Omnibus Law

Upah Minimum Kota Bisa Rontok, KSPI Ungkap 9 Kerugian RUU Cipta Kerja bagi Kalangan Buruh

Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja yang biasa disebut Omnibus Law, menuai gelombang protes dari kalangan buruh.

Editor: Ady Sucipto
Tribun Bali/I Putu Supartika
Aksi dari Kirab menolak RUU Omnibus Law, di Denpasar, Bali, Kamis (6/2/2020). 

Poin keempat yang disoroti KSPI adalah soal jam kerja yang dinilainya eksploitatif.

Kelima, adanya potensi penggunaan tenaga kerja asing (TKA) kategori unskilled workers atau buruh kasar.

"Jadi tak perlu izin tertulis menteri. Pakai izin menteri saja, kini sudah masuk TKA China di proyek Meikarta, dan baru ketahuan tuh gara-gara isu virus corona. Kalau izin itu dihapus, maka akan mudah TKA buruh kasar masuk," kata dia.

Selanjutnya, Said memprotes poin mengenai ketentuan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang menurutnya dipermudah.

Ketujuh, berkurangnya jaminan sosial bagi pekerja buruh, khususnya jaminan kesehatan dan jaminan pensiun. Lalu, penggunaan karyawan kontrak yang tak terbatas.

"Untuk pekerja sakit dan pekerja yang dapat haid, dalam UU 13 tahun 2003, dua hari haid upah dibayar. Yang keluarga nikah, orang tua meninggal libur 1 hari tidak dipotong gaji. Di Omnibus Law tidak dibayar," kata dia.

Terakhir, soal sanksi pidana yang, kata Said, dihilangkan.

Menurut dia, belum ada pasal yang menyebutkan bahwa pengusaha akan mendapat sanksi apabila telat membayar upah maupun tak memberi pesangon.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Andi Gani Nena Wea, juga mengungkapkan hal yang sama dengan Said Iqbal.

Ia mengaku sangat terkejut dengan isi draft Omnibus Law Cipta Kerja karena banyak poin yang merugikan buruh.

"Saya masih teringat cita-cita ayahanda almarhum Jacob Nuwa Wea saat menyusun UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Aturan ini dibuat saat Jacob Nuwa Wea menjabat Mennakertrans di era Presiden Megawati," ujar Andi di Jakarta, Minggu (16/2).

"Isinya sangat melindungi nasib buruh, berbeda 180 derajat dengan Omnibus Law Cipta Kerja yang justru menyulitkan nasib buruh," sambungnya.

Menurutnya, ada banyak hak buruh yang dihapus dan tak lagi berlaku dengan hadirnya Omnibus Law, seperti perubahan jam kerja, sistem kerja, kerja kontrak, outsourcing, upah minimum, dan pesangon.

Selain itu, aturan tenaga kerja asing, sistem kerja dari long life menjadi fleksibel, serta soal jaminan sosial.

"Aturan yang membela nasib buruh dengan membatasi masa kontrak kerja, pesangon yang memadai, outsourcing terbatas untuk 5 jenis pekerjaan, sanksi pidana untuk pengusaha yang tidak menaati aturan dalam UU No 13 Tahun 2013, kenapa itu semua harus dihapuskan?" paparnya.

Sumber: Tribun Bali
Halaman 2 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved