Smart Woman

Candra Dewi Bangun 'Bumi Setara' Bersama Tiga Sahabat, Sebuah Ruang Setara untuk Difabel

Kini sudah tiga tahun lamanya Ni Putu Candra Dewi SH menjalankan inisiatif sosial ‘Bumi Setara’ bersama tiga sahabatnya

Penulis: Ni Ketut Sudiani | Editor: Widyartha Suryawan
Tribun Bali/Ni Ketut Sudiani
Ni Putu Candra Dewi 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Kini sudah tiga tahun lamanya Ni Putu Candra Dewi SH menjalankan inisiatif sosial ‘Bumi Setara’ bersama tiga sahabatnya.

Perjalanan untuk men-setara-kan ‘bumi’, tentu bukanlah langkah yang mudah.

Berbagai hambatan dan tantangan dialaminya, namun semua itu tidak mengurangi semangatnya untuk terus membangun gerakan kemanusiaan ini.

"Ketiga kawan yang saya ajak untuk membangun adalah Ari Bathilda, Kak Siska, dan Mbk Vivi. Masing-masing latar belakangnya berbeda, tapi tujuan kami sama,” ujar Candra saat ditemui Tribun Bali belum lama ini di Denpasar. 

Keseteraan yang dimaksudkan oleh Candra adalah setaranya apresiasi dan penghargaan untuk mereka yang difabel.

Bahwa di bumi ini semuanya adalah setara, memiliki hak yang sama. Pada tahun ketiga ini, melalui Bumi Setara, Candra dan 3 pendiri lainnya telah memberikan 10 beasiswa pendidikan untuk mereka yang difable.   

Pencapaian mereka tentu bukan hanya tentang angka jumlah anak yang dibantu. Melainkan bagaimana mereka bisa memberikan akses pendidikan yang secara tidak langsung juga membantu keluarga anak yang diberikan beasiswa.

“Jadi ini bukan perkara 10 anak saja, tapi kami memandangnya bahwa membantu 10 anak, sama dengan membantu 10 keluarga,” terangnya. 

Pendanaan untuk memberikan beasiswa pendidikan, didapatnya dari sumbangsih para donatur yang disebut Kakak Buset, yakni senilai mulai Rp 100.000 setiap bulan.

Dari dana yang terkumpullah, mereka membantu keberlanjutan pendidikan anak-anak yang kurang beruntung, khususnya mereka yang difabel.

“Porsi perempuan lebih banyak, karena hasil surveinya menunjukkan demikian. Jadi biaya satu anak disokong oleh tiga Kakak Buset. Laporan kami kepada donatur selalu transparan,” tegasnya.

Komitmen dan konsistensi Candra untuk tetap mengabdi di bidang ini - walau kesehariannya juga disibukkan dengan berbagai kegiatan - adalah karena ia pernah mengalami bagaimana pahitnya berada dalam posisi yang terbatas.

Ia pernah dua kali mengalami posisi sebagai difabel. Karenanya ia pun terus menekankan bahwa perspektif terhadap difable itu perlu diluruskan.

Mereka yang difabel memiliki cara yang berbeda untuk mencapai sesuatu jika dibandingkan mereka yang normal.

Different ability. Jadi misalnya untuk mengambil sesuatu, mereka yang normal, mungkin akan lari jika ingin dapat cepat. Tapi mereka yang difabel, juga akan sampai, hanya saja mereka punya caranya sendiri. Ini yang harus dipahami,” ujarnya.

Belakangan, Candra pun menyadari bahwa persoalan difabel adalah permasalahan kelompok minoritas di manapun berada.

“Ini adalah konstruksi sosial. Jangan mereka yang dipaksa untuk menyesuaikan kepada mereka. Tapi kita yang sudah lebih banyak dimudahkan, harus mau ketemu di tengah,” ungkapnya. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved