Anda Jarang Tersenyum Saat Menghadapi Anak? Begini Dampaknya Terhadap Perkembangannya
Ekspresi sederhana seperti senyum dari orangtua ternyata bisa berdampak terhadap masa depan anak
TRIBUN-BALI.COM - Seberapa sering Anda tersenyum terhadap buah hati tersayang?
Jika Anda lebih sering cemberut ketika menghadapi anak, segera tinggalkan kebiasaan itu.
Biasakanlahmelempar senyum untuk buah hati Anda.
Ekspresi sederhana seperti senyum dari orangtua ternyata bisa berdampak terhadap masa depan anak.
Psikolog Anak dan Keluarga, Anna Surti Ariani menyebutkan sebuah hasil penelitian yang dilakukan oleh psikolog asal Amerika Serikat, Edward Tronick.
Penelitian tersebut mempelajari bagaimana senyum ibu kepada bayinya memengaruhi si anak. Hasilnya, ketika ibu tersenyum dan ekspresif, bayi cenderung memperlihatkan ekspresi bahagia.
Sebaliknya, ketika ibu hanya memperlihatkan wajah datar, bayi terlihat bingung, mencoba mencari perhatian ibunya, bahkan gelisah dan menangis setelah beberapa menit.
Hal ini menyampaikan tiga hal. Ketika orangtua tersenyum, anak akan merasa aman dan tahu berada di tengah orang yang tepat, anak merasa nyaman dan dicintai.
"Ketiga hal ini bersatu lalu terjadi attachment atau anak menjadi merasa dekat dengan orangtuanya." Hal itu diungkapkan pada sesi diskusi di RPTRA Akasia, Tebet, Jakarta Selatan, Jumat (24/5/2019), sebagaimana dikutip dari Kompas.com.
Psikolog yang akrab disapa Nina itu menambahkan, kedekatan anak dan orangtua berhubungan dengan perasaan kasih sayang yang mereka terima.
Ketika anak merasa tidak disayang oleh orangtua, konsep diri mereka akan turun. Konsep diri yang rendah akan membuat kepercayaan diri anak juga turun.
Percaya diri yang rendah bisa menjadi dasar dari rangkaian masalah lain terkait pertumbuhan psikologis anak. Seperti sulit mengontrol diri dan sulit berteman.
"Kalau orangtuanya jarang tersenyum pada anak, rentetan ini akan terjadi," kata dia.
Usia dewasa Permasalahan itu barulah sebatas masalah di usia anak-anak. Ketika dewasa, anak akan menghadapi tantangan hidup yang lebih luas.
Sifat negatif yang terbangun sejak kecil tersebut pada akhirnya akan berdampak pada lingkungan sekitarnya, seperti lingkungan kerja, pertemanan dan keluarga.
"Kalau berteman, misalnya, dia mungkin sangat tertutup atau membuat kerusuhan di lingkungannya."
"Kalau menikah, pernikahan bisa jadi sulit dan menularkan ketidakbahagiaan itu pada anaknya, akhirnya menjadi masalah besar," ucap Nina.
Meski begitu, bukan berarti orangtua harus tersenyum setiap saat kepada anak. Orangtua hanya perlu menempatkan diri, kapan tersenyum yang tepat pada anak.
"Yang juga penting adalah menunjukkan ekspresi yang tepat."
"Kalau lagi marah ya jangan senyum, sebaliknya kalau memuji ya senyum tapi tidak usah terus-terusan senyum," kata dia.
Orang dewasa terkadang memiliki waktu-waktu di mana mereka tak ingin tersenyum. Misalnya, ketika menghadapi masalah di tempat kerja.
Emosi tersebut kadang terbawa hingga ke rumah dan dirasakan oleh anak. Padahal, anak seringkali merasa rindu pada orangtuanya karena seharian tidak bertemu, dan membutuhkan sambutan hangat orangtuanya. Kondisi ini bisa diatasi dengan membangun mood.
Siapkan strategi yang berlaku bagi diri sendiri. Misalnya, mendengarkan musik tertentu atau makan makanan kesukaan sepulang kerja untuk kembali menetralisasi perasaan.
"Jadi saat pulang, mood sudah terbangun dan sampai rumah jadinya happy," kata Nina.
Sementara, bagi orangtua yang seharian bersama anak, sediakanlah waktu khusus untuk bermain bersama anak. Tak perlu terlalu lama, waktu sekitar 15 sudah cukup.
"Saat main-main itu buatlah suasana yang seru, ajak anak ketawa-tawa. Di situ kita membangun hubungan yang dekat dengan anak," ujar dia. (*)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Orangtua Jarang Tersenyum, Berdampak Negatif pada Anak"