Omnibus Law
Ancam Aksi Demo Besar-besaran, Presiden KSPI Nilai Omnibus Law Hanya Omong Kosong Belaka
Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) akan melakukan aksi besar-besaran selama draf Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja
Ancam Gelar Aksi Besar-besaran
TRIBUN-BALI.COM, JAKARTA -- Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) akan melakukan aksi besar-besaran selama draf Omnibus Law Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja dibahas di DPR.
Hal tersebut disampaikan Presiden KSPI Said Iqbal dalam konferensi pers terkait respons rencana pembahasan Omnibus Law RUU Cipta Kerja di Jalan Proklamasi, Menteng, Jakarta Pusat, Minggu (16/2/2020).
KSPI secara tegas menolak Omnibus Law RUU Cipta Kerja tersebut karena isinya dianggap merugikan.
"Kami akan melakukan aksi besar-besaran selama pembahasan di DPR, kalaulah terpaksa disahkan yang merugikan buruh," ujar Said Iqbal.
Aksi besar-besaran itu, kata dia, tidak hanya akan dilakukan secara nasional, tetapi juga di daerah-daerah.
Bahkan tak menutup kemungkinan aksi tersebut akan melibatkan komponen yang lebih luas seperti mahasiswa.
Sebab, masa depan mereka di dunia kerja dinilai terancam.
Tak hanya itu, masyarakat yang mengeluarkan biaya tinggi untuk sekolah anaknya juga akan terancam karena mereka tak memiliki kepastian untuk anak-anaknya bekerja kelak.
"Indonesia terancam darurat kesejahteraan.
Oleh karena itu, aksi besar-besaran melibatkan semua masyarakat yang lebih luas dan masif akan dilakukan," kata dia.
"Menghentikan produksi, kalau memang itu terjadi dan merupakan sebuah pilihan bisa saja.
Tapi semua akan kami lakukan dengan tertib, damai sesuai prosedur tidak ada maksud untuk menyengsarakan, menyusahkan orang lain," lanjut dia.
Selain menggelar aksi besar-besaran, KSPI juga akan melakukan tindakan hukum untuk menolak Omnibus Law Cipta Kerja.
"Secara hukum kami akan lakukan judisial formil. Agar batalkan semua isi UU Omnibus Law, tidak hanya tentang ketenagakerjaan ke Mahkamah Konstitusi," kata dia.
Selain itu, pihaknya juga akan melakukan judicial review pasal-pasal mana yang merugikan. Pihaknya akan meminta MK membatalkan pasal yang merugikan.
"Berikutnya citizen law suit, gugatan warga negara, karena buruh sebagai warga negara dirugikan dengan sikap pemerintah yang sangat kapitalis dan liberal," kata dia.
Menurut Iqbal, adanya Omnibus Law RUU Cipta Kerja ini membuat dunia tenaga kerja diliberalisasi.
Hal tersebut terlihat dari pasal-pasal yang termuat dalam RUU tersebut.
"Orang tidak punya perlindungan terhadap upah dan pendapatan serta orang tidak dapat jaminan kesehatan dan pensiun," kata dia.
Setelah melakukan kajian terhadap RUU Cipta Kerja, ia menilai apa yang dilakukan pemerintah melalui Omnibus Law hanya omong kosong belaka.
"Kami minta DPR secara politik batalkan Omnibus Law RUU Cipta Kerja, khususnya klaster ketenagakerjaan dan semua yang berhubungan dengan ketenagakerjaan," jelas dia.
Lima Aturan Rugikan Buruh
1.Perubahan jam kerja
Versi RUU Omnibus Law:
Pada Pasal 77 RUU Cipta Kerja disebutkan setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja. Waktu kerja sebagaimana dimaksud paling lama 8 jam satu hari dan 40 jam satu minggu. Dan, pelaksanaan jam kerja bagi pekerja/buruh di perusahaan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.
Aturan Lama (UU No 13 Tahun 2003 Ketenagaakerjaan):
Aturan itu berbeda jika dibandingkan dengan UU Ketenagakerjaan. Di pasal 77 ayat 2 UU Ketenagakerjaan disebutkan waktu kerja diatur dalam dua bentuk. Pertama, sebanyak 7 jam sehari dan 40 jam seminggu untuk enam hari kerja dalam 1 minggu. Kedua, sebanyak 8 jam sehari dan 40 jam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam satu minggu.
2. Pemberian Lembur
Versi RUU Omnibus Law:
Terdapat penambahan waktu lembur yang dapat diberikan oleh pengusaha kepada pekerja. Di draft RUU Cipta Kerja yang diatur di pasal 78 ayat 1 huruf b disebutkan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 4 jam dalam satu hari dan 18 jam dalam satu minggu. Sementara itu, di pasal 78 ayat 2 disebutkan pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja wajib membayar upah kerja lembur
Aturan Lama:
Pada pasal 78 ayat 1 huruf b UU Ketenagakerjaan disebutkan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak tiga jam dalam satu hari dan 14 jam dalam satu minggu.
3. Perubahan Rumus Pesangon
Versi Omnibus Law:
Di draft RUU Cipta Kerja, komponen yang digunakan sebagai dasar perhitungan pesangon dan uang penghargaan masa kerja buruh ada dua. Pertama, upah pokok pekerja. Kedua, tunjangan tetap yang diberikan kepada buruh dan keluarganya.
Meskipun terjadi perubahan dasar penghitungan, jumlah pesangon yang diberikan apabila pekerja terjadi pemutusan hubungan kerja, tidak mengalami perubahan. Besaran pesangon paling banyak sembilan kali upah yang diberikan bagi buruh yang masa kerja 8 tahun atau lebih
Aturan Lama:
Untuk penghitungan pesangon, UU Ketenagakerjaan melihat komponen yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang pengganti yang seharusnya diterima pekerja adalah upah pokok.
4. Pemutusan Hubungan Kerja
RUU Omnibus Law:
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja atau buruh. Dalam hal kesepakatan tidak tercapai, penyelesaian pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Aturan Lama:
Di UU Ketenagakerjaan disebutkan pengusaha. pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK.
Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
5. Pengajuan Cuti Panjang
Versi Omnibus Law:
Di draft RUU Cipta Lapangan Kerja disebutkan perusahaan dapat memberikan cuti panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.
Aturan Lama:
Mengacu pada pasal 79 ayat 2 huruf d UU Ketenagakerjaan, disebutkan istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun. (kps/glery/tribunnetwork)