Kisah Pilu 9 Saudara dari 3 Keluarga Alami Kelumpuhan di Denpasar, Tinggal Serumah Dekat Kantor Ini
Di rumah tersebut tiga keluarga yang punya ikatan saudara tinggal dengan kondisi yang cukup memperihatinkan.
Penulis: Putu Supartika | Editor: Ady Sucipto
Kisah Pilu 9 Saudara dari 3 Keluarga Alami Kelumpuhan di Denpasar, Tinggal Serumah di Dekat Kantor Pemerintahan
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Masuklah di Jalan Tantular, Gang Kehutanan, Banjar Jayagiri, Desa Dangin Puri Kelod, Denpasar, yang tak jauh dari kantor pemerintahan.
Setelah berada di ujung Gang Kehutanan berhentilah dan menengoklah ke arah selatan.
Anda akan melihat sebuah rumah dengan panyengker (pembatas rumah) terbuat dari bambu.
Di sana juga terlihat sebuah pelang berwarna putih bertuliskan Tanah Milik Pemprov Bali.
Di rumah tersebut tiga keluarga yang punya ikatan saudara tinggal dengan kondisi yang cukup memperihatinkan.
Sembilan orang dari tiga KK yang tinggal di sana mengalami kelumpuhan.
• Kecelakaan di Devil Tears Tahun 2019 Terjadi 4 Peristiwa & Renggut Nyawa 3 Wisman, Ini Sebabnya
Di kamar sisi utara dihuni keluarga Nyoman Sadra dengan istrinya Nengah Sumerti. Keluarga ini memiliki enam orang anak, dimana tiga orang anaknya cacat atau lumpuh.
Pada kamar yang berada di tengah, dihuni Made Kari dan Ni Nyoman Simpen bersama tiga orang anaknya.
Made Kari mengalami stroke dan hanya bisa berbaring di tempat tidur. Sementara anaknya yang pertama juga lumpuh.
Dan di kamar sisi selatan ditempati keluarga Nyoman Darma bersama istrinya Nyoman Sarmini dengan enam orang anaknya.
Dari enam anaknya tersebut, sebanyak empat orang juga cacat atau lumpuh.
Mereka menempati rumah tersebut sejak lima tahun lalu semasa Gubernur Bali Made Mangku Pastika.
Mereka tinggal di atas tanah dan bangunan milik Pemprov Bali.
• Istri Plt Ketua DPD I Golkar Bali Meninggal Terkena Kanker, Demer: Mama Sudah Nggak Kuat
Awalnya ketiga keluarga ini menyewa tanah untuk ditinggali di kawasan Jalan Bung Tomo Denpasar sebelum dipindah ke tempat ini.
Mereka berasal dari Banjar Abian Canang, Desa Ulakan, Kecamatan Manggis, Karangasem.
Nengah Sumerti menuturkan tiga anaknya yang mengalami kelumpuhan yakni anak pertama yaitu Wayan Suantika (27), anak ketiga Komang Supartika (23), dan anak keenam Ayu Sekarini (7).
Sementara tiga anaknya yang lain yakni Kadek Suastini (sudah menikah), Ketut Sumarni, dan Ni Luh Suriani dalam kondisi normal.
Oleh karena keadaan tiga anaknya yang butuh perawatan dan pengasuhan, Suriani tak bisa bekerja.
Kehidupan sehari-hari ia mengandalkan dari penghasilan suaminya menjadi pembuat pupuk organik di Pemprov Bali.
“Dulu dapat bantuan dari pemerintah Rp 10 ribu sehari, terus berubah jadi pertahun Rp 1 juta dan sekarang tahun 2019 belum dapat apa. Cuma itu aja dari pemerintah dan sekarang tidak ada informasi untuk tahun 2019,” tutur Sumerti saat ditemui di kediamannya, Senin (16/9) sore.
Ia menuturkan, dari ketiga anaknya yang mengalami lumpuh, ciri-ciri awalnya yakni bola matanya bererak ke kiri dan ke kanan secara terus menerus.
Saat umur enam bulan sebenarnya mereka normal, bisa duduk dan merangkak. Akan tetapi semakin dewasa, ketiga anaknya semakin kaku dan lumpuh.
“Tapi sebenarnya anak saya yang keenam paling sehat, bahkan ia sudah bisa jalan namun tiba-tiba jatuh dan lumpuh, sekarang cuma bisa guling-guling. Kalau anak pertama sama sekali tak bisa bergerak dia hanya tidur saja,” terangnya.
Kepada Tribun Bali, ia pun mengaku kehabisan popok untuk anak pertamanya sehingga tempat tidurnya dialasi dengan plastik.
Sementara Ni Nyoman Simpen menuturkan, anaknya yang lumpuh yakni anak pertama Ni Luh Indah (26), sementara anak kedua Made Sumerta (25), dan Nyoman Sariasih (16) dalam keadaan normal.
Simpen menuturkan, anaknya yang lumpuh ketika diperiksakan ke dokter dikatakan terkena polio. Padahal sejak kecil sudah melakukan imunisasi polio.
Ciri awalnya sebelum lumpuh juga sama yakni bola matanya bergerak-gerak. Setelah berusia tiga bulan mengalami kejang-kejang dan panas tinggi.
“Lahirnya juga normal saat kehamilan 8 bulan. Selain ke dokter saya juga mencarikan obat ke balian, anak saya tak bisa bicara, cuma bisa teriak dan menangis saja,” katanya.
Walaupun demikian, beberapa relawan datang ke rumahnya dan melatih Luh Indah agar bisa menggerakkan tangannya. Diajarkan mewarnai gambar dan hasil gambarnya ditempel di tembok rumah.
Selain sang anak, sang suami yakni Made Kari juga mengalami kelumpuhan setelah terkena stroke.
Kari yang awalnya bekerja sebagai tukang kebun di Kantor Gubernur Bali harus berhenti dari pekerjaannya.
Dan setelah anak keduanya tamat SMA, dialah yang menggantikan ayahnya bekerja sebagai tukang kebun.
“Saat itu suami saya baru 6 bulan kerja di Kantor Gubernur jadi tukang kebun. Siangnya ia pulang kampung, terus ke sawah, dan malamnya tiba-tiba jatuh sakit. Diopname 14 hari dengan biaya BPJS saja, dan kini sudah tak bisa kerja lagi,” katanya.
Untuk kebutuhan sehari-hari ia mengandalkan gaji dari anaknya yang bekerja sebagai tukang kebun dan juga bantuan dari para donatur.
Dengan gaji Rp 2.5 juta perbulan, sang anak harus membiayai semua kebutuhan keluarga.
“Ya astungkara semoga anak saya tetap semangat bekerja dan bisa membiayai kami semua dan saya terus diberikan kekuatan untuk merawat keluarga saya,” tuturnya.
Tak jauh beda dengan nasib dua keluarga sebelumnya, keluarga Nyoman Darma juga mengalami nasib yang tak kalah menyedihkan. Sang istri, Nyoman Sarmini (47), menuturkan empat dari enam anaknya juga cacat atau lumpuh.
Anaknya yang lumpuh yakni I Wayan Sudarma (23) yang merupakan anak pertama, anak kedua bernama Kadek Sudarsana (21), Ketut Suartama (19) anak keempat, dan anak kelima yakni Luh Nanda Febriastari (7). Sementara yang normal yakni anak ketiga yaitu Nyoman Marianti dan anak keenam Gede Adi.
Sama seperti dua keluarga lainnya gejala sebelum kelumpuhan ini pun sama yakni bola matanya bergerak ke kiri dan ke kanan. “Sejak satu bulan kelahirannya sudah menunjukkan gejala-gejala, matanya gerak-gerak tidak mau diam,” tutur Sarmini.
Karena keadaan anaknya yang seperti itu, Sarmini pun tidak bekerja. Ia hanya diam di rumah menjaga anak-anaknya, memberi makan, membantunya ke kamar kecil ataupun memandikannya.
Dan semua kebutuhan keluarga pun bergantung pada suaminya yang juga bekerja sebagai tukang kebun di Kantor Gubernur Bali. “Ya karena tidak ada yang jaga terpaksa saya tidak bekerja. Saya yang mengurus anak-anak sementara bapaknya kerja,” katanya.
Ketiga keluarga ini pun membutuhkan uluran tangan para dermawan. Mereka membutuhkan sembako, popok, maupun pakaian bekas layak pakai.
Sudah Ditangani
Sementara itu, Kepala Dinas Sosial Provinsi Bali Dewa Gede Mahendra Putra, menyampaikan ketiga keluarga kurang mampu ini sudah ditangani sejak lama oleh Pemprov Bali. Sejak dirinya menjabat sebagai Kepala Biro Humas dan Protokol masa Pemerintahan Gubernur Made Mangku Pastika.
Dikatakan, tiga keluarga ini dulunya tinggal dalam sebuah bedeng di Jalan Gatot Subroto (Gatsu) Barat. Selanjutnya pemprov berinisiatif memindahkan ke tempat yang sekarang supaya layak menjadi tempat tinggalnya. Saat itu, kata dia, bapaknya juga sudah diberi pekerjaan supaya ada penghasilan tetap.
“Ya kita carikan kerja biar dia bisa (mandiri dan melanjutkan kehidupan), penanganan sudah dulu itu,” ujar Dewa Mahendra saat dihubungi melalui sambungan seluler, Senin (16/9) malam.
Pemprov Bali dari awal sudah memberikan bantuan, dan dari yayasan-yayasan juga banyak membantu sampai sekarang. Salah satunya Yayasan Solmed.
Sedangkan anak-anaknya yang sakit dan mengalami disabilitas juga sudah diberikan penanganan dalam kaitan kecacatannya, hingga sekarang dirawat di rumah saja karena dirasa sudah membaik.
“Keluarga tersebut juga sudah dibantu kursi roda supaya anak yang mengalami disabilitas bisa diajak jalan-jalan,” kata Dewa Mahendra, yang mengaku sore kemarin sudah mendatangi keluarga tersebut. “Mumpung saya keluar dari kantor, ya saya cek tadi ke sana,” imbuhnya.
Terkait tanah yang ditempati oleh ketiga KK tersebut, Dewa Mahendra menyatakan tanah itu milik Pemprov Bali sehingga statusnya bukan hak milik. Tetapi statusnya hak pakai yang digunakan sebagai rumah singgah.
“Ya dari dulu terus diawasi dan dimonitor. Sementara mereka masih memerlukan rumah itu sebagai tempat penampungan, kita biarkan saja,” ucapnya. (sup/wem)