Hari Kartini

TRIBUN WIKI - Selamat Hari Kartini! Ini 53 Kutipan RA Kartini, Kirim untuk Ibu & Orang Tersayang

Kali ini Tribun Bali sajikan kutipan RA Kartini dalam buku Habis Gelap Terbilah Terang. Kirim pada ibu atau orang tersayang

Penulis: I Wayan Sui Suadnyana | Editor: Irma Budiarti
tribunnews.com
RA Kartini. TRIBUN WIKI - Selamat Hari Kartini! Ini 53 Kutipan dari RA Kartini, Kirim pada Ibu & Orang Tersayang 

Laporan Wartawan Tribun Bali, I Wayan Sui Suadnyana

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Kita sudah tidak asing dengan nama Raden Ajeng Kartini.

Kartini adalah seorang wanita kelahiran Jepara, 21 April 1879 dan meninggal di Rembang, 17 September 1904 pada usia yang masih muda yakni 25 tahun.

Meski dalam usia yang relatif muda, Kartini telah memiliki buah pemikiran yang melampaui wanita pada umumnya.

Ia secara terus aktif menyuarakan kesetaraan kaum perempuan, terutama agar bisa mendapatkan akses pendidikan yang sama dengan laki-laki.

Buah pemikirannya itu Kartini tulis secara aktif dalam sebuah surat yang ia kirimkan kepada beberapa sahabat penanya.

Setelah Kartini tiada, surat-surat itu akhirnya dikumpulkan dan dijadikan sebuah buku oleh Mr. JH Abendanon, dan diberi judul Door Duisternis tot Licht yang arti harfiahnya "Dari Kegelapan Menuju Cahaya".

Buku itu akhirnya diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dengan judul Habis Gelap Terbitlah Terang.

Kali ini Tribun Bali sajikan kutipan dalam buku Habis Gelap Terbilah Terang.

1. Karya Terjemahan, betapapun baiknya, belum tentu sebagus aslinya. Yang asli tentu lebih baik, lebih bagus. Kami suka sekali bacaan; membaca karya-karya bagus adalah kenikmatan kami yang utama (hal. 8-9)

Baca: Hujan Abu Akibat Erupsi Gunung Agung Dirasakan Hingga Denpasar, Begini Situasi di CFD Renon Pagi Ini

Baca: Gempa 4,1 SR Guncang Lombok Utara, Getaran Dirasakan Warga

2. Bagi saya hanya ada dua macam kebangsawanan: bangsawan jiwa dan bangsawan budi. (Hal. 10-11)

3. "yang tidak berani, tidak menang" itu semboyan saya! Maju terus! Menerjang tanpa gentar dan dengan berani menangani semuanya! Orang-orang yang berani menguasai tiga perempat dunia (hal. 19)

4. Ya Tuhan, kadang-kadang saya berharap, alangkah baiknya, jika tidak pernah ada agama. Sebab agama yang seharusnya mempersatukan umat manusia, sejak berabad-abad lalu menjadi pangkal perselisihan dan perpecahan, pangkal pertumpahan darah. (Hal. 23)

5. Agama yang harusnya menjauhkan kita dari berbuat dosa, justru menjadi alasan yang sah kita berbuat dosa. Coba berapa banyaknya dosa yang diperbuat atas nama agama itu? (Hal. 24)

6. Bagiku, tidak ada sesuatu yang lebih menyenangkan daripada membuat orang lain tersenyum; terutama orang yang kami sayangi. Tidak ada sesuatu yang lebih membahagiakan daripada membuat sepasang mata orang yang kita cintai memandang kita dengan penuh kasih dan bahagia. Dan kita merasa kitalah yang menyebabkan kebahagiaan itu. ( Hal. 30)

7. Aduhai Tuhan! Alangkah penuhnya kejagatan di dunia ini, di dunia ini penuh hal-hal yang menimbulkan rasa benci dan ngeri (Hal. 47)

8. Bila orang hendak bersungguh-sungguh memajukan peradaban, maka kecerdasan pikiran dan pertumbuham budi harus sama-sama dimajukan (hal. 52)

9. Marilah wahai perempuan, gadis. Bangkitlah, marilah kita berjabatan tangan dan bersama-sama mengubah keadaan yang membuat derita ini. (Hal. 86)

Baca: Fakta dan Ucapan Selamat Hari Paskah 2019, Kirim Via WhatsApp Kepada Orang Tersayang

Baca: Ini Sejumlah Wilayah di Bali yang Terdampak Abu Vulkanik Akibat Erupsi Gunung Agung Dini Hari Tadi

10. Cinta menimbulkan cinta kembali. Tetapi pandangan yang merendahkan tidak akan menumbuhkan rasa cinta. (Hal. 89)

11. Anak perempuan yang pikirannya telah dicerdaskan serta pandangannya telah diperluas tidak akan sanggup lagi hidup dalam dunia nenek moyangny a (hal. 93)

12. Celakalah manusia yang terkubur oleh kemauan raksasanya sendiri yang keras bagaikan besi! Hanya ada satu kemauan yang boleh dan harus ada pada kita, yaitu kemauan mengabdi pada kebajikan (hal. 111)

13. Peradaban, kecerdasan pikiran, belumlah merupakan jaminan bagi kesusilaan. Sebab dalam kebanyakan hal, kesalahan tidak terletak pada mereka sendiri, melainkan pada pendidikan mereka (Hal. 123)

14. Dan bagaimanakah ibu-ibu bumiputera dapat mendidik anak-anaknya, kalau mereka sendiri tidak berpendidikan (hal. 124)

15. Jangan bersusah hati bila permohonan tidak dikabulkan. Bukankah dengan demikian hidup saya tidak sia-sia. Dan, siapa yang mencari kebaikan akan menemukan sendiri kebahagiaan (Hal. 125)

16. Bermimpilah, bermimpilah. Kalau hal itu membuat kamu bahagia, mengapa tidak? (Hal. 136)

17. Untuk dapat menghargai, orang harus dapat mengerti dulu. Dan untuk dapat mengerti, aduh, itu kepandaian yang sukar sekali dicapai! Tidak dapat dipelajari dalam satu hari, bahkan dalam satu tahun! ( Hal. 140)

18. Setia, kata yang sederhana. Tetapi maknanya sedemikian besar dan dalam! Melebihi cinta. (Hal. 154)

19. Tak ada yang mustahil di dunia ini! Sesuatu hal yang hari ini kita teriakkan mustahil, esok akan menjadi kenyataan yang tak dapat disangkal. (Hal. 164)

Baca: Tentang Impian & Kehidupan yang Terus Berubah, Inilah Kutipan Motivasi dari RA Kartini

Baca: Hujan Abu Terjadi di Sebagian Wilayah Bali, Operasional Bandara Ngurah Rai Berjalan Normal

20. Dalam perjalanan, berbagai hal yang saya lihat dan dengar semakin menguatkan saya bahwa kecerdasan otak bukanlah segalanya. Kita harus memiliki kecerdasan lain yang lebih tinggi, yang saling mendukung untuk mengantarkan orang kearah yang dituju. Disamping otak, hati juga harus dibimbing. (Hal. 178)

21. Kepercayaan meletakkan kewajiban besar dan tugas semacam itu membawa serta tanggungjawab besar (Hal. 185)

22. Sampai kapanpun, kemajuan perempuan itu ternyata menjadi faktor pentinh dalam peradaban bangsa. (Hal. 192)

23. Hanya orang-orang yang tabah dan memegang teguh pemikirannya yang dapat melawan kekejaman dan kekerasan kekuasaan dunia. (Hal. 199)

24. Dan janganlah akal semata yang dipertajam dengan pendidikan, tetapi budi pun harus dipertinggi. (Hal. 222)

25. Sebab barangsiapa tidak dapat menerima sakit, dia juga kebal terhadap rasa gembira. Barangsiapa tidak menderita, tidak dapat juga merasakan nikmat yang sesungguhnya. (Hal.224)

26. Pernah saya membaca, harta yang paling suci di dunia ini adalah hati laki-laki yang luhur. Kami setuju sekali dengan kata-kata itu. Sungguh hati laki-laki yang luhur itu harta yang palinh berharga di dunia, yang jarang sekali ada. Berbahagialah mereka yang dalam hidupnya berjumpa dengan mutiara semacam itu. (Hal. 225)

27. Bermimpilah terus, bermimpilah terus, bermimpilah selama kamu dapat bermimpi! Apa artinya bila hidup tanpa mimpi? (Hal. 233)

28. Dalam setiap hidup tak dapat dihindari, perpisahan adalah tanda pengenalnya, sepanjang hidup terus-menerus. (Hal. 247)

29. Seperti apapun jalan yang harus ditempuh, jangan pernah lelah berusaha gigih membela semua yang baik (Hal. 263)

Baca: Hujan Abu Terjadi di Sebagian Wilayah Bali, Operasional Bandara Ngurah Rai Berjalan Normal

Baca: Tak Mau Dicap Matre karena Nikahi Janda Kaya Raya, Ajun Prawira Siapkan Surat Perjanjian Pranikah

30. Dimana orang akan lebih baik belajat mengenal dan mengerti suatu bangsa kalau tidak dalam pengakuan bangsa itu sendiri ... (Hal. 288)

31. Tuhan sajalah yang tahu akan keajaiban dunia; tangan-Nya mengemudikan alam semesta. Dialah yang mempertemukan jalan yang berjauhan letaknya untuk membentuk jalan baru (Hal. 323)

32. Selamanya kami maklum dan mengerti, bahwa inti semua agama adalah kebaikan, bahwa semya agama itu baik dan bagus. (Hal. 324)

33. Tidak ada awan di langit yang tidak berubah, demikian pula tidak ada sinar matahari yang terus menerus memancar. Dari malam yang gelap gulita, lalu lahirlah pagi yang teramat indahnya. Dan itulah pelipur hati saya. Kehidupan manusia merupakan pencerminan kehidupan alam yang baik. (Hal. 330)

34. Dengan menyepi orang dapat belajar berpikir. (Hal. 342)

35. Segala sesuatu perbuatan harus dipikirkan, apa sebabnya, apa perlunya, dan apa pula maksdunya. (Hal. 342)

36. Tuhan kami ialah hati sanubari kami. Neraka dan surga kami ialah hati sanubari kami. Kalau kami berbuat salah, kami dihukum oleh hati sanubari kami. Kalau kami berbuat baik, kami diberkahi oleh hati sanubari kami. (Hal. 342)

37. Siapa yang sungguh-sungguh mengabdi kepada Tuhan, dia adalah manudia bebas dan dia tidak terikat kepada siapapun (Hal. 358)

38. Bermimpi memang menyenangkan. Mimpi itu indah, tetapi apakah gunanya bila mimpi itu hanya mimpi saja? Mimpi haruslah dibuat lebih indah, lebih mikmat dengan berusaha mewujudkannya. (Hal. 360)

Baca: Meriahkan Hari Raya Paskah, Manajemen Bandara Ngurah Rai Hadirkan Easter Egg Emote

Baca: Klungkung Diguyur Hujan Abu Cukup Pekat, BPBD Bagikan Masker Gratis ke Warga

39. Seorang perempuan yang mengorbankan diri untuk orang lain, dengan segala rasa cinta yang ada dalam hatinya, dengan segala bakti, yang dapat diamalkannya, itulah perwmpuan yang patut disebut sebagai "ibu" dalam arti sebenarnya. (Hal. 365)

40. Ibu adalah pusat kehidupan rumah tangga. Kepada mereka dibebankan tugas besar mendidik anak-anaknya, pendidikan akan membentuk budi pekertinya. Berilah pendidikan yang baik bagi anak-anak perempuan. Siapkanlah dia masak-masak untuk menjalankan tugasnya yanh berat. (Hal. 386)

41. Melakukan apa saja jika itu permulaan pasti akan sulit, termasuk mereka para perintis, jalan hidupnya penuh dengan kepahitan. Karena itu mudah dipahami bila orangbtua lebih suka melihat anak-anaknya memilih jalan yang akan memberi jaminan hidup bahagia daripada memilih jalan yang dikatakan sulit itu. (Hal. 387)

42. Jiwa bangsa mana pun baru dapat dikenal dengan baik, apabila kita sementara waktu hidup di tengah-tengah bangsa itu dan turut menghayati hidup bangsa itu. (Hal. 412)

43. ... alasan mengapa kami agak sedikit mengacuhkan agama sebab kami melihat banyak kejadian tak berperikemanusiaan yang dilakukan orang dengan berkedok agama. Lambat laun, barulah kami tahu, bukan agama yang tiada memiliki kasih sayang, melainkan manusia jugalah yang membuat buruk segala sesuatu yang semula bagus dan suci itu. (Hal. 415)

44. Seharusnya kami sama sekali tidak perlu menghiraukan bagaimana pengarang itu sebagai manusia. Hendaknya kami hanya menghormati jiwa seni dalam dirinya, seperti Multatuli menghargai orang karena bakatnya yang luar biasa. (Hal. 416)

45. ...bahwa adat itu tidak lain dari kebiasaan yang dipungut. Seperti halnya pakaian lama apabila tidak memenuhi selera kami lagi dapat saja ditinggalkan. Dan adat itu sendiri tidak ada hubungannya dengan kebahagiaan hidup kami. (Hal. 418)

46. Menolong diri sendiri kerap kali lebih sulit daripada menolong orang lain. Dan siapa sanggup menolong diri sendiri, akan sanggup menolong oranh lain dengan lebih sempurna. (Hal. 419)

Baca: Sempat Koma Setelah Dikubur Hidup-hidup, Bayi 7 Bulan di Purwakarta Akhirnya Meninggal

Baca: Ramalan Zodiak 21 April 2019: Jangan Egois, Capricorn! Keberuntungan Menyertai Aquarius Seharian

47. Saya berpikir dan percaya, bahwa jalan yang sebaik-baiknya supaya diri sendiri bahagia dan di samping itu membuat indag hidup orang lain, apabila kita sedapat-dapatnya berusaha mengerti. Makin banyak kita mengerti, makin kurang rasa dendam dalam hati kita, makin penuh kasih sayang dan makin adil pertimbangan kita terhadap orang lain. (Hal. 453)

48. Dan tidak ada usaha mendidik yang lebih baik selain daripada contoh yang baik, teladan yang patut ditiru orang. (Hal. 480)

49. Kami tidak peduli agama mana yang dipeluk orang atau bangsa mana dia. Jiwa besar tetap jiwa besar, akhlak mulia tetap akhlak mulia. (Hal. 482)

50. "Biarkan orang-orang tetap bodoh, dan kekuasaan mereka akan tetap ada di tangan kita!" Kiranya demikianlah semboyan kebanyakan pembesar. Mereka tidak suka melihat orang-orang lain yang juga menginginkan pengetahuan dan kepandaian. (Hal. 542)

51. Sekolah tidak akan dapat memajukan masyarakat, tanpa mendapat dukungan dari keluarga di rumah. Lebih-lebih dari rumahlah kekuatan mendidik itu berasal. Siang malam anak-anak berada di rumah, sedangkan di sekolah anak hanya mendapatkan pendidikan beberapa jam saja. (Hal. 545)

52. Peradaban yang sesungguhnya bukan terletak dalam warna kulit, bukan dalam bahasa yang dipakai, juga tidak dalam nama kepercayaan yang dianut. Peradaban yang sesungguhnya terletak dalam hati sendiri. Peradaban yang sesungguhnya ialah akhlak dan keagungan jiwa. (Hal.555)

53. Sekolah saja tidak cukup untuk membentuk pikiran dan perasaan manusia, rumah pun harus turut mendidik. (Hal.565)

(*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved