Masyarakat Seharusnya Tak Membayar Kenaikan Iuran Akibat Defisit BPJS

Berdasarkan hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada 2019, ditemukan sejumlah celah yang menjadi akar defisit BPJS Kesehatan.

Editor: Eviera Paramita Sandi
ANTARA FOTO/Risky Andrianto
Petugas menata sejumlah kartu peserta BPJS Kesehatan, di kantor pelayanan BPJS Kesehatan Cabang Bekasi, di Bekasi, Jawa Barat, Rabu (30/10/2019). Pemerintah melalui Peraturan Presiden (Perpres) No.75/2019 secara resmi menetapkan kenaikan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen yang berlaku bagi peserta bukan penerima upah dan bukan pekerja, yang akan berlaku mulai 1 Januari 2020. 

TRIBUN-BALI.COM, JAKARTA  - Peneliti Lokataru Foundation, Muhammad Elfiansyah Alaydrus, mengatakan, pemerintah seharusnya tidak membebankan defisit anggaran BPJS Kesehatan kepada masyarakat.

Menurut dia, masyarakat tak seharusnya membayar kenaikan iuran sebagai akibat tidak tertibnya pengelolaan anggaran BPJS Kesehatan.

"Logikanya, defisit anggaran ini jangan seakan-akan selalu dibebankan kepada masyarakat karena (alasan) masyarakat tidak tertib membayar iuran," ujar Elfiansyah ketika dikonfirmasi Kompas.com, Kamis (7/11/2019).

Pasalnya, lanjut dia, berdasarkan hasil audit Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) pada 2019, ditemukan sejumlah celah yang menjadi akar defisit BPJS Kesehatan.

Salah satunya perihal besaran iuran kepesertaan BPJS Kesehatan yang tidak sesuai dengan usulan dari Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN).

Yang mana berdasarkan usulan DJSN tersebut untuk segmen peserta Penerima Bantuan Iuran (PBI) sebesar Rp 36.000, peserta Pekerja Bukan Penerima Upah (PBPU) dan Bukan Pekerja (BP) kelas I sebesar Rp 80.000, kelas II sebesar Rp 63.000 dan kelas III sebesar Rp 53.000.

"Namun pada kenyataannya iuran BPJS Kesehatan tidak pernah mengikuti usulan DJSN dan hanya sekali ditinjau ulang yakni pada 2016. Sementara itu, berdasarkan Pasal 38 Peraturan Presiden Nomor 82 Tahun 2018 tentang Jaminan Kesehatan, maka seharusnya paling lama setiap dua tahun sekali dilakukan peninjauan ulang untuk besaran iuran," jelas Elfiansyah.

Sebagaimana diketahui, skema iuran BPJS Kesehatan yang saat ini masih digunakan, yakni bagi Peserta PBI yang didaftarkan oleh pemerintah daerah yaitu sebesar Rp 23.000.

Iuran peserta Kelas I sebesar Rp 80.000. Iuran peserta kelas II sebesar Rp 51.000. Iuran peserta kelas III sebesar Rp 25.500.

Elfiansyah mengungkapkan semestinya skema iuran BPJS Kesehatan ini diperbaiki pada 2016 lalu.

Hal ini dilakukan untuk menghindari potensi defisit anggaran.

"Makanya defisit terus dan pada 2016 seharusnya mulai diperbaiki tapi banyak penolakan sehingga tidak terjadi kenaikan (iuran)," ungkapnya.

Kemudian, lanjut dia, pada 2018 lalu seharusnya dilakukan review kembali untuk kenaikan iuran BPJS Kesehatan.

Namun, langkah ini juga urung dilaksanakan pemerintah.

"Mengapa tidak dilakukan juga, apa mungkin takut karena (menjelang) tahun politik?. Kami melihat sejak awal BPJS Kesejahatan sudah salah penghitungan aktuaria di mana ketentuan dari DJSN. Lalu sekarang begitu pelayanan sudah memburuk, banyak orang yang menderita, iuran dinaikkan?, " ujar Elfiansyah mengkritisi.

Halaman
12
Sumber: Kompas.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved