Kontroversi Supersemar Yang Membuat Soekarno Disebut Merasa Dikibuli Soeharto
Pada waktu yang sama, Brigjen Kemal Idris mengerahkan sejumlah pasukan dari Kostrad untuk mengepung Istana.
Dalam sebuah pidato, ia menegaskan bahwa "kom" tersebut bukanlah komunisme dalam pengertian sempit, melainkan marxisme atau tepatnya sosialisme.
Dalam kesempatan lain, Soekarno mensinyalir bahwa revolusi Indonesia telah dibelokkan ke kanan.
Padahal, menurut dia, revolusi Indonesia itu pada intinya adalah kiri.
Meskipun demikian, Soekarno bersaksi, "Saya bukan komunis."
Terkait kasus 1965, Soekarno mengetahui bahwa ada oknum PKI yang bersalah.
Namun, ia beranggapan kalau ada tikus yang memakan kue di dalam rumah, jangan sampai rumah itu yang dibakar.
Sidarto menuturkan, Soekarno masih memiliki peluang mengendalikan situasi pasca-Supersemar.
Ia menyebut posisi kekuatan ABRI saat itu masih 60:40 pro-Soekarno.
Masih banyak loyalis Soekarno di tubuh ABRI-Polri yang siap membela.
Para loyalis Soekarno itu di antaranya adalah Angkatan Udara di bawah KSAU Omar Dhani, Angkatan Laut di bawah KSAL Mulyadi, Polri di bawah Jenderal Pol Soetjipto Joedodiharhjo, dan Kodam Siliwangi di bawah Mayjen Ibrahim Ajie.
Kemudian, Korps KKA di bawah Letjen Hartono, Korps Brimob di bawah Anton Soedjarwo, dan sebagian besar pasukan Kodam Brawijaya yang setia membela Soekarno.
Namun, ketika para loyalis ini menyarankan untuk melawan, Soekarno menolaknya.
Soekarno tidak ingin perlawanannya memicu perang sipil dan memecah belah bangsa.
"Para loyalis ini tidak tega melihat Bung Karno. Lebih baik mati bersama-sama. Sangat berisiko, tapi mereka die hard semua," ungkap Sidarto.
Tentang Sidarto
Sidarto diangkat menjadi ajudan Presiden Soekarno pada 6 Februari 1967.