Smart Woman
Belajar Megambel Sejak Dini, Kini Sraya Lihai Makendang dan Mantapkan Diri Jadi Komposer
Sejak dirinya duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar, ia sudah diajak ayahnya untuk mengenal dan bermain gender wayang.
Penulis: Karsiani Putri | Editor: Widyartha Suryawan
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Ni Nyoman Srayamurtikanti atau yang akrab dipanggil dengan nama Sraya merupakan perempuan muda kelahiran Gianyar, 3 Oktober 1996.
Perempuan lulusan Fakultas Seni Pertunjukan Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar ini memiliki segudang prestasi serta karya di bidang seni, khususnya seni tradisional di Bali.
Apabila umumnya kendang sering dimainkan oleh kaum laki-laki, namun beda halnya dengan Sraya. Sejak dirinya duduk di bangku kelas 3 sekolah dasar, ia sudah diajak ayahnya, yakni I Nyoman Suryadi untuk mengenal dan bermain gender wayang yang merupakan gamelan tradisional Bali.
Melihat sang putri memiliki bakat dan talenta dalam hal tersebut, ayahnya pun rutin mengajaknya berlatih.
“Di Desa Celuk, Gianyar sangatlah dikenal dengan seni perak. Jadi untuk aktivitas saya bermain gender wayang tidak terlalu didukung lingkungan. Dan hanya berjalan beberapa tahun, saya break dan saya pindah ke tari,” ucap Sraya.
Memasuki bangku Sekolah Menengah Kejuruan, Sraya pun mulai dibingungkan ketika akan mengambil jurusan yang diminatinya.
Menurutnya, peminat tari untuk kategori perempuan di Bali sudah sangat banyak, sedangkan perempuan yang berminat dan bergabung di karawitan masih terbilang sedikit dan bahkan bisa dihitung dengan jari.
“Oleh karena itu, saya berpikir nantinya pasti akan ada banyak peluang di karawitan untuk bisa meningkatkan eksistensi diri. Dan akhirnya saya banting setir ke karawitan. Itulah awal mula saya berkecimpung di dunia gamelan dan komposer,” ungkapnya.
Ketika ia duduk di bangku kelas X SMK, ia kembali diajak bermain kendang yang, menurut Sraya, pada masa tersebut, hanya ada satu atau dua perempuan saja yang bisa bermain kendang di daerahnya tersebut.
Didorong oleh ayah dan rekan ayahnya, Sraya pun terus berlatih dalam membentuk otot tangan dan keluwesan tangan.
“Selama tiga tahun tersebut, setiap hari saya bangun lebih untuk bisa berlatih kendang selama 30 menit dengan tujuan melatih kekuatan, dan bisa menyerupai tenaga pria,” ujarnya.
Kerjakerasnya pun membuahkan hasil. Di tahun 2012 sampai 2015 ia ditunjuk mengikuti Parade Gong Kebyar Wanita dalam acara Pesta Kesenian Bali.
Tidak hanya berhasil dalam hal tersebut, Sraya pun membuktikan dirinya juga mampu berkarya dan berkarir dalam bidang komposer.
Selain itu, ia pun berhasil membangunkan kembali sanggar milik Ayahnya, yakni Sanggar S’mara Murti yang sempat vakum selama beberapa waktu.
“Tahun 2015, saya ingin membangunkan kembali sanggar ini, tetapi dengan beranggotakan wanita dan saya mulai ajak teman-teman saya untuk bergabung. Dan di tahun 2016 dan 2018 saya ditunjuk mewakili Kabupaten Gianyar sebagai Duta Gong Kebyar Wanita Kabupaten Gianyar dan di sanalah saya membuat karya bersama dengan bapak,” tuturnya.
Adapun berbagai karya komposisi musik dan komposisi musik tari yang telah Ia ciptakan yakni di tahun 2016 menghasilkan karya Dharma Murti, S.o.S (Shape of Shape), di tahun 2017 menghasilkan karya Kangkat, Love is God.
Pada tahun 2018 dan 2019 Sraya juga berhasil menciptakan Rain-Ly, Krepetan, A Ketel, Titk Nol dan berbagai karya lainnya. Meskipun telah berhasil menghasilkan berbagai karya, Sraya menuturkan bahwa ia ingin terus belajar dan belajar sehingga terus dapat menciptakan berbagai karya.
Kini di usianya yang akan menginjak usia 23 tahun, ia bercita-cita melanjutkan S2 di luar negeri dalam bidang komposisi atau etnomusikologi.
“Harapan saya untuk para perempuan di Bali, siapa pun yang berminat terhadap dunia seni khususnya karawitan, harus berani, tekun dan fokus. Dan juga harus kerja keras karena kita sebagai perempuan dari segi kekuatan sangatlah berbeda dari laki-laki. Namun, melalui kerja keras, perempuan juga bisa menyerupai kekuatan laki-laki,” ungkap Sraya ketika ditemui di kediamannya di Jalan Jagaraga Celuk, Sukawati, Gianyar.
Bapak Jadi Pendorong
SEJAK usia dini, Sraya selalu diajarkan dan dituntun dalam mengenal dunia musik tradisional Bali dari I Nyoman Suryadi, ayahanda Sraya. Bapaknyalah yang bisa dibilang sebagai dorongan terkuat Sraya dalam berkarya selama ini.
Memiliki seorang bapak yang sejak dulu mempunyai kecintaan akan seni, membuat Syara juga diajak dan dilatih dalam mengembangkan kemampuannya dalam seni mulai dari kendang sampai dengan membuat komposisi musik.
Kini, ia bersama bapaknya pun terus berjuang untuk menghasilkan berbagai karya serta terus membangkitkan kembali Sanggar S’mara Murti agar dapat semakin dikenal di Pulau Dewata.
Dan semakin memperkenalkan bahwa kaum perempuan pun dapat menekuni alat musik kendang yang selama ini identik dikenal dengan alat musik yang hanya dimainkan oleh kaum laki-laki. (*)