Simpang Ring Banjar

Tidak Bedakan Kasta dan Klan, Pembuatan Petulangan Banjar Bona Kelod Dilakukan Bersama

Puncak pengabenan di Banjar Bona Kelod, Desa Pakraman Bona secara umum akan digelar 7 Agustus 2018 ini

Penulis: I Wayan Eri Gunarta | Editor: Irma Budiarti
Tribun Bali/I Wayan Eri Gunarta
Petulangan gajah mino dan lembu berjajar di depan bale kulkul, Kamis (2/8/2018). 

TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR - Puncak pengabenan di Banjar Bona Kelod, Desa Pakraman Bona secara umum akan digelar 7 Agustus 2018 ini.

Sejumlah petulangan, yang nantinya dipakai sebagai wadah para sawa, telah berjajar di depan bale kulkul setempat.

Bentuk petulangan tersebut beraneka ragam, seperti lembu, singa, sudang (ikan), kelopak (peti berkaki), hingga gajah mino (ikan berkepala gajah).

Kelian Dinas Bona Kelod, Ngakan Ketut Wiradana mengatakan, beragamnya bentuk petulangan ini dikarenakan Desa Pakraman Bona terdiri dari berbagai kasta dan klan.

Meskipun demikian, kata dia, dalam pembuatannya tidak mengenal kasta atau kelan.

Semuanya dikerjakan secara bersama-sama.

“Yang kasta pragusti, petulangan-nya dibuat pragusti, tidak demikian. Kami tetap kerjakan bersama-sama,” ujar Ngakan Wiradana.

Dalam pembuatan petulangan ini, pihaknya tidak perlu menyewa seniman patung sebab sebagian besar masyarakat setempat mampu mengerjakannya.

Kondisi ini, membuat masyarakat pemilik sawa juga tidak terbebani biaya membuat petulangan.

“Yang bisa membuat kepala, bertugas membuat kepala, yang bisa ngodi (mengukir) mengambil tugas ngodi, yang bisa membuat kaki ambil tugas membuat kaki. Astungkara, semua krama di sini memiliki keahlian yang dibutuhkan, sehingga tak perlu menyewa seniman,” ujarnya.

Namun lantaran keterbatasan waktu, kata Ngakan Wiradana, estetika petulangan relatif minim.

Namun demikian, hal ini tidak menjadi permasalahan sebab yang terpenting, bentuknya tidak melenceng dari makna.

“Kami sudah bekerja sejak 25 hari, dan puncaknya tanggal 7 Agustus. Astungkara semua keperluan Pitra Yadnya hampir rampung,” ujarnya.

Wiradana tidak menampik, saat ini masyarakatnya perlu bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.

Karena itu, sistem gotong royong di sini tidak kaku.

“Di sini bebas, kalau punya waktu pagi, bisa datang pagi. Sebab gotong royong di sini, dari pagi, siang, dan sore. Jika tidak bisa hadir, bisa ganti dengan dana punia. Tapi selama ini, tidak pernah ada masyarakat yang tak hadir sama sekali. Mereka sadar, suatu saat juga akan menggelar upacara seperti ini,” tandasnya.

Terapkan Ngaben Kolektif

Sebagai banjar yang memiliki kesatuan dinas sendiri, Banjar Bona Kelod, Desa Bona, Kecamatan Blahbatuh masih sangat mematuhi warisan adat leluhur.

Hal tersebut terlihat dari sistem Upacara Pitra Yadnya yang saat ini digelar krama setempat.

Dalam pengambilan suatu kebijakan, mereka sangat mematuhi kebijakan Desa Pakraman Bona, yang beranggotakan empat banjar adat dan enam banjar dinas.

Kelian Dinas Banjar Bona Kelod, Ngakan Ketut Wiradana, saat ditemui, Kamis (2/8/2018) pagi mengatakan, saat ini krama banjarnya tengah mempersiapkan upacara Pitra Yadnya atau ngaben kolektif.

Dalam kegiatannya, pembuatan setiap sarana upakara, baik itu bebantenan hingga sarana petulangan, tidak hanya melibatkan krama Banjar Bona Kelod.

Tetapi bekerja bersama-sama dengan semua krama dari semua banjar yang ada di Desa Pakraman Bona.

Menurut dia, di Desa Pakraman Bona, setiap kegiatan terkait warisan leluhur, seperti Piodalan hingga Pitra Yadnya, krama setempat tidak mengenal istilah kelompok banjar, kasta, klan, dan sebagainya.

“Jika ada kegiatan yang menyangkut warisan leluhur, kami kerjakan bersama-sama. Hal inilah, meskipun Desa Pakraman Bona terdiri dari banyak banjar, tapi hubungan krama banjar kami dan banjar lainnya sangat akur. Sebab sama-sama saling membutuhkan,” ujarnya.

Warisan adat secara turun-temurun di Desa Pakraman Bona adalah Pitra Yadnya dalam sistem kolektif.

Prosesi ini hanya digelar setiap tiga tahun sekali.

Masyarakat setempat, kecuali pendeta, sulinggih, dan manca (keluarga puri), dilarang untuk menggelar ngaben secara pribadi.

Menurut Ngakan Wiradana, larangan tersebut berdampak positif terhadap perekonomian masyarakat, khususnya masyarakat tidak mampu sebab dengan ngaben kolektif ini, masyarakat yang perekonomiannya mapan, secara tidak langsung telah mensubsidi masyarakat kurang mampu.

Selain itu, kata dia, beban masyarakat kurang mampu semakin ringan lantaran peran prajuru Desa Pakraman Bona relatif besar.

Mereka mencarikan masyarakat dana untuk menggelar Pitra Yadnya ke Pemerintah Daerah (Pemda) Gianyar.

“Masyarakat yang tidak mampu, dicarikan dana ke Pemda oleh Desa Pakraman sehingga mereka tidak perlu mengeluarkan biaya. Meskipun demikian, tradisi yang terjadi, masyarakat tidak mampu biasanya tidak mau menggelar upacara ini tanpa mengeluarkan dana sepeserpun. Upacara Pitra Yadnya kan pembayaran hutang kepada leluhur. Jika tidak keluar apa-apa, artinya utangnya dibayarkan orang lain, dan itu tidak sesuai dengan makna dan tujuan Pitra Yadnya,” ujarnya.

Jauhkan Generasi Muda dari Pergaulan Negatif

Semangat gotong royong tidak hanya terjadi di kalangan para orang tua.

Para pemuda dan pemudi Banjar Bona Kelod, yang tergabung dalam Sekaa Teruna Teruni (STT) Dharma Kerti juga tidak mau kalah.

Meskipun mereka berjumlah kurang dari 50 orang, namun semangatnya dalam meringankan beban krama banjar relatif besar.

“Pemuda di banjar kami jumlahnya kurang dari 50 orang. Meski sedikit, tapi mereka sangat berguna. Dalam persiapan pengabenan ini, mereka juga ikut membantu. Di luar membantu membuat sarana upakara, mereka mempersiapkan baleganjur untuk pengiring petulangan di hari puncak pengabenan. Tapi karena jumlahnya sedikit, mereka bergabung dengan Bala Bayu Suta (Karangtaruna Desa Bona),” ujar Kelian Dinas Bona Kelod, Ngakan Ketut Wiradana.

Ngakan Wiradana mengaku bangga terhadap generasi muda banjarnya.

Menurut dia, semangat mereka dalam melestarikan warisan leluhur, akan membuat tradisi di Banjar Bona Kelod, Desa Pakraman Bona akan terus terjaga.

“Generasi muda kami sangat berperan penting. Mereka tulang punggung kami,” tandasnya.

Menurut dia, keterlibatan para pemuda dalam kegiatan adat di banjar maupun di desa adat, merupakan sebuah keharusan.

Hal ini guna menjauhkan mereka dari pergaulan negatif.

Menurutnya, generasi muda yang terpengaruh hal negatif, seperti narkotika, pecandu alkohol dan sebagainya, dikarenakan mereka suka hidup dalam keterasingan.

“Kalau sudah berkumpul dengan sesama teman dan orang tua, mereka memiliki banyak pengetahuan, dan kesibukan yang positif. Hal ini akan sangat berguna saat mereka menjadi krama banjar,” ujarnya. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved