Omnibus Law

Upah Minimum Kota Bisa Rontok, KSPI Ungkap 9 Kerugian RUU Cipta Kerja bagi Kalangan Buruh

Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja yang biasa disebut Omnibus Law, menuai gelombang protes dari kalangan buruh.

Editor: Ady Sucipto
Tribun Bali/I Putu Supartika
Aksi dari Kirab menolak RUU Omnibus Law, di Denpasar, Bali, Kamis (6/2/2020). 

Amelia juga menjelaskan bahwa Omnibus Law tetap mengutamakan perlindungan dan kesejahteraan para pekerja. 

Adapun terkait pernyataan bahwa Omnibus Law RUU Cipta kerja ini tertutup dari publik, ia menanggapi bahwa hal ini bukan ditutup-tutupi, namun memang belum waktunya untuk dibuka ke publik karena masih pada tahap identifikasi masalah. 

"Ketika sudah rampung keseluruhan draftnya dan diberikan kepada DPR untuk dibahas, barulah draft RUU tersebut dapat dikritisi atau ditanggapi oleh publik melalui mekanisme yang berlaku," ujarnya

Lima Aturan Rugikan Buruh

1.Perubahan jam kerja

Versi RUU Omnibus Law:

Pada Pasal 77 RUU Cipta Kerja disebutkan setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja. Waktu kerja sebagaimana dimaksud paling lama 8 jam satu hari dan 40 jam satu minggu. Dan, pelaksanaan jam kerja bagi pekerja/buruh di perusahaan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Aturan Lama (UU No 13 Tahun 2003 Ketenagaakerjaan):

Aturan itu berbeda jika dibandingkan dengan UU Ketenagakerjaan. Di pasal 77 ayat 2 UU Ketenagakerjaan disebutkan waktu kerja diatur dalam dua bentuk. Pertama, sebanyak 7 jam sehari dan 40 jam seminggu untuk enam hari kerja dalam 1 minggu. Kedua, sebanyak 8 jam sehari dan 40 jam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam satu minggu.

2. Pemberian Lembur

Versi RUU Omnibus Law:

Terdapat penambahan waktu lembur yang dapat diberikan oleh pengusaha kepada pekerja. Di draft RUU Cipta Kerja yang diatur di pasal 78 ayat 1 huruf b disebutkan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 4 jam dalam satu hari dan 18 jam dalam satu minggu. Sementara itu, di pasal 78 ayat 2 disebutkan pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja wajib membayar upah kerja lembur

Aturan Lama:

Pada pasal 78 ayat 1 huruf b UU Ketenagakerjaan disebutkan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak tiga jam dalam satu hari dan 14 jam dalam satu minggu.

3. Perubahan Rumus Pesangon

Versi Omnibus Law:

Di draft RUU Cipta Kerja, komponen yang digunakan sebagai dasar perhitungan pesangon dan uang penghargaan masa kerja buruh ada dua. Pertama, upah pokok pekerja. Kedua, tunjangan tetap yang diberikan kepada buruh dan keluarganya.

Meskipun terjadi perubahan dasar penghitungan, jumlah pesangon yang diberikan apabila pekerja terjadi pemutusan hubungan kerja, tidak mengalami perubahan. Besaran pesangon paling banyak sembilan kali upah yang diberikan bagi buruh yang masa kerja 8 tahun atau lebih

Aturan Lama:

Untuk penghitungan pesangon, UU Ketenagakerjaan melihat komponen yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang pengganti yang seharusnya diterima pekerja adalah upah pokok.

4. Pemutusan Hubungan Kerja

RUU Omnibus Law:

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja atau buruh. Dalam hal kesepakatan tidak tercapai, penyelesaian pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Aturan Lama:

Di UU Ketenagakerjaan disebutkan pengusaha. pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK.

Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.

5. Pengajuan Cuti Panjang

Versi Omnibus Law:

Di draft RUU Cipta Lapangan Kerja disebutkan perusahaan dapat memberikan cuti panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Aturan Lama:

Mengacu pada pasal 79 ayat 2 huruf d UU Ketenagakerjaan, disebutkan istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun. (glery/tribunnetwork)

Sumber: Tribun Bali
Halaman 4 dari 4
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved