Pekak Sija Maestro Seni dari Desa Bona Gianyar, Berhenti Sekolah Karena Merasa Diperbudak
Made Sija, merupakan maestro seni Bali kelahiran 1932 di Banjar Dana, Desa Bona, Bahbatuh, Gianyar
Penulis: I Wayan Eri Gunarta | Editor: Widyartha Suryawan
TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR - Made Sija, merupakan maestro seni Bali kelahiran 1932 di Banjar Dana, Desa Bona, Bahbatuh, Gianyar.
Ia guru dari sejumlah dosen kesenian maupun peraih gelar maestro di Bali. Hampir semua bidang seni tradisional Bali dikuasainya mulai dari seni tari, seni tabuh hingga pedalangan.
Pekak Sija sapaanya, juga ikut memperkenalkan kesenian Bali ke luar negeri.
Atas jasanya tersebut, ia merupakan satu dari lima seniman Bali yang mendapatkan piagam dari Presiden Indonesia, Susilo Bambang Yudoyono.
Pekak Sija tampak bersemangat saat menceritakan kisahnya terjun ke dunia kesenian.
Kisah ini diawali saat ini masuk sekolah saat zaman penjajahan Jepang.
Di bangku sekolah, Pekak Sija bukannya diberikan pendidikan formal. Namun ia justru disuruh untuk memanen padi, mengangkut gerabah dan pekerjaan kasar lainnya.
Saat ia meminta agar diberikan pelajaran seni, pihak sekolah justru menolak.
“Di sekolah tak dapat pelajaran, hanya disuruh panen padi, dan kerja kasar. Saya minta pelajaran seni gak dikasi. Jadinya, saya berhenti saja sekolah,” ujarnya.
Setelah berhenti sekolah, Pekak Sija lantas belajar menulis aksara Bali, setelah mahir ia mengembangkan bakatnya ke pedalangan.
Pada masa itu, hanya ada empat dalang. Yakni Bapa Granyam, Bapa Cetug, Bapa Gayung dan Bapa Rawa, yang semuanya berasal dari Banjar Bakbakan, Desa/Kecamatan Sukawati.
“Saya belajar sama Bapa Granyam. Dulu hanya ada empat dalang, dan yang kelima itu saya, sekaligus dalang termuda. Karena saat itu, saya yang masih muda banyak tawaran ngwayang, akhirnya Sukawati melahirkan dalang muda lagi. Seperti Madra, Wija dan Nartha,” ujarnya.
Tiga dalang yang disebutkan Pekak Sija, saat ini juga telah bergelar maestro. Pada saat seni pedalangan berjaya, saat itu belum ada sepeda motor.
Meski demikian, pemantasan yang dilakukannya tidak hanya di seputaran Gianyar. Namun hampir di semua Kabupaten/Kota di Bali.
“Dulu kalau mau pentas, ya jalan kaki, keropak maupun gambelan itu dipikul. Kalau pentasnha jauh, seperti di Batur atau Karangasem, berangkatnya pagi, sampainya malam. Usai pentas kami nginap, karena kalau pulang langsung kan gelap. Waktu itu jalanan tidak seperti sekarang, dulu biasa naik jurang turun jurang. Lampu juga dulu gak ada,” kenangnya.
Meskipun perjalanannya dalam pementasan sangat berat. Namun Pekak Sija mengaku, tak pernah mengambil sesari (upah pentas).
Hal tersebut karena kecintaannya terhadap kesenian.
“Saya tak hanya menekuni seni pedagangan saja. Tapi semua kesenian. Itu karena saya sangat senang belajar,” ujarnya.
Pada tahun 1980an ke bawah, seni pedalangan merupakan pementasan paling ditunggu-tunggu oleh masyarakat.
Bahkan Pekak Sija menghitung jumlah pementasan yang dilakukan dari awal sampai pensiun sejak 10 tahun terakhir ini sebanyak 2.994 kali pementasan.
Namun saat ini pentas pedalangan sudah redup atau kurangnya minat masyarakat dalam mengupah wayang. Pekak Sija mengaku, redupnya seni pedalangan bukan hanya karena perkembangan zaman.
Namun hal itu juga akibat para dalang sendiri.
Pada massa kejayaan seni pedalangan, dirinya dan semua dalang yang ada saat itu, tidak pernah berhenti belajar.
Meskipun saat itu tidak ada teknologi untuk merekam sebuah pertunjukkan, Pekak Sija tidak pernah pentas membawakan cerita yang sama.
“Kalau sudah pernah pentas pakai narasi itu, saat pentas lagi saya tidak pakai. Kecuali kalau narasinya dipentaskan di Gianyar, lalu pentas keduanya di Karangasem barulah saya pake narasi yang sama,” ujarnya.
Hal tersebut yang tidak dilakukan oleh dalang-dalang zaman now.
Kata dia, dalang saat ini hanya belajar sampai dipakem. Terkait lelucon dan alur cerita dalam pementasan tidak dikembangkan.
Hal inilah yang menyebabkan masyarakat bosan. Terlebih lagi saat ini pesatnya teknologi perekaman. (*)