Putra Kedua I Gusti Ngurah Rai Berpulang, Sempat Rekam E-KTP Sebelum Meninggal
Kabar duka kembali menyelimuti keluarga besar Pahlawan Nasional, Brigjen Anumerta I Gusti Ngurah Rai.
Penulis: I Komang Agus Aryanta | Editor: Ida Ayu Made Sadnyari
TRIBUN-BALI.COM, MANGUPURA - Kabar duka kembali menyelimuti keluarga besar Pahlawan Nasional, Brigjen Anumerta I Gusti Ngurah Rai.
Setelah keponakannya, I Gusti Ngurah Agung Danil Yunanda Yudha, berpulang Rabu (9/1/2019), kini putra keduanya, I Gusti Ngurah Tantra, menghembuskan napas terakhirnya, Selasa (22/1/2019) sore.
Suasana duka sangat terasa di Puri Ngurah Rai, Desa Carang Sari, Petang, Badung, Bali, Rabu (23/1/2019).
Sejumlah kerabat sudah berdatangan untuk melayat setelah mengetahui Gusti Ngurah Tantra meninggal dunia.
Gusti Tantra adalah putra kedua dari tiga bersaudara.
Rencananya, almarhum akan dipelebon bersamaan dengan keponakannya, I Gusti Ngurah Agung Danil Yunanda Yudha, pada April mendatang setelah Karya Agung Panca Wali Krama di Pura Besakih.
Anak kedua almarhum, AA Ngurah Putra (46), tak menyangka ayahnya meninggal begitu cepat.
“Memang selama ini beliau sempat sakit dan opname, tapi sudah sembuh,” ujarnya Rabu (23/1/2019).
Sebelum meninggal, almarhum terlihat biasa-biasa saja.
Bahkan Pada Senin (21/1/2019) sempat diantar untuk mengurus membuat KTP elektonik.
E-KTP tersebut rencananya digunakan untuk mengurus santunan lansia yang digulirkan Pemkab Badung.
Yang agak aneh, dalam perjalanan tersebut almarhum dikatakan sempat mengutarakan keinginan agar sang istri, I Gusti Ayu Adi (70), dibuatkan foto sendiri.
Dengan demikian, mereka memiliki foto masing-masing.
Pada hari itu pula, almarhum juga berkunjung ke rumah ibunya, mendiang Desak Putu Kari di kawasan Jalan Nangka, Denpasar.
“Ajik sudah tua, nanti agar ada foto sendiri-sendiri. Kita tidak tahu apa yang terjadi ke depannya,” ujar Ngurah Putra menirukan perkataan sang ayah.
Beberapa menit sebelum meninggal, kakek delapan cucu ini masih sempat memberi makan burung.
Usai memberi makan burung, almarhum beranjak ke tempat tidur.
“Biyang yang berteriak karena melihat Ajung (almarhum) sudah telentang di tempat tidur. Tiang pun langsung mendekat,” ucapnya dengan mata sembab.
Sembari menitikan air mata, Ngurah Putra mengenang mantan pentolan Pemuda Panca Marga (PPM) itu sebagai sosok yang sederhana.
Namun karena dalam dirinya mengalir darah pahlawan, senantiasa ada keinginan untuk berdedikasi kepada masyarakat.
Salah satunya, almarhum sempat mendirikan yayasan dan sekolah di Carangsari sekitar tahun 1980-an.
Bahkan saat itu, sekolah tersebut digratiskan.
“Beliau ingin agar anak-anak di sini bisa mengenyam pendidikan. Karena saat itu sekolah di sini masih jauh,” katanya.
Ngurah Putra mengatakan semasa hidup almarhum senantiasa mengingatkan agar anak-anaknya tetap rukun dan menjaga persatuan.
Di samping itu, agar senantiasa berbuat yang terbaik untuk masyarakat, bangsa, dan negara.
Prof. Dr. I Wayan Windia yang merupakan salah satu teman dekat I Gusti Ngurah Tantra menambahkan, almarhum merupakan bagian dari perjalanan sejarah I Gusti Ngurah Rai.
Hidup sebagai putra pejuang saat itu, kata Windia, bukan hal mudah.
Hal itu juga dialami oleh Ngurah Putra.
“Bahkan beliau bersama ibunda sempat ditawan di tangsi Belanda di Gianyar,” tutur Prof Windia saat ditemui di rumah duka, kemarin.
Meski begitu, ketika situasi bangsa kembali pulih seperti, Ngurah Tantra dikatakan tak tinggi hati.
Justru tekadnya mengisi kemerdekaan sangat kuat.
Salah satunya dengan mendirikan yayasan dan sekolah Panca Marga untuk anak-anak kurang mampu.
“Beliau tidak pernah bersikap berlebihan, meski menjadi anak seorang pahlawan besar,” ungkapnya dengan rasa bangga. (komang agus aryanta)