Dharma Wacana
Marak Kasus Pembuangan Bayi, Begini Pandangan Ida Pandita
Belakangan ini sangat banyak sekali kasus-kasus pembuangan atau pengguguran bayi. Dalam hukum agama Hindu itu disebut dengan Brunaha.
Penulis: I Wayan Eri Gunarta | Editor: Ady Sucipto
TRIBUN-BALI.COM, -- Belakangan ini sangat banyak sekali kasus-kasus pembuangan atau pengguguran bayi. Dalam hukum agama Hindu itu disebut dengan Brunaha.
Itu hukumnya sangat berat, sama halnya dengan membunuh seorang brahmana.
Tetapi pertanyaan kita sekarang, kenapa ada tindakan seperti itu? Sebab kita tidak boleh menjustifikasi sebuah peristiwa secara mentah.
Di balik itu tentu ada latar belakang pemikiran, sehingga sampai terjadi kasus pengguguran atau pembuangan bayi.
Di era yang sangat terbuka ini, artinya tidak ada sekat ataupun kontrol ketat terhadap pribadi seseorang, sehingga seseorang sangat bebas sekali melakukan sesuatu di luar batas toleransi sosial, atau melanggar norma-norma agama.
Kondisi ini tidak hanya terjadi di kalangan anak muda, tetapi hampir terjadi pada setiap kalangan.
Salah satu pemicu dari kondisi ini adalah media sosial (medsos), yang membuat pergaulan seseorang menjadi sangat terbuka bebas, dan akses terhadap pengetahuan baik positif dan negatif dapat dilakukan kapan pun dan di mana pun.
Lantaran penggunaan medsos sangat kebablasan, terjadilah sesuatu yang tidak diinginkan. Lebih-lebih orang sekarang, kehilangan jati diri.
Maka dia akan mencoba-coba banyak hal. Seperti, masuk ke dunia kependetaan, kegiatan-kegiatan tabu hingga melakukan aktivitas maksiat di luar kewajaran.
Di media sosial itu, kita dipamerkan sebuah etalase untuk dipilih. Namun pilihan ini terkadang tidak dilandasi pemikiran yang cermat atau tanpa pernah memikirkan apa akibatnya.
Lalu bagaimana cara untuk memperbaiki kondisi seperti ini? Memang untuk mengawalinya agak sulit. Dari mana kita mulai? Ketika ada mobilisasi yang sangat tinggi di lingkungan ethnoscape, meski kita sikapi dengan bijak.
Maka itu sekarang kita renungkan, selama ini agama kita hanya fokus pada Atas. Sekarang mari kita kembalikan agama kita pada aspeknya. Yakni tidak hanya ke Atas, tetapi juga ke samping (antara sesama).
Sebab agama tidak hanya hadir untuk menuntun umat manusia untuk mendekatkan diri pada Tuhan, tetapi agama juga merupakan alat membangun moralitas masyarakat menjadi baik.
Lalu siapa yang harus menangani yang seperti itu? Ini adalah tanggung jawab bersama.
Mulai dari institusi pemerintahan, keluarga, institusi agama termasuk juga institusi desa pakraman.
Selama ini, khususnya desa pakraman hanya berkutat pada ritual dan menolak orang dikremasi.
Saat ini, desa pakraman juga harus mulai memikirkan bagaimana mengubah pola pikir keliru masyarakatnya.
Perlu disadari, moral itu tidak hanya hadir di dalam agama, tetapi moral itu ada di segala ruang.
Dan, beragama itu tidak hanya saat di pura. Ampura, kalau kita hanya beragama di pura, di institusi lain dalam hubungan kerja, bisa saja orang melakukan perselingkuhan.
Maka dengan demikian, bagaimana aspek faktor kemanusiaan ini harus dikelola. Inilah yang menjadi pekerjaan besar bagi kita bersama.
Kalau masalah ketuhanan di Bali tidak perlu diragukan lagi, apalagi sekarang ngetren tirtayatra, sembahyang di tempat-tempat yang jarang dikunjungi manusia.
Tetapi apakah pararel dengan perilaku kehidupan sehari-hari? Kadang inilah yang tidak terjadi.
Kondisi inilah yang melahirkan perbuatan-perbuatan jahat, seperti menggugurkan anak, dan kejahatan kemanusiaan lainnya. (weg)