Liputan Khusus

Waspadai Tanah Kembang-Susut di Ubung Denpasar, Ahli Ini Ungkap Potensi Bahayanya

Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Pengurus Daerah (Pengda) Bali menemukan struktur tanah yang tak biasa di wilayah Kota Denpasar.

Penulis: I Wayan Sui Suadnyana | Editor: Ady Sucipto
Tribun Bali/Prima
Cekungan Air Tanah (CAT) di Pulau Bali. 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR -- Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Pengurus Daerah (Pengda) Bali menemukan struktur tanah yang tak biasa di wilayah Kota Denpasar.

Struktur tanah itu disebut expansive clay dan ditemukan tepatnya di wilayah Kelurahan Ubung Denpasar Utara.

Expansive clay ini merupakan struktur tanah lempung yang memiliki proses kembang dan susut sangat tinggi.

Tanah semacam ini akan mengembang pada saat musim hujan, dan kembali menyusut saat datangnya kemarau.

"Jadi di Denpasar Utara itu pernah kita teliti, ada expansive clay.

Ada lempungan yang mengembang.

Tanah di sana bersifat ekspansif," kata anggota IAGI Pengda Bali, Ida Bagus Ari Chandana, di Denpasar, Minggu (29/12).

Perihal expansive clay ini juga mencuat dalam focus group discussion (FGD) IAGI Pengda Bali pada Jumat (27/12) lalu di Denpasar.  

Keberadaan lempung yang mengembang ini cukup berbahaya, karena dapat menyebabkan kerusakan berbagai infrastruktur.

Dalam pengamatannya, Ari Candhana menemukan beberapa ruas jalan di wilayah Denpasar Utara mengalami gelombang, termasuk yang baru selesai diperbaiki, dan kemudian diketahui bahwa struktur tanahnya ekspansif.

Tidak hanya merusak infrastruktur, keberadaan expansive clay  juga menyebabkan rumah di kawasan itu banyak yang mengalami keretakan.

Guna mengatasi permasalahan ini, menurut Ari Candhana, terlebih dahulu harus diketahui berapa luas dan dalam keberadaan expansive clay tersebut.

"Kalau setengah meter, maka kupas saja expansive clay-nya.

Tanahnya yang bersifat ekspansif itu kita potong," tuturnya.

Sementara jika expansive clay tersebut dalam, maka harus dilakukan dengan sistem penstabilan tanah atau ditambah dengan kapur.

Ari Candhana mengatakan, keberadaan expansive clay ini masih perlu dilakukan kajian yang lebih mendalam.

Kajian lanjutan akan berguna untuk menentukan seperti apa kebijakan yang harus diambil terhadap adanya expansive clay tersebut.

"Kalau tidak ada kajian, maka kita cuma bisa mengamati saja. Namun, seberapa besarnya kita tidak tahu," jelasnya.

Bali di Ambang Krisis Air Bersih

Intensitas pengambilan air tanah (biasa disebut Air Bawah Tanah/ABT) meningkat tajam dalam dua dekade terakhir di Bali.

Itu seiring dengan pesatnya pembangunan, termasuk akomodasi wisata, dan bertambahnya jumlah penduduk serta wisatawan.

Dalam catatan akhir tahun 2019, Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Pengurus Daerah Bali menyebutkan bahwa tingkat eksploitasi air tanah yang terus-menerus dan makin intensif di Bali itu mengakibatkan terjadinya subsiden atau penurunan permukaan tanah.

Selain itu, eksploitasi air tanah secara masif berpotensi besar membawa Bali ke dalam keadaan krisis air tanah (air besih) tidak lama lagi.

“Jika bertolak dari keadaan saat ini, kondisi air tanah di Bali sedang tidak baik.

Jika tidak ada tindakan nyata untuk mengatasi eksploitasi air tanah yang terus-menerus, maka tidak usah menunggu waktu Bali akan mengalami krisis air,” jelas I Ketut Ariantana, Ketua IAGI Pengda Bali, yang bersama Ida Bagus Oka Agastya menyampaikan catatan akhir tahun IAGI kepada Tribun Bali akhir pekan lalu.

Pada 27 Desember 2019, IAGI Pengda Bali mengadakan musyawarah daerah sekaligus focus group discussion (FGD) yang antara lain mengangkat topik potensi gerakan tanah dan likuifaksi di Bali.

Disinggung pula tentang kondisi air tanah di provinsi ini.

Menurut Ariantana yang juga tergabung di Perhimpunan Ahli Air Tanah Indonesia (PAAI), potensi subsiden dan krisis air bersih ini sangat mungkin terjadi akibat cadangan air pada aquifer (lapisan batuan pembawa air tanah) di dalam lapisan tanah makin berkurang bahkan bisa habis.

“Akibatnya, ada ruang kosong pada lapisan batuan dalam tanah yang dapat berakibat terjadinya penurunan permukaan tanah,” kata Gus Oka Agastya. 

Saat ini, ungkap Ariantana, diperkirakan pemanfaatan air tanah di Indonesia sudah mencapai 70 persen lebih dari total sumber air bersih yang ada.

Dan di Bali, pemanfaatan air tanah dipekirakan lebih tinggi, yakni di atas 70 persen, terutama di Bali Selatan.

Sebab, hampir semua kegiatan usaha maupun rumah tangga menggunakan air tanah.

“Walaupun kita menggunakan air PDAM, sumber airnya juga sebagian besar air tanah. Nah, ketika krisis air, (berkurangnya) air tanah dituding sebagai kambing hitam.

Padahal pelakunya tiada lain tiada bukan adalah kita semua. Kita sebagai perusak lingkungan tak kentara,” tandas Ariantana.

Namun demikian, Ariantana menambahkan bahwa tidak hanya pengambilan air tanah secara berlebihan yang menyebabkan subsiden.

Ada beberapa faktor lain yang menyebabkan terjadinya subsiden. Di antaranya adalah litologi batuan, yaitu jenis lapisan batuan pada suatu lokasi atau kawasan.

Pada litologi batuan yang didominasi alluvium, potensi subsiden relatif besar. Sedangkan pada litologi yang didominasi sedimen gunung api maupun sedimen gamping, potensi subsiden relatif kecil.

Keseimbangan Terganggu

Ariantana mengungkapkan, yang jadi perhatiannya terutama adalah berkurangnya air tanah di Pulau Bali akibat pengambilannya yang terus meningkat dari tahun ke tahun.

“Ini memang konsekuensi dari pembangunan. Sedangkan air adalah kebutuhan pokok dan belum tergantikan hingga kini,” jelas Ariantana.

Berbicara air tanah, menurut PAAI, maka kita mesti memahami proses terbentuknya air tanah itu sendiri, yang merupakan bagian dari siklus hidrologi.

Siklus hidrologi adalah suatu siklus yang terjadi di dalam yang berkaitan dengan proses pembentukan air, baik di atmosfer mapun di bumi, dan hal ini tidak akan berhenti.

Siklus hidrologi terjadi di bumi dengan tujuan mempertahankan jumlah atau ketersediaan air. Siklus ini uga menjaga intensitas hujan, serta menjaga keseimbangan ekosistem yang ada di bumi agar semua tetap teratur.

Dibutuhkan waktu yang panjang, dalam hitungan tahunan bahkan sampai ratusan tahun, untuk terbentuknya air tanah, terutama pada aquifer tertekan.

Dari siklus hidrologi, kata Ariantana, keseimbangan terjadi secara alami. Jika salah-satu proses dari siklus tersebut berubah, misalnya karena ulah manusia, maka keseimbangan pasti akan terganggu.

Proses yang cenderung berubah di antaranya adalah akibat adanya pengambilan air tanah tidak secara alami. Misalnya, dengan cara pengeboran.

“Pengambilan air tanah dengan cara penggalian atau pengeboran ini tergolong rekayasa, bukan alami.

Terjadinya alih fungsi lahan, yang membuat berkurangnya area terbuka pada kawasan industri dan pemukiman juga berakibat pada berkurangnya infiltrasi air hujan ke dalam tanah.

Selain itu, berkurangnya kawasan hutan sebagai kawasan imbuhan mengurangi pula infiltrasi air hujan. Padahal air hujan itu merupakan bahan baku dari air tanah,” terang Ariantana.

Untuk mempertahankan keseimbangan siklus hidrologi, Ariantana meminta agar pengambilan air tanah di Bali dikendalikan.

Caranya, dengan mengurangi pengambilan air tanah, memaksimalkan pengambilan atau pemanfaatan air permukaan, serta melakukan konservasi sumber daya air (SDA).

“Begitu simple dan mudah disebutkan, tetapi sangat sulit dilaksanakan.

Sebab, langkah ini membutuhkan kesadaran dan pemahaman dari setiap individu maupun komunitas. Juga membutuhkan sinergitas antar instansi terkait.

Selain itu, yang penting adalah adanya komitmen dari setiap pimpinan dan kepala daerah. Karena berbicara SDA tidak bisa berpatokan pada batas administrasi kabupaten/kota,” jelas Ariantana.

Menurut dia, membandingkan Bali di tahun 80-an dengan Bali saat ini sudah tentu sangat berbeda.

Dari sisi jumlah penduduk, pada tahun 80-an masih sebanyak 2 juta jiwa, dan saat ini hampir mencapai 5 juta jiwa.

Pun jumlah pendatang (tidak tercatat sebagai penduduk Bali) dan wisatawan meningkat berlipat-lipat.

“Sesuatu yang alamiah jika kebutuhan air bersih pun meningkat tajam di Bali.

Pembangunan akomodasi wisata juga berkembang pesat ke segala kawasan, dengan alasan pengembangan ekonomi. Diiringi pula alih fungsi lahan produktif menjadi pemukiman,” katanya.

Selain itu, berkurangnya area imbuhan alami berakibat pada berkurangnya debit air permukaan. Kualitas air permukaan pun kurang baik akibat polusi sampah dan polusi limbah rumah tangga.

Kondisi-kondisi tersebut menyebabkan PDAM kewalahan dalam penyediaan air bersih. Dunia usaha maupun penduduk secara mandiri mencari alternatif, dan air tanah menjadi pilihan yang mudah dan efisien.

“Semua PDAM di Bali juga mengambil air tanah sebagai air yang didistribusikan (dijual).

Tapi di balik itu, pengambilan air tanah yang terus-menerus dan semakin intensif, dipastikan akan berakibat pada berkurangnya cadangan di dalam tanah.

Apalagi tingkat resapan air hujan ke dalam tanah juga berkurang.

Dapat dipastikan akan terjadi krisis air bersih. Akan makin cepat datangnya krisis itu jika pengambilan makin intensif, sementara intensitas resapan air hujan semakin berkurang,” jelas dia.

Agar Bali terhindar dari krisis air, menurut IAGI, sumber daya air di Provinsi Bali harus dikelola dengan konsep One Island, One Management dan ini akan sejalan dengan visi Gubernur Bali Nangun Sat Kerthi Loka Bali.

“Tinggal sekarang bagaimana dan dari mana memulainya. Sudah tentu semua bupati dan wali kota bersama gubernur mesti duduk bersama,” kata Ariantana.(*) 

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved