Smart Woman
Tembus Ruang Keterbatasan Diri, Ika Agustina Luncurkan Buku 'Suara Dari Atas Kursi Roda'
Wayan Ika Agustina lahir dalam kondisi yang kurang sempurna. Meski demikian,ia telah menghasilkan sebuah buku kumpulan puisi.
Penulis: Noviana Windri | Editor: Widyartha Suryawan
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Wayan Ika Agustina lahir dalam kondisi yang kurang sempurna. Meski hingga kini menjalani hidup dalam keterbatasan, namun imajinasi dan kreativitasnya justru melampaui batas.
Di atas kursi rodanya, perempuan berkacamata yang dikenal pendiam ini terus menggali dan mengasah potensi yang dimiliki.
Bahkan saat ini ia telah menghasilkan sebuah buku kumpulan puisi berjudul "Suaraku Dari Atas Kursi Roda".
Buku itu ia persiapkan sejak 4 tahun lalu atau tepatnya pada tahun 2015. Sudah lama Ika memimpikan bisa menerbitkan sebuah buku.
"Saya dulu kecil tinggal di Karangasem. Sudah sejak SD saya suka menulis. Tetapi saat itu saya menulis cerpen saja. Saat saya SMP, saya bermimpi bisa membuat sebuah buku. Dan baru setahun setelah saya lulus SMA baru bisa mewujudkan mimpi saya," tambahnya.
Sebelum bukunya terbit, Ika mempublikasi karyanya hanya di media sosial pribadinya. Salah satu puisi yang paling emosional baginya adalah puisi yang berjudul 'Suaraku Dari Atas Kursi Roda'.
Ika mengaku inspirasi saat membuat puisi tersebut adalah saat teman-teman sepermainannya yang bukan penyandang disabilitas mengajaknya Ngiring ke Pura Besakih.
"Sebenarnya saat diajak, dalam hati saya ingin sekali ikut ngiring bersama mereka. Bisa seperti mereka. Tapi saya tidak bisa karena kondisinya seperti ini. Sedih banget. Ketika keinginan harus berkompromi dengan keadaan. Di kala keadaan harus membatasi keinginan," jelasnya.
Anak pertama dari dua bersaudara ini tentu tidak lepas dari pasang surut kehidupan. Berbagai tantangan coba dihadapinya dengan tenang.
Tinggal di Karangasem dan tumbuh dengan didikan keluarga yang sederhana, ia tetap menempuh studi di sekolah sebagaimana siswa pada umumnya.
Saat ia duduk di bangku sekolah dasar dan belum memiliki sebuah kursi roda, ia harus dibantu oleh orangtua dan keluarganya untuk melakukan aktivitasnya sehari-hari.
"Dulu sebelum punya kursi roda, selama sekolah, ibu saya harus menggendong untuk pergi ke sekolah sejauh 2 kilometer. Saat itu kami juga tidak punya sepeda motor," terangnya.
Selama SD hingga SMP, ia sekolah di sekolah umum. Namun, saat SMP, ia mulai sakit-sakitan sehingga pada saat ujian akhir sekolah berlangsung, ia tidak bisa mengikutinya dan tidak bisa mengikuti ujian susulan.
"Akhirnya saat itu saya pindah di SLB. Sedih harus berpisah dengan teman saya di sekolah yang lama," tegasnya.
Meskipun demikian, Ika selalu mendapat dorongan dan semangat dari keluarga dan teman-temannya. Terutama orangtua yang menginspirasinya, yang memberinya dukungan dalam kondisi apapun.