Dipukul, Digigit, Dicakar & Luka Lebam Tak Jadi Perlakuan Terparah Dalam 34 Tahun Pengabdiannya
Menjadi seorang guru mendidik anak-anak yang mempunyai keterbatasan memang diperlukan kesabaran dan ketekunan yang luar biasa.
Penulis: Noviana Windri | Editor: Ady Sucipto
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Menjadi seorang guru mendidik anak-anak yang mempunyai keterbatasan memang diperlukan kesabaran dan ketekunan yang luar biasa.
Seperti Ni Wayan Ratih Tritamanti yang sudah selama 34 tahun mengabdi menjadi pendidik di SLB N 1 Denpasar.
Ratih Tritamanti saat ini menjadi Wakasek Kurikukulum SLB N 1 Denpasar juga pernah meraih juara 1 Guru Berdedikasi se-Provinsi Bali.
SLB N 1 Denpasar yang saat ini tidak hanya dihuni oleh siswa tuna netra, namun berkebutuhan khusus lainnya seperti autis, hiperaktif, gangguan emosi sosial atau tunalaras, tuna grahita dan lainnya.
Bagi Ratih, teknik pengajaran dan pendekatan khusus bagi setiap siswa yang menyandang kebutuhan khusus berbeda-beda.
Khususnya bagi anak-anak dengan gangguan emosi sosial atau tunalaras.
Dalam mengajar, ia berusaha tidak menatap wajah dan mengondisikan lingkungan sekitar untuk tidak merespon saat anak tersebut emosi atau marah.
"anak dengan gangguan emosi sosial itu selalu mencari-cari musuh. Datang ke sekolah mencari musuh. Kemudian mencari perhatian dengan teriak-teriak. Kadang berteriak dengan bahasa tidak enak didengar,"
"Untuk anak semacam itu, pertama saya kondisikan dengan tidak menatap wajah mereka ketika mereka marah. Saya melakukan yang lain-lain tidak usah ditanggapi. Kalau ditanggapi dan diperhatikan, mereka akan terus emosi," paparnya.
Diakuinya, anak-anak dengan gangguan emosi sosial atau tunalaras merupakan tantangan terberatnya dalam mengajar.
Anak-anak tunalaras lebih cepat emosi karena terjadi salah persepsi dan terus melakukan pembenaran diri.
"Kita melatih mereka untuk berinteraksi dengan ramah terhadap orang lain. Disamaratakan dengan murid yang lainnya. Akhirnya dari situ kita tahu mereka tertarik dengan kegiatan apa,"
"Sebenarnya anak-anak yang unik. Pada dasarnya mereka adalah anak-anak yang pada dasarnya tahu baik buruknya apa yang dilakukan. Hanya saja mereka tidak bisa mengendalikan emosi, mencari perhatian, dan kalau ada yang merespon emosinya malah senang," ujarnya.
Dalam mengajar anak penyandang tunalaras, Ratih menyebutkan sering digigit, dipukul, dicakar dan hal lain yang menyebabkan lebam dibagian tubuhnya ketika anak didiknya sedang emosi.
"Kalau digigit itu bukan perlakuan terparah yang pernah dilakukan anak-anak kalau sedang emosi ya. Luka lebam saya juga sering. Dipukul mungkin tidak sengaja karena gerak reflek. Ditarik rambut juga pernah,"