Supported Content

Dr Frans Bambang Siswanto Pemimpin yang Idealis dan Nasional di Mata Sahabat dan Masyarakat Bali

Dr Frans Bambang Siswanto Pemimpin yang Idealis dan Nasional di Mata Sahabat dan Masyarakat Bali

Penulis: Meika Pestaria Tumanggor | Editor: Aloisius H Manggol
DOK Keluarga
Suasana di kediaman Pak Frans, Jalan Hayam Wuruk, Denpasar. Keluarga dan kerabat memberikan doa dan menyampaikan rasa belasungkawa. 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Kepergian Dr. Ir Frans Bambang Siswanto,M.M kehadapan Yang Maha Kuasa, Kamis (8/8/2019) pukul 01.35 dini hari waktu Kuala Lumpur membuat masyarakat Bali merasakan kehilangan.

Pak Frans begitu sapaan akrabnya dikenal masyarakat Bali sebagai seorang pengusaha yang berdedikasi tinggi dalam usaha meningkatkan kualitas sumber daya manusia (SDM) dan juga pendidikan.

Di mata Sudiarta Indrajaya, salah seorang sahabat Pak Frans, beliau adalah pemimpin yang idealis dan nasionalis. Dengan begitu banyak karya dan buah pemikiran yang telah dihasilkan.

Kecintaan pak Frans terhadap bangsa dan negara Indonesia, salah satunya dicerminkan lewat kegiatan yang dilaksanakan Pak Frans bersama Perhimpunan Indonesia Tionghoa (INTI) Bali adalah rutin menggelar perayaan 17 Agustus dengan melibatkan para veteran.

Hal ini dilakukan sebagai bentuk rasa bakti dan penghormatan kepada veteran dan juga menanamkan nilai budaya sebagai anak yang berbakti kepada bapak dan ibu yang melahirkan bangsa ini.

"Dalam keseharian kehidupan pak Frans, rasa kecintaan kepada bangsa dan negara itu tinggi, begitu pula dengan rasa kepedulian kepada bangsa dan negara yang juga sangat besar," kata Sudiarta Indrajaya.

"Bahkan Pak Frans punya istilah, anak ideologis, bapak ideologis dan anak biologis. Anak ideologis, Bapak ideologis memiliki makna yang mendalam dan sangat penting bagi pak Frans. Bukan berarti mengecilkan anak biologis," ujar Sudiarta Indrajaya.

Sudiarta Indrajaya melanjutkan, banyak orang yang mencintai anaknya sendiri, mengorbankan kepentingan bangsa dan negara, lebih menyayangi keluarga sendiri tapi mengesampingkan kepentingan masyarakat, kepentingan alam.

"Pak Frans justru tidak, Beliau lebih mementingkan kepentingan bangsa, alam, budaya daripada kepentingan sendiri, apalagi Alam, Adat dan Budaya Bali," ungkap Sudiarta Indrajaya.

Pak Frans juga melahirkan sebuah pemikiran strategis saat INTI berdiri, dengan mengangkat veteran sebagai orangtua INTI.

Hal ini guna menanamkan sikap hormat, tidak hanya kepada orangtua yang melahirkan kita, tetapi juga orangtua ideologis yang telah melahirkan bangsa ini.

"Kalau kita menghormati, kita hormat kepada orang yang patut dihormat. Kepada orangtua kita yang melahirkan kita, orang-orang yang berjasa terhadap kehidupan. Siapa saja dalam kehidupannya, kalau tidak berbakti, tidak menghormati ayah ibunya, leluhurnya, orang yang berjasa dalam kehidupannya, orang yang membantu kehidupannya, dalam keyakinan pak Frans dan kami, itu bukanlah anak yang berbakti," kata Sudiarta Indrajaya.

Selain kecintaannya kepada Veteran, Pak Frans menciptakan banyak karya untuk membantu sesama. Salahnya dengan mendirikan Bali Internasional Development Center pada tahun 2002. Tempat ini dibangun diatas lahan seluas 15 hektar dengan kapasitas 680 tempat tidur.

Tujuan didirikannya tempat ini adalah untuk mendidik putra-putri Bali yang putus sekolah, dengan memberikan pelatihan secara profesional dan disiplin agar siap bekerja di luar negeri.

"Pak Frans ingin mengangkat SDM Bali agar mampu bersaing. Karena kalau bukan SDM Bali yang dibenahi, maka tidak bisa menjaga Bali dengan kekayaan alam dan budaya yang dimiliki," kata Sudiarta Indrajaya.

Dikalangan sahabat dan kerabat, Pak Frans juga dikenal menjunjung tinggi Budaya Bali.

"Ditengah maraknya pembangunan di bidang properti, beliau memilih membangun Taman Bhagawan pada tahun 2013 dan Puri Bhagawan pada tahun 2016. Selain itu, coba kita perhatikan rumah pak Frans, sangat kental dengan budaya Bali, bahkan konsep Tri Hita Karana kita temukan di sini (kediaman pak Frans)," ujar Sudiarta Indrajaya.

Karya yang telah banyak dinikmati orang lain, membuat Pak Frans masih ingin membantu dan membahagiakan banyak orang.

"Pak Frans ini cita-citanya Berbagi membahagiakan orang. Cita-cita mulia yang beliau pesankan kepada kami untuk di wujudkan adalah ingin menyehatkan masyarakat dan mendidik karakter masyarakat lewat INTI Klub Bali Sehat (IKBS) dengan kegiatan senam AWS3 dan upaya mensejahterakan masyarakat dengan Mendirikan Koperasi digital BEN MAKMUR yang beliau dan team deklarasikan tanggal 1 Agustus 2019 di Kediaman Beliau di Jalan Hayam Wuruk, sehari menjelang keberangkatan beliau ke Kuala Lumpur," kenang Sudiarta Indrajaya.

Sebagai sosok yang memiliki prinsip yang kuat berlandaskan kebenaran dan tujuan hidup yang jelas. Pak Frans selalu bersikap jujur, tanggung jawab, disiplin, tidak mudah terpengaruh orang. Yang terpenting dilakukan dalam bertindak adalah fokus pada tujuan.

"Karakter itu sangat melekat dalam diri Pak Frans. Dengan karakter yang kita memiliki, waktu akan membentuk diri kita. Dan terakhir beliau bilang, siapapun kita harus punya hati, punya kepedulian, harus bisa dipercaya dan mempercayai orang," kata Sudiarta Indrajaya.

Wayan Windia yang merupakan Ketua Umum Dewan Harian Daerah Angkatan 45 Provinsi Bali juga sangat dekat dengan sosok Pak Frans.

Windia sempat bertemu Pak Frans pada Kamis Malam (1/8/2019) dalam sebuah pesta kebun, yang digelar di rumah Pak Frans di Jalan Hayam Huruk, Denpasar. "Pak Frans dan istrinya Prof. Suli tampak sangat sumringah, kangen, dan mesra," kata Windia.

Windia menceritakan, setelah selesai pesta kebun, ia sempat menjabat tangan Pak Frans, dan menanyakan kabarnya. Pak Frans mengatakan ia dalam kondisi baik-baik saja. Tetapi temannya dokter ahli jantung menyarankan untuk operasi klep jantung.

"Tetapi tampaknya Tuhan berkehendak lain. Pak Frans dipanggil Tuhan secara mendadak, mungkin untuk melanjutkan kewajiban kebajikan di Sorga. Kewajiban kebajikan yang dilakukan beliau di dunia fana sudah dikenal luas di masyarakat," kata Windia.

Windia juga mengenal Pak Frans bukan sebagai seseorang yang suka berfoya-foya, meski Pak Frans termasuk orang kaya.

"Pada suatu ketika saya diundang makan siang di rumahnya yang anggun itu. Ketika saya mengambil nasi, ada terjatuh beberapa butir nasi di meja. Pak Frans dengan cekatan mengambilnya. Saya mengira akan dibuang di tempat sampah, atau ditaruh di piring nasi saya. Ternyata tidak. Nasi itu segera dimakannya. Beliau sama sekali tidak menoleh saya, sebagai pertanda marah. Kalem saja, dan segera duduk di meja makan, lalu mengambilkan lauk-pauk untuk piring saya," kata Windia.

"Wah saya malu setengah mati. Ketika saya berkomentar terhadap peristiwa nasi itu, Pak Frans dengan kalem mengatakan, ya, kalau sekian butir kali sekian juta orang, berapa ton nasi itu hilang percuma. Mungkin Pak Frans ingin memberi tahu saya, bahwa hidup ini harus prihatin, tetapi tidak boleh kikir," kata Windia melanjutkan.

Sikap hidup Pak Frans lainnya yang membuat Windia tersentuh adalah hidup memiliki nilai.

"Kata Pak Frans, hidup ini hanya sekali, dan untuk itu harus bernilai," kata Windia.

"Tampaknya fillsafat hidup ini yang menuntun tindakan Pak Frans dalam keseharian. Dimana-mana, tak segan-segan Pak Frans memberikan sumbangan yang tinggi. Sumbangan untuk berbagai kegiatan kelompok, agama, suku, dan ras. Itu sebabnya, Pak Frans dipanggil sebagai pengusaha yang nasionalistis. Beliau tak henti-hentinya memikirkan nasib orang lain, dan memikirkan nasib bangsanya. Tatkala terjadi peristiwa reformasi tahun 1998, Pak Frans membangun komunitas sosial, untuk mengantisipasi agar kericuhan tidak merembet hingga ke Bali. Usaha yang dilakukan ternyata sukses," kata Windia melanjutkan.

Sebagai orang teknik sipil, Pak Frans juga dikenal sebagai orang yang sangat teliti, detail, dan tegas.

"Bicaranya sistimatis, lugas, dan tidak pandang bulu. Langsung to the point. Tidak ada diplomasi. Yang salah ya salah dan yang benar ya benar. Begitu Pak Frans sudah mengambil keputusan tentang pilihan yang dianggap benar, maka Pak Frans akan melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya dengan ikhlas," kata Windia.

"Kita harus bertanggung jawab penuh terhadap apa yang kita katakan, agar kita bernilai," kata Windia menirukan pesan Pak Frans.

Terhadap semua karyawannya, Pak Frans juga dikenal tanpa tedeng aling-aling. Tegas dan keras, tetapi kesejahteraan karyawan sangat diperhatikan.

Windia mengatakan, pada suatu ketika, ia diajak Pak Frans meninjau Kampus Politeknik Internasional Bali (PIB) di Pantai Nyanyi, Kediri, Tabanan. Tanpa basa-basi, Pak Frans langsung berkeliling mengadakan peninjauan kawasan. Kalau ada yang tidak beres, Pak Frans tidak segan-segan berteriak memberikan komando perbaikan. Karyawannya hanya berani mengatakan siap pak, siap pak.

"Setelah inspeksi selesai, Pak Frans berbisik kepada saya. Harus begitu Pak Windia. Pimpinan harus tegas. Bahkan hanya dengan mendengar berita kedatangan kita saja, maka para karyawan sudah menganggap hal itu sebagai sebuah kontrol," kata Windia.

"Kini Pak Frans sudah tiada. Kita mengenal Pak Frans sebagai seorang yang loyar, loyal, konsisten, sosial, bertanggung jawab, dan merawat pertemanan dengan hati. Pak Frans sering menelpun saya berjam-jam, untuk urusan sosial dan politik-kebangsaan. Memikirkan nasib veteran. Sering mengundang saya makan malam atau makan siang. Saat ini sudah tidak ada lagi dering telpun di pagi hari, untuk ngobrol berjam-jam. Dan pesta malam itu, adalah pesta yang terakhir bersama Pak Frans. Selamat Jalan Pak Frans. Merdeka," tutup Windia mengenang kisah bersama Pak Frans.(ADV)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA
    KOMENTAR

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved