS Bangli yang tidak bisa dipulangkan, satu di antaranya sebetulnya tidak pernah melakukan pembunuhan, ataupun perusakan yang membuat masyarakat tidak terancam.

Namun, pasien yang satu ini rupanya tidak memiliki tempat tinggal.

Dari data yang diperoleh Tribun Bali di RSJ Bangli, pasien ini ternyata adalah seorang warga negara Jepang yang kini sudah memiliki KTP Badung.

Sebelumnya, ia menikah dengan warga Bali di Negara, Jembrana, namum cerai.

"Nah sekarang dia tidak punya tempat tinggal. Sudah pernah kita pulangkan melalui Dinas Sosial Tabanan, tapi dikembalikan lagi ke sini karena tidak memiliki tempat tinggal," jelas Basudewa.

Ke-10 Pasien ODGJ yang tidak bisa pulang ini ada yang berasal dari Denpasar, Klungkung, Buleleleng, Bangli, Karangasem, Jembrana, dan Gianyar.

Skema Pembiayaan JKN

RSJ Bangli saat ini memiliki pasien rawat inap sebanyak 265 pasien dari 400 kamar tidur yang tersedia.

Sedangkan, jumlah penderita gangguan jiwa di Bali saat ini diperkirakan sebanyak 9-12 ribu jiwa yang tersebar di seluruh kabupaten/kota di Bali.

Basudewa mengatakan, rata-rata pasien ODGJ di RS Bangli sudah ditanggung oleh program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Pembiayaannya berdasarkan paket skema pembiayaan yang telah ditetapkan dari program JKN.

Untuk pasien yang hanya mengalami gangguan jiwa gundah gelisah, cemas, dan sejenisnya hanya diberikan perawatan maksimal 42 hari.

Jika dalam waktu 42 si pasien masih memunculkan gejala-gejala gangguan kejiwaan, maka si pasien diberikan paket skema pembiayaan sub akut dengan masa perawatan selama dua bulan di RSJ Bangli.

Jika dalam dua skema pembiayaan itu si pasien masih juga belum mengalami perbaikan, atau masih ditemukan gejala, maka akan diberlakukan paket kronis, dengan masa perawatan selama enam bulan di RSJ Bangli.

"Jadi kalau dia dibayar oleh negara alias gratis, dia bisa dirawat sampai enam bulan saja. Itu skemanya. Rata-rata kami sekarang sudah dibawah 40 hari. Dulu sampai 60 harian. Sekarang sudah bisa mengejar. Tapi ini dengan berbagai program. Salah satu diobati dengan obat anti bingung, anti sedih, anti cemas, setelah dia tenang kemudian diberikan terapi rahbilitasi, pendekatan keluarga, kemudian baru disiapkan pulang," jelas Basudewa.

Dalam jangka waktu enam bulan, pihak rumah sakit biasanya mendiskusikan masalah pemulangan pasien dengan pihak keluarga pasien.

Apabila dalam diskusi pihak keluarga tidak menerima kehadiran ODGJ itu, maka pihak RSJ Bangli akan menggunakan program droping yang bekerjasama dengan Dinas Sosial setempat.

"Jadi paling tidak kita rawat mereka di sini berdasarkan skema itu. Kalau tidak, keluarga suruh datang ambil pulang dulu, atau drop di sosial, kemudian dimasukkan lagi ke kita. Intinya pasien di sini tidak bisa seterusnya dirawat tanpa pernah keluar dari rumah sakit, karena itu kan skema pembiayaannya JKN. Itu salah satu problem kita di sini," terangnya.

Dijelaskan, untuk pasien gangguan jiwa tidak bisa sekali keluar dari rumah sakit langsung sembuh. 60 persen dari total pengidap skizofrenia, kata dia, pasti sempat bolak-balik dari kediamannya ke RSJ.

Hal ini disebabkan oleh banyak faktor. Di antaranya faktor keluarga yang tidak disiplin dalam merawat, atau memberikan obat, faktor komunikasi antarkeluarga, lingkungan sekitar, dan faktor bawaan.

"Obatnya harus diteruskan. Biasanya sudah di rumah, dan menganggap sudah sembuh, obatnya tidak diteruskan, kambuh lagi. Penyakit jiwa itu kan agak lama sembuhnya," jelas Basudewa.

Perhatian dari Keluarga

Kasi Kesehatan Jiwa Masyarakat (Keswamas) RSJ Bangli, dr Bagus Surya Kusuma Dewa menambahkan, apabila pasien RSJ saat akan dipulangkan mendapatkan penolakan dari keluarga atau desa setempat, maka langkah yang dilakukan pihak RSJ yakni melakukan kerjasama dengan instansi yang membidangi masalah sosial, seperti kepala dusun, kepala desa, camat, hingga dinas sosial, dan instansi lainnya.

"Hal itu untuk memberikan pengertian pada keluarga tersebut bahwa orang dengan gangguan jiwa ini bukan hanya obat saja yang dibutuhkan, tapi juga perhatian dari keluarga. Lingkungan sekitar sangat mempengaruhi apakah pasien bisa sembuh atau tidak itu dipengaruhi oleh hal-hal tersebut," jelas dr Bagus.

Apabila dengan cara pendekatan kekeluargaan tidak juga berhasil, maka RSJ bekerjasama dengan dinas sosial, kementerian sosial, polri, BPJS, kemendagri, dan instansi terkait tetap akan merawat pasien tersebut.

"Kalau sudah seperti itu, kan sudah menjadi masalah sosial. Karena kalau gangguan jiwa itu bukan soal kesehatan saja, tapi ada masalah sosial, penanggungannya, masalah keamanan, administrasi kependudukan dia. Jadi ini merupakan masalah bersama, bukan masalah satu instansi saja," papar dr Bagus. (win/zan)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved