Serba Serbi

Mau Bangun Rumah? Perhatikan Aturan Berikut Agar Tidak Membahayakan

Dalam kepercayaan masyarakat Bali, sebelum seseorang membangun rumah perlu memperhatikan berbagai macam hal

Penulis: Putu Supartika | Editor: Irma Budiarti
Rumah Bali 

Laporan Wartawan Tribun Bali, I Putu Supartika

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Dalam kepercayaan masyarakat Bali, sebelum seseorang membangun rumah perlu memperhatikan berbagai macam hal.

Salah satunya terkait dengan dewasa ayu (hari baik) beserta upacara dan upakara yang menyertainya.

Dalam Lontar Bhama Kertih dikatakan bahwa dalam membangun rumah harus diawali dengan mencari hari baik.

Sebelum memulai membangun sebaiknya dilakukan upacara pecaruan terlebih dahulu.

Adapun banten carunya menggunakan ayam brumbun yang diolah menjadi 33 tanding.

Selanjutnya, ditambah dengan banten pakala hyangan yang terdiri atas sasayut durmanggala, prayascita mala, yang dihaturkan kepada Hyang Bhuta Bhutana, dan segehan agung, beserta dengan tatabuhan, dihaturkan kepada Sang Bhuta Dengen.

"Dasar rumah diawali dengan bata merah, diisi rajahan bhadhawang nala, bertuliskan (Ang), di atasnya berisi klungah nyuh gading dikasturi dan airnya dibuang bertuliskan Ong," kata Putu Eka Guna Yasa, Dosen Bahasa Bali Unud.

Dilengkapi juga dengan wangi tangi, lengawangi, buratwangi, dedes, dan kwangén kraras (daun pisang kering), mengunakan uang kepeng 11 keteng, dibungkus kain putih, lalu diikat dengan benang tujuh warna.

Selain itu, pada kwangen menggunakan uang sejumlah 22 keteng dengan raka (buah) lengkap.

Semua itu kemudian dipendem (ditanam) pada lubang berbentuk persegi (merepat).

Namun, sebelum itu dilakukan prayascita pada wilayah yang akan dibangun.

Di atas lubang itu, dipasang sanggah surya, lalu dihaturkan banten pamakuhan berisi satu daksina, peras, sgehan putih kuning, mabetutu, maukem-ukem, raka gtigti, lenga wangi, buratwangi, panyeneng jumlahnya 1, dengan uang sejumlah 127 yang ditempatkan di daksina.

Menurut Guna, dalam ajaran Bhama Kertih, dituliskan beberapa cara untuk melihat vibrasi karang yang akan digunakan untuk membangun karang.

“Meskipun karang rimbun pepohonan, tetapi terasa terang, bersih, Dewa ngukuhi karang ika, Dewa yang mengukuhkan atau memberikan vibrasi positif karang itu,” kata Guna.

Seseorang yang menempati karang seperti itu, tidak akan kekurangan makanan.

Kalau ada karang bet (rimbun pepohonan), akan tetapi, ketika dilihat terasa ngawang-ngawang (pusing), maupun sepi, Tri Bhuta Dengan yang menempati.

Orang yang menempatinya cepat menemukan bahaya.

Rumah berjajar tiga dan ketiga pemiliknya memiliki hubungan saudara, tunggal garis keturunan, namanya sandang tawang, ala dahat (sangat berbahaya).

“Yang menempati karang itu memada-mada Bhatara (menyamai Bhatara) karena hanya Ida Bhatara yang memiliki rong tiga. Di sanggah kan ada rong tiga, Brahma, Wisnu, Iswara. Kalau berjajar sangat berbahaya,” tambah Guna.

Oleh karena itu, sebelum membangun rumah atau tempat suci perlu melakukan pecaruan.

Kalau ada karang lingkuhin rurung (dikelilingi jalan setapak), sula nyupi namanya, berbahaya.

Karang apit rurung (jalan setapak) dan jalan besar namanya kuda kabanda (kuda yang diikat), berbahaya.

Kalau ada umah lebih, tetapi belum diatapi di depannya, juga berbahaya.

Karang saling suduk pagar, suduk angga namanya, berbahaya.

Jika seseorang bersaudara membuat rumah yang mengapit jalan besar, berbahaya.

Kalau ada rumah memiliki dua pintu keluar, berbahaya, boros wong namanya.

Guna menambahkan, ada beberapa karang yang tidak bisa ditempati atau dibanguni rumah, yaitu bekas pura, bekas pura ibu, karang wisma pebajangan, tempat beraktivitas brahmana, karang yang sempat dirusak warga (kelebon amuk), dan tempat orang bunuh diri.

“Ada sengker (peringatan), kalau tiga kali kelebon amuk tidak boleh dibanguni rumah, sangat berbahaya,” katanya.

Selain itu, ada juga asta kosali pengalihan karang untuk pekarangan rumah agar tidak kena penyakit.

Yan karang tegeh ring pascima ayu nemu laba sang ngumahin.

Apabila tanah yang ditempati tinggi di sebelah barat, yang menempati akan menemukan keberuntungan dan ayu.

Karang tegeh ring purwa tan pegat kageringan sang ngumahin.

“Kalau karang itu tinggi di Timur, orang yang menempati tidak henti-hentinya terkena penyakit,” kata Guna menerjemahkan.

Yan karang seng uttara, ayu sawetuning pianaknia, cucunia, tan kurang bhoga sang ngumahin.

Apabila karang itu miring ke utara, apabila telah melahirkan anak dan cucu tidak akan kekurangan makanan orang yang menempatinya.

Yan karang seng daksina tan pegat kageringan, galakin Desti.

Kalau karang itu miring ke selatan, tidak akan henti-hentinya terkena penyakit, galakin Desti.

“Arah selatan dikaitkan dengan posisi negatif secara niskala akan cenderung menarik hal-hal yang sifatnya penestian,” kata Guna.

Yan karang asah ala ayu, tan kurang pangan inum sang ngumahin.

Menurut Guna, dalam membuat rumah agar ‘aman’ cari tanah yang datar.

Yan tanah bang alus, maambu lalah, ayu sihing kadang warga, tekeng pianaknia nemu ayu sang maumah.

Kalau tanah berwarna merah, alus, dan berbau tajam, hingga anaknya akan disegani atau dikasihi oleh sanak saudara.

Yan tanah selem magoba ucem, maambu panes, ala dahat, awya ngumahin.

Kalau ada tanah berwarna hitam legam, berbau panas, sangat berbahaya, jangan ditempati.

Yan tanah maambu bengu, alid, away ngumahin.

“Yang bau tanahnya alid, bengu, ala itu, jangan ditempati,” kata Guna.

Terkait karang panes atau tidak baik salah satu cirinya adalah adanya kemunculan lulut di pekarangan.

Jika ada lulut di pekarangan, kalulut baya namanya, panes karang itu.

“Menurut lontar Roga Sanghara Gumi, salah satu tanda karang panes adalah munculnya hal-hal yang tidak lumrah, seperti kemunculan lulut. Itu cihna (pertanda) karang panes,” kata Guna.

Ia menambahkan, kemunculan lulut ini merupakan hal yang tidak biasa dalam kehidupan sehari-hari.

Guna menambahkan, pasti ada unsur-unsur tertentu di dalam tanah yang menyebabkan kemunculan lulut ini.

Secara mitologis, ia mengatakan lulut ini dikaitkan dengan Ida Bhatara Sri yang muncul sebagai cihna (pertanda) karang itu panes.

“Parameter pertama dalam tradisi saya di Bangli, kemunculan lulut ini pertanda karang panes. Pasti akan dilaksanakan upacara prayascita,” kata Guna yang berasal dari Bangli.

Penyikapan yang dilaksanakan jika ada hal ini yaitu melakukan upacara prayascita.

Selain itu, lulut tersebut diletakkan di dalam klungah (kelapa kecil yang sudah ada airnya), setelah itu dihanyutkan di sungai atau laut.

Penyikapan yang lebih tinggi ada juga dengan melakukan pecaruan.

Hal itu dilaksanakan jika, lulut tersebut muncul berulang-ulang di karang yang sama. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved