Takut Dicontoh Daerah Lain dan Dinilai Bahaya, Polda Bali Persoalkan Penempatan Aksara Bali
kepolisian mempersoalkan penempatan aksara Bali di atas huruf latin berbahasa Indonesia dalam plang papan nama kantor dan fasilitas publik yang ada di
Penulis: Wema Satya Dinata | Editor: Rizki Laelani
Takut Dicontoh Daerah Lain dan Dinilai Bahaya, Polda Bali Persoalkan Penempatan Aksara Bali
TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Belum lama ini penggunaan aksara Bali gencar dilakukan pemerintah provinsi.
Warga pun menyambut antusias aturan penggunaan aksara Bali yang digencarkan Gubernur Waya Koster bersama Wakilnya, Cok Ace.
Namun, baru-baru ini, penggunaan aksara Bali justri dikritik Kepolisian Daerah (Polda) Bali.
Pihak kepolisian mempersoalkan penempatan aksara Bali di atas huruf latin berbahasa Indonesia dalam plang papan nama kantor dan fasilitas publik yang ada di Bali.
Polda Bali pun mengusulkan penempatan aksara Bali ini direvisi sesuai UUD 1945.
Penempatan aksara Bali tersebut sebelumnya telah diatur dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Bali No 80 Tahun 2018 tentang Perlindungan dan Penggunaan Bahasa, Aksara, dan Sastra Bali.
Pergub ini mulai serentak diberlakukan pada Oktober 2018.

Atas perintah Kapolda Bali, Irjen Pol Dr Petrus Reinhard Golose, pihak Polda Bali melakukan pelurusan terkait penempatan tulisan yang menggunakan aksara Bali di atas huruf latin Bahasa Indonesia tersebut.
Perwakilan Polda Bali mendatangi DPRD Bali di Kantor DPRD Bali, Renon, Denpasar, Rabu (27/11/2019), untuk memberikan saran dan masukan.
Menurut Kabidkum Polda Bali, Kombes Pol Moch Khozin, kepolisian mempunyai peran untuk mengingatkan lembaga lain baik eksekutif maupun legislatif.
“Tidak ada kita membedakan atau melarang. Ini hanya sama-sama kita meluruskan."
"Poinnya adalah agar ke depan Bali tidak dijadikan contoh, (masyarakat menganggap) di sana bisa (Bali-red), di sini harusnya juga bisa. Di Bali bisa, kenapa kita tidak,” kata Khozin seusai melakukan pertemuan tertutup dengan pihak dewan dan eksekutif.

Dikatakan, landasan dasar hukum yang harus digunakan adalah UUD 1945 Pasal 36, UU Nomor 24 Tahun 2009 dan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Landasan dasar hukum ini yang menjadi pertimbangan Kapolda Bali agar penempatan tulisan aksara Bali sesuai dengan aturan dan landasan UUD 1945, UU Nomor 24 tahun 2009 dan Sumpah Pemuda.
Sambungnya, karena Bahasa Indonesia merupakan bahasa persatuan, maka tetap Bahasa Indonesia yang menjadi bahasa yang diutamakan.
Sehingga penempatan aksara latin Indonesia seharusnya berada di atas aksara Bali.
“Kalau sampai ini nanti, di sini (di Bali) (dianggap) bisa berjalan, karena maunya masyarakat. Takutnya nanti dijadikan contoh oleh daerah-daerah yang lain. Contoh, Papua punya bahasa sendiri, Kalimantan punya bahasa sendiri. Begitu juga Aceh dan Jawa,” ujar Khozin.
Ia menambahkan, seharusnya saat membuat Perda atau Pergub, pemerintah daerah mengundang semua pihak baik dari akademisi, pengadilan, kejaksaan, kepolisian, dan lembaga swadaya masyarakat (LSM).
“Oo, tiba-tiba Pergub sudah keluar. Bapak Kapolda kemudian membaca, oo bahaya ini."
"Akhirnya Pak Kapolda memerintahkan kami agar hal ini dikoordinasikan. Dan kalau bisa direvisi supaya tidak dijadikan contoh oleh daerah lain,” ujarnya.
Saat ditanya mengapa baru sekarang Polda Bali mempermasalahkannya, Khozin menyampaikan pihaknya tidak pernah diundang dalam penyusunan Pergub, dan tiba-tiba Pergub No 80 Tahun 2018 sudah jadi.
Jika suatu peraturan sudah diterbitkan maka memang harus dijalankan.
Namun kalau peraturan itu sudah berjalan tetapi ada masalah, sebagai antisipasi ke depan, bisa saja aturan tersebut direvisi.
Selanjutnya setelah Pergub 80 dibaca oleh Kapolda ditemukan ada kendala.
Bahwa dalam penempatan aksara Bali, di atasnya harus Bahasa Indonesia atau aksara latin sebagai bahasa persatuan, baru di bawahnya diisi aksara daerah.
Masukan itu diberikan tujuannya agar daerah lain tidak mencontoh aturan yang ada di Bali.
“Contohnya seperti di Yogyakarta, tetap atasnya nama (Jalan) Malioboro, di bawahnya baru aksara Jawa,” imbuhnya.
Adapun kesimpulan dari pertemuan tersebut adalah masukan dan saran yang disampaikan pihak Polda Bali sementara ditampung.
Masukan ini akan dibicarakan kembali dengan pihak eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
“Ya akan ada pertemuan lanjutan untuk tindak lanjutnya,” imbuhnya.
Dikatakannya, tugas pokok kepolisian adalah menjaga keamanan dan ketertiban di masyarakat.
Jangan sampai di wilayah Polda Bali ada masalah, sehingga nanti dijadikan contoh oleh daerah lain.
“Maka dari itu, tindakan yang dilakukan adalah memberikan masukan dan saran kepada pihak-pihak yang membuat peraturan tersebut,” tandas Khozin. (*)