Sempat Berjaya, Perajin Patung Kayu di Singakerta Gulung Tikar Karena Gaya Hidup Konsumtif

Banyak pengusaha patung kayu di Singakerta Ubud yang gulung tikar, diduga karena gaya hidup dan tak kuat melawan tekanan konsumen.

Penulis: I Wayan Eri Gunarta | Editor: Widyartha Suryawan
Tribun Bali/Eri Gunarta
Dewa Nyoman Wartawa di antara sejumlah kerajinan yang dijual di Merta Sari Art Shop, Rabu (2/10/2019). 

TRIBUN-BALI.COM, GIANYAR - Tahun 1990an, Banjar Dauh Labak, Desa Singakerta, Ubud merupakan kampungnya perajin patung tradisional berbahan kayu.

Namun saat ini kita hampir tidak bisa menemui warga yang bekerja sebagai perajin.

Jumlah art shop kerajinan tangan di sana pun masih bisa dihitung jari, dibandingkan sekitar 20 tahun lalu.

Banyak pengusaha gulung tikar, diduga karena gaya hidup dan tak kuat melawan tekanan konsumen.

Pemilik Merta Sari Art Shop, Dewa Nyoman Wartawa (49) merupakan warga Banjar Dauh Labak, yang juga pencetus bisnis kerajinan tangan di kawasan tersebut sejak tahun 1994.

Sembari bekerja di Banyan Tree Kamandalu, saat itu ia sukses memasarkan kerajinan tangan tradisional sampai ke seluruh dunia, dengan keuntungan 500-600 persen per kerajinan.

Persentase keuntungan seperti itu, kata dia hampir dirasakan setiap pengusaha di sana. 

“Sejak tahun 2000an keuntungan merosot tidak lebih dari 20 persen, saya tetap bisa bertahan karena masih memiliki pelanggan tetap dari berbagai negara. Sementara di satu sisi, banyak yang memilih gulung tikar,” ujarnya, Rabu (2/10/2019).

Penyebab merosotnya nilai jual kerajinan, kata dia, karena berbagai hal. Namun 50 persen akibat ulah pengusaha sendiri.

Pertama, akibat gaya hidup yang berubah drastis dan mental tidak siap menghadapi konsumen.

Ketika penjualan kerajinan tangan di kawasan Desa Singakerta melejit, para pengusaha menerapkan gaya hidup berlebihan.

Seperti selalu makan di luar rumah, membeli kendaraan, serta membeli alat elektronik yang semuanya bersumber dari cicilan. 

“Saat masih jaya, pengusaha tidak pernah memasak, selalu makan di luar. Anak masih kecil belum boleh berkendara, dibelikan motor atau mobil, semuanya modal nyicil,” ujarnya.

Dampak dari gaya hidup konsumtif tersebut akhirnya merembet pada usaha sebab bagaimanapun, kata dia, cicilan harus dibayar.

Sementara sumber pemasukan hanya dari bisnis kerajinan. Ketika ada turis berbelanja serta ketatnya persaingan, merekapun akhirnya mengobral harga.

“Obral harga tidak terkontrol waktu itu, dan akhirnya pengusaha yang tidak kuat memilih gulung tikar,” ujarnya.

Wartawa berharap, kondisi yang terjadi di kawasannya ini dapat dijadikan pelajaran oleh pebisnis-pebisnis saat ini.

“Pebisnis harus memiliki mental kuat. Contoh negara seperti Jepang.  Di negara mereka penduduknya jarang bawa motor, lalu kenapa dia jadi produsen motor? Karena ada permintaan. Mental mereka sangat kuat, setiap ada motor keluaran baru, mereka tak pernah menurunkan harga, harga tetap naik tapi tetap laku. Jangan karena ada tekanan sedikit, langsung ngobral harga,” himbaunya.

Wartawa mengatakan barang dagangannya bahkan di-supply dari Kabupaten Karangsem. Hal tersebut akibat punahnya generasi perajin di banjarnya.

Menurutnya, kondisi itu tak terlepas dari obral harga yang dilakukan pengusaha tahun 2000an. Perekonomian para perajin dikorbankan.

“Karena harga yang ditawarkan turun, dalam mencari keuntungan pengusaha menekan para pematung. Misalnya, keuntungan 10 ribu tidak dicari pada konsumen, tapi keuntungan itu dicari dengan menurunkan upah perajin,” ujarnya.

Seleksi Ketat Para Perajin
Selain itu, para pengusaha melakukan seleksi ketat terhadap perajin. Sebelum terjadinya obral harga, para perajin bisa bekerja secara leluasa.

Meskipun kondisi barangnya patah, kata dia, tetap dibayar dengan harga normal sebab dengan keuntungan yang waktu itu mencapai 500-600 persen, penjualan satu kerajinan sudah sudah menutupi kerugian lebih dari dua patung.

“Dulu waktu masih jaya, barang seperti apapun dikasi tetap diterima. Setelah merosot, hasil karya pematung diseleksi ketat. Misalnya mengerjakan 10 buah karya, bisa-bisa hanya enam karya yang diambil, sisanya pematung yang rugi,” ujar Wartawa.

Kondisi tersebut mengakibatkan para perajin jengah dan memilih beralih profesi.

Bahkan Dewa Wartawa yang ikut menerapkan seleksi ketat karena tekanan persaingan, pernah ditinggalkan perajin ketika orderannya banyak.

“Saya pernah ditinggal tajen sama perajin saya karena penghasilan di tajen lebih besar. Dan sekarang dampaknya benar-benar terasa, orang tua tak mengizinkan anaknya jadi perajin karena masa depan tak meyakinkan. Para orang tua juga sekarang memilih profesi lain, jadi tukang bangunan karena pendapatannya lebih baik,” ujarnya. (*)

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved