Ngopi Santai
Sejak Kecil Sama-sama Diajarkan Buang Sampah, Kenapa Orang Jepang Lebih Peduli?
Ini beda orang Indonesia dan orang Jepang dalam memandang sampah. Perbedaan ini membuat peradaban Jepang berada jauh di atas orang Indonesia
Penulis: Rizki Laelani | Editor: Rizki Laelani
TRIBUN-BALI.COM - Paud setahun, TK setahun, sekolah dasar 6 tahun, SMP 3 tahun, SMA 3 tahun.
Total 15 tahun kita sebagai orang Indonesia pasti diajarkan guru di sekolah dan orangtua di rumah untuk membuang sampah pada tempatnya.
Ilmu membuang sampah ini akan semakin lama dipelajari bila ditambah kuliah minimal sekitar 4 tahun.
Artinya 19 tahun, diajari membuang sampah pada tempatnya.
Logika sehatnya, seharusnya tak ada sampah yang berserakan.
Tak ada banjir akibat sampah menumpuk menutup laju air di sungai.
Yah, tapi ini Indonesia.
Di Indonesia yang benar bisa menjadi makin benar. Bisa juga yang salah, dan makin disalahkan.
Bahkan, ada juga yang jelas salah, menjadi benar dan menjadi sebuah "peradaban" baru, termasuk soal membuang sampah.
Membuang sampah sembarangan seakan sudah jadi adab bagi sebagian orang Indonesia ini.
Bahkan, sangat mencolok mata.
Meski diselimuti hingar bingar pembukaan yang menelan anggaran hingga triliunan rupiah, namanya adab memang mendarah daging.
Tak bisa diselimuti lagi oleh apapun.
Setidaknya aksi nyata sebuah peradaban bangsa Jepang mencolok mata orang Indonesia yang sedang menjadi tuan rumah hajatan besar Asian Games 2018.
Aksi suporter Jepang yang memungut puntung rokok dan membuangnya ke tempat sampah di komplek Stadion Gelora Bung Karno jadi viral.
Foto-foto itu telah diunggah ke media sosial dan dibagikan oleh banyak warganet.
Aksi serupa juga diperlihatkan orang Jepang saat gelaran pesta sepakbola World Cup 2018 di Rusia pada Juni 2018 kemarin.
Alhasil, sama seperti Piala Dunia lalu, kebanyakan orang Indonesia hanya bisa memuji.
Mereka mengapresiasi kebersihan dan kedisiplinan warga Jepang yang dikenal disiplin di manapun berada.
Pertanyaannya, kira-kira mulai kapan warga Jepang belajar kebersihan dan disiplin membuang sampah pada tempatnya? Kok orang Indonesia hanya bisa memuji?
Di negara yang pernah hancur tahun 1945 ini oleh dua bom atom milik Amerika Serikat ini, ternyata mengenal juga istilah pendidikan prasekolah atau pendidikan sebelum masuk SD.
Pendidikan prasekolah itu ada dua macam, yaitu hoikuen/child care, serta youchien/kindergarten.
Meski bukan kewajiban, namun lebih dari 95 persen anak-anak 3-6 tahun di Jepang mengikutinya.
Bagaimana yang tidak ikut?
Maka pemerintah pusat menyerahkan kegiatan untuk anak-anak ke pemerintah lokal, organisasi nirlaba, kominkan community center atau taman bermain.
Dalam hoikuen atau youchien, berbagai kegiatan dilakukan anak-anak.
Setiap pagi dan bertemu orang dewasa, sebagai penyemangat selalu bilang “Gambatte ne..”.
Kegiatan paling ramai adalah makan bersama. Mereka dari rumah sudah membawa alat makan lengkap, seperti sumpit, serbet, dan alas makan.
Setelah itu, anak-anak berkebun. Di sana mereka memperhatikan lingkungan.
Ada sampah, tanpa disuruh, langsung dipungut.
Anak-anak belajar menanam padi sendiri.
Tentu, sambil dijelaskan bagaimana manusia sangat membutuhkan padi sebagai makanan pokok yang setelah dioleh menjadi nasi.
Mereka pun diajarkan menanam makanan alternatif dan sayuran seperi kentang, ubi, lobak, bawang bombay, tomat, strawberi dan berbagai jenis bunga.
Setelah itu, anak-anak dibimbing membersihkan diri dan kelas secara bersama.
Para murid dibiasakan membuang sampah pada tempatnya.
Tentu, hal itu juga sama dilakukan anak-anak di Indonesia.
Mereka juga diperkenalkan untuk membuang sampah sesuai dengan jenis sampahnya.
Dari sinilah mereka belajar menjaga kebersihkan dan displin dalam membuang sampah.
Lingkungan pun menciptakan mereka disiplin.
Namanya disiplin tinggi, para orang tua dan yang sudah dewasa, memang sudah disiplin sehingga digugu dan ditiru anak-anak.
Pelajaran meniru itu juga yang dibawa mereka saat dewasa.
Bukan pesimistis, orang Indonesia kapan akan hidup disiplin tinggi seperti di Jepang.
Namun keyakinan saya, sebagian besar orang Indonesia masih "alergi" disiplin.
Maka, tiap hari potret-potret kesemrawutan akan terus menjadi ingatan yang mengkristal dalam memori siapa saja dan turun temurun.
Tak ada yang menegur, kecuali rasa malu itu lahir dari dalam darah dagingnya. (*)