Begini Reaksi Ortu Siswa di Bali Soal Penghapusan UN yang Diwacanakan Mendikbud Nadiem Makarim

Polemik penghapusan Ujian Nasional (UN) mulai tahun 2021 oleh Menteri Pendidikan Kebudayaan dan Pendidikan Tinggi Nadiem Makarim masih menyisakan pro

Penulis: eurazmy | Editor: Ady Sucipto
Tribun Bali/Rizal Fanany
(Ilustrasi) Sejumlah siswa mengikuti Ujian Nasional Berbasis Komputer (UNBK) pada hari pertama di SMPN 2 Denpasar, Jalan Gunung Agung, Senin (22/4).(Tribun Bali/Rizal Fanany) 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR - Polemik penghapusan Ujian Nasional (UN) mulai tahun 2021 oleh Menteri Pendidikan Kebudayaan dan Pendidikan Tinggi Nadiem Makarim masih menyisakan pro dan kontra, tak terkecuali dari para wali murid.

Sejatinya wacana ini sudah berlangsung lama sejak dimulai diterapkannya sistem zonasi pada penerimaan siswa baru tingkat SD dan SMP.

Di mana sistem zonasi atau penerimaan siswa berdasarkan jarak sekolah dan rumah siswa ini tidak lagi mensyaratkan nilai UN sebagai acuan utama.

Hingga kemudian wacana penghapusan UN ini digulirkan, sejumlah tokoh dan elemen masyarakat masih menganggap belum ada titik terang yang lebih baik.

Seperti dikatakan salah satu orang tua siswa di Lembaga Bimbingan Belajar Ganesha Operation Denpasar, AA Dwi mengatakan hingga saat ini ia belum tahu kejelasan pengganti sistem evaluasi akhir siswa ini.

Seperti diketahui, sistem evaluasi sekolah akhir ini rencana akan diganti dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter.

''Nah itu kan belum jelas. Kami sebagai orang tua belum sepenuhnya tahu antisipasi pengganti UN versi Mendikbud,'' katanya kepada Tribun Bali.

Menurut dia, UN sebenarnya sangat penting sebagai tolak ukur evaluasi siswa dalam menyerap materi dengan baik.

Sebagaimana misi awalnya, sekolah masih penting guna menimba ilmu pengetahuan.

Jika pada akhirnya ada sejumlah persoalan seperti UN bikin anak stress karena hanya menghafal, maka itu persoalan lain.

Ia juga menengarai adanya penurunan kualitas UN sejak diterapkannya sistem zonasi, tak terkecuali pada anaknya.

Masalahnya, kata dia, anaknya yang sudah ia ikutkan les di LBB pun kini seolah kehilangan semangat belajar sejak adanya sistem zonasi tersebut.

Hal ini cukup disayangkan, mengingat minat anaknya dalam belajar sebelum dua tahun terakhir sangat tinggi.

''Kan kasihan juga buat anak, dianya mikir ngapain capek-capek belajar kalau ujung-ujungnya diterima sekolah ditentuin berdasarkan jarak rumah,'' katanya.

Selebihnya, ia sependapat saja dengan peniadaan UN dan diganti dengan Asesmen Kompetensi Minimum dan Survei Karakter tersebut.

Sumber: Tribun Bali
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved