Hari Kartini

TRIBUN WIKI - Selamat Hari Kartini! Ini 53 Kutipan RA Kartini, Kirim untuk Ibu & Orang Tersayang

Kali ini Tribun Bali sajikan kutipan RA Kartini dalam buku Habis Gelap Terbilah Terang. Kirim pada ibu atau orang tersayang

Penulis: I Wayan Sui Suadnyana | Editor: Irma Budiarti
tribunnews.com
RA Kartini. TRIBUN WIKI - Selamat Hari Kartini! Ini 53 Kutipan dari RA Kartini, Kirim pada Ibu & Orang Tersayang 

37. Siapa yang sungguh-sungguh mengabdi kepada Tuhan, dia adalah manudia bebas dan dia tidak terikat kepada siapapun (Hal. 358)

38. Bermimpi memang menyenangkan. Mimpi itu indah, tetapi apakah gunanya bila mimpi itu hanya mimpi saja? Mimpi haruslah dibuat lebih indah, lebih mikmat dengan berusaha mewujudkannya. (Hal. 360)

Baca: Meriahkan Hari Raya Paskah, Manajemen Bandara Ngurah Rai Hadirkan Easter Egg Emote

Baca: Klungkung Diguyur Hujan Abu Cukup Pekat, BPBD Bagikan Masker Gratis ke Warga

39. Seorang perempuan yang mengorbankan diri untuk orang lain, dengan segala rasa cinta yang ada dalam hatinya, dengan segala bakti, yang dapat diamalkannya, itulah perwmpuan yang patut disebut sebagai "ibu" dalam arti sebenarnya. (Hal. 365)

40. Ibu adalah pusat kehidupan rumah tangga. Kepada mereka dibebankan tugas besar mendidik anak-anaknya, pendidikan akan membentuk budi pekertinya. Berilah pendidikan yang baik bagi anak-anak perempuan. Siapkanlah dia masak-masak untuk menjalankan tugasnya yanh berat. (Hal. 386)

41. Melakukan apa saja jika itu permulaan pasti akan sulit, termasuk mereka para perintis, jalan hidupnya penuh dengan kepahitan. Karena itu mudah dipahami bila orangbtua lebih suka melihat anak-anaknya memilih jalan yang akan memberi jaminan hidup bahagia daripada memilih jalan yang dikatakan sulit itu. (Hal. 387)

42. Jiwa bangsa mana pun baru dapat dikenal dengan baik, apabila kita sementara waktu hidup di tengah-tengah bangsa itu dan turut menghayati hidup bangsa itu. (Hal. 412)

43. ... alasan mengapa kami agak sedikit mengacuhkan agama sebab kami melihat banyak kejadian tak berperikemanusiaan yang dilakukan orang dengan berkedok agama. Lambat laun, barulah kami tahu, bukan agama yang tiada memiliki kasih sayang, melainkan manusia jugalah yang membuat buruk segala sesuatu yang semula bagus dan suci itu. (Hal. 415)

44. Seharusnya kami sama sekali tidak perlu menghiraukan bagaimana pengarang itu sebagai manusia. Hendaknya kami hanya menghormati jiwa seni dalam dirinya, seperti Multatuli menghargai orang karena bakatnya yang luar biasa. (Hal. 416)

45. ...bahwa adat itu tidak lain dari kebiasaan yang dipungut. Seperti halnya pakaian lama apabila tidak memenuhi selera kami lagi dapat saja ditinggalkan. Dan adat itu sendiri tidak ada hubungannya dengan kebahagiaan hidup kami. (Hal. 418)

46. Menolong diri sendiri kerap kali lebih sulit daripada menolong orang lain. Dan siapa sanggup menolong diri sendiri, akan sanggup menolong oranh lain dengan lebih sempurna. (Hal. 419)

Baca: Sempat Koma Setelah Dikubur Hidup-hidup, Bayi 7 Bulan di Purwakarta Akhirnya Meninggal

Baca: Ramalan Zodiak 21 April 2019: Jangan Egois, Capricorn! Keberuntungan Menyertai Aquarius Seharian

47. Saya berpikir dan percaya, bahwa jalan yang sebaik-baiknya supaya diri sendiri bahagia dan di samping itu membuat indag hidup orang lain, apabila kita sedapat-dapatnya berusaha mengerti. Makin banyak kita mengerti, makin kurang rasa dendam dalam hati kita, makin penuh kasih sayang dan makin adil pertimbangan kita terhadap orang lain. (Hal. 453)

48. Dan tidak ada usaha mendidik yang lebih baik selain daripada contoh yang baik, teladan yang patut ditiru orang. (Hal. 480)

49. Kami tidak peduli agama mana yang dipeluk orang atau bangsa mana dia. Jiwa besar tetap jiwa besar, akhlak mulia tetap akhlak mulia. (Hal. 482)

50. "Biarkan orang-orang tetap bodoh, dan kekuasaan mereka akan tetap ada di tangan kita!" Kiranya demikianlah semboyan kebanyakan pembesar. Mereka tidak suka melihat orang-orang lain yang juga menginginkan pengetahuan dan kepandaian. (Hal. 542)

51. Sekolah tidak akan dapat memajukan masyarakat, tanpa mendapat dukungan dari keluarga di rumah. Lebih-lebih dari rumahlah kekuatan mendidik itu berasal. Siang malam anak-anak berada di rumah, sedangkan di sekolah anak hanya mendapatkan pendidikan beberapa jam saja. (Hal. 545)

52. Peradaban yang sesungguhnya bukan terletak dalam warna kulit, bukan dalam bahasa yang dipakai, juga tidak dalam nama kepercayaan yang dianut. Peradaban yang sesungguhnya terletak dalam hati sendiri. Peradaban yang sesungguhnya ialah akhlak dan keagungan jiwa. (Hal.555)

53. Sekolah saja tidak cukup untuk membentuk pikiran dan perasaan manusia, rumah pun harus turut mendidik. (Hal.565)

(*)

Sumber: Tribun Bali
Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved