Kenapa Manusia Tak Bisa Melihat Dewa? Ini Kisahnya Menurut Babad Pasek Kayu Selem
Setelah manusia pertama lahir, sempat terjadi konflik antara manusia pertama dengan Dewa Brahma maupun Wisnu.
Penulis: Putu Supartika | Editor: Eviera Paramita Sandi
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR- Konon manusia Bali pertama bisa melihat para dewa, namun dikarenakan membuat kesalahan manusia tak lagi bisa melihat para dewa.
Apa kesalahannya?
Menurut Staf Dosen Bahasa Bali Unud, dalam Babad Pasek Kayu Selem, dalam penciptaan awal manusia Bali, Dewa Wisnu dan Dewa Brahma melakukan koalisi untuk menciptakan manusia.
Untuk menjamin keteguhan tapa brata yoga samadi dari Brahma dan Wisnu ketika menciptakan manusia pertama ini, Dewa Yama diutus oleh Dewa Pasupati untuk menjadi anjing dan menggoda tapa-Nya dengan jalan menggonggong.
“Sehingga pecahlah konsentrasi kedua dewa akibat godaan, namun pada bagian akhir tapa kedua dewa berhasil,” kata Guna.
Setelah manusia pertama lahir, sempat terjadi konflik antara manusia pertama dengan Dewa Brahma maupun Wisnu.
Konon menurut Babad Pasek Kayu Selem, ketika dewa turun ke dunia, manusia pertama ini sedang buang kotoran.
Sambil buang kotoran, manusia pertama ini bertanya pada dewa itu.
“Wahai dewa engkau ingin pergi kemana?”
“Aku hanya ingin melihat keadaan alam,” jawab dewa.
Saat itu dilihatlah oleh si anjing dan si anjing mengadu pada dewa, “kenapa manusia yang tanpa etika itu engkau berikan kesempatan untuk bertanya ketika dia buang kotoran.”
Dan atas aduan si anjing tersebut, mata mansia pertama diolesi warna lain di matanya yang membuat manusia tak bisa melihat dewa lagi.
“Walaupun dalam Suarga Rohana Parwa, dikatakan bahwa anjing membantu Dharmawangsa sampai pada puncak Mahameru, tapi dalam teks lain ada juga disebutkan bahwa hubungan antara manusia dan anjing tidak selalu mulus,” katanya.
Guna mengatakan dalam banyak pustaka daging anjing tidak bisa untuk dikonsumsi.
Teks Nitisastra menyebutkan ada beberapa jenis daging yang tidak dapat dipakai sajian persembahan pada para dewa dan pitara saat akan melakukan upacara begitupula untuk dikonsumsi termasuk daging anjing.
Jenis daging tersebut yakni daging lutung, were (jenis kera), alap-alap, jenis kodok, ula, kuuk, kusa, celeng umah (babi yang dipelihara), macan, kadal, luwak, tikus, dan hulu ayam.
Jika dikonsumsi bersifat ala atau tidak baik bahkan bisa menemu neraka.
Selain itu, saat melakukan upacara yadnya pantang untung menyakiti anjing.
Di dalam Adi Parwa disebutkan Raja Janamejaya dari Hastina akan melakukan upacara yadnya yang besar yakni Sarpayadnya.
Ketika itu, anjing milik Sang Sarameya karena datang ke lokasi upacara dipukul oleh salah seorang abdi Raja Janamejaya.
Anjing tersebut sedih dan mengadu pada ibunya yang bernama Pulaha.
Oleh Pulaha upacara tersebut dikutuk agar tidak sukses, dan atas kutukan Pulaha, upacara tersebut pun tak berjalan sukses.
“Sehingga pantang memukul anjing saat upacara, kalau diusir boleh, kalau melakukan pemukulan atau menyakitinya diyakini bisa berkibat tidak sukses terhadap suatu upacara, apalagi kalau memakan daging anjing,” kata Guna. (*)