Smart Woman
34 Tahun Mengabdi di SLB, Ratih: Mendidik Anak Berkebutuhan Khusus Adalah Yadnya
Ratih telah mengabdi sejak tahun 1985 sebagai pengajar di SLB Negeri 1 Denpasar dan menganggapnya sebagai yadnya
Penulis: Noviana Windri | Editor: Widyartha Suryawan
"Sering dianggap sekolah SLB tidak produktif. Kami berharap agar jangan sampai demikian. Tidak ada lagi diskriminasi perlakuan. Juga berharap pemerintah tidak menganggap kami yang mengajar di SLB hanya mengasuh saja. Padahal kami di sini juga mendidik, melatih, dan memotivasi anak-anak. Jangan juga memberi label anak-anak SLB tidak produktif lalu beranggapan guru-gurunya mengajar hanya formalitas saja," pungkasnya.
Paling Berat Hadapi Tunalaras

SLB N 1 Denpasar kini tidak hanya dihuni oleh siswa tuna netra, namun juga berkebutuhan khusus lainnya seperti autis, hiperaktif, gangguan emosi sosial atau tunalaras, tuna grahita, dan lainnya.
Bagi Ratih, teknik pengajaran dan pendekatan khusus bagi setiap siswa yang menyandang kebutuhan khusus berbeda-beda. Khususnya bagi anak-anak dengan gangguan emosi sosial atau tunalaras.
Dalam mengajar, ia berusaha tidak menatap wajah dan mengondisikan lingkungan sekitar untuk tidak merespons saat anak tersebut emosi atau marah.
"Anak dengan gangguan emosi sosial itu selalu mencari-cari musuh. Datang ke sekolah mencari musuh. Kemudian mencari perhatian dengan teriak-teriak. Kadang berteriak dengan bahasa tidak enak didengar," ungkapnya.
"Untuk anak seperti itu, pertama saya kondisikan dengan tidak menatap wajah mereka ketika mereka marah. Saya melakukan yang lain-lain, tidak usah ditanggapi. Kalau ditanggapi dan diperhatkan, mereka akan terus emosi," paparnya.
Diakuinya, anak-anak dengan gangguan emosi sosial atau tunalaras merupakan tantangan terberatnya dalam mengajar. Anak-anak tunalaras lebih cepat emosi karena terjadi salah persepsi dan terus melakukan pembenaran diri.
"Pada dasarnya mereka adalah anak-anak yang pada dasarnya tahu baik buruknya apa yang dilakukan. Hanya saja mereka tidak bisa mengendalikan emosi, mencari perhatian, dan kalau ada yang merespons emosinya, malah senang," ujarnya.
Dalam mengajar anak penyandang tunalaras, Ratih menyebutkan sering digigit, dipukul, dicakar dan hal lain yang menyebabkan lebam di bagian tubuhnya ketika anak didiknya sedang emosi.
"Kalau digigit itu bukan perlakuan terparah yang pernah dilakukan anak-anak kalau sedang emosi ya. Luka lebam saya juga sering. Dipukul mungkin tidak sengaja karena gerak reflek. Ditarik rambut juga pernah," imbuhnya.
Ratih melakukan tindakan preventif dalam mengajar anak penyandang tunalaras untuk menghindari hal yang tidak diinginkan terjadi.
Belajar ke Norwegia
Pada tahun 2000, Ratih sempat dikirim ke Universitas Oslo, Norwegia selama 3 minggu untuk mendalami pengajaran pendidikan khusus dan mendapat gelar Special Teacher.
"Istilahnya kami study banding ke luar negeri untuk melihat kondisi pembelajaran anak-anak berkebutuhan khusus di sana. Ilmu-ilmu kekhususan itu langka sekali," terangnya.
"Sebenarnya untuk mengajar anak tuna netra tidak terlalu sulit kalau kita mau belajar. Karena mereka juga seperti halnya anak-anak pada umumnya. Dan saya bersyukur sekali ada kesempatan belajar," tambahnya.