Omnibus Law

Upah Minimum Kota Bisa Rontok, KSPI Ungkap 9 Kerugian RUU Cipta Kerja bagi Kalangan Buruh

Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja yang biasa disebut Omnibus Law, menuai gelombang protes dari kalangan buruh.

Editor: Ady Sucipto
Tribun Bali/I Putu Supartika
Aksi dari Kirab menolak RUU Omnibus Law, di Denpasar, Bali, Kamis (6/2/2020). 

Upah Minimum Kota Bisa Rontok, KSPI Ungkap 9 Kerugian RUU Cipta Kerja bagi Kalangan Buruh

TRIBUN-BALI.COM, JAKARTA – Rancangan Undang-undang (RUU) Cipta Kerja yang biasa disebut Omnibus Law, menuai gelombang protes dari kalangan buruh.

RUU yang dimaksudkan sebagai induk atau payung hukum untuk beberapa sektor seperti perizinan, upah buruh, investasi dan UMKM ini dianggap merugikan buruh.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) Said Iqbal menyebutkan, ada sembilan poin di draft RUU Omnimbus Law Cipta Kerja yang ditolak pihaknya.

Hal itu disampaikan Said saat konferensi pers di Jakarta, Minggu (16/2).

Pertama, terkait perubahan aturan upah minimum.

Said mempermasalahkan upah minimum kabupaten/kota (UMK) dan upah sektoral kabupaten/kota (UMSK) yang dihapuskan.

Sementara upah minimum provinsi (UMP) masih tercantum dalam pasal 88 C, yang berbunyi gubernur menetapkan upah minimum sebagai jaring pengaman.

"Ada yang bilang UMP ada, tapi itu tak dibutuhkan oleh buruh kecuali DKI Jakarta dan DIY. Di luar dua provinsi itu, UMP tidak dipakai. Yang dipakai UMK dan upah minimum sektoral," katanya.

Menurutnya, dalam RUU Cipta Kerja, UMK dan UMSK yang selama ini berlaku dihapus. Berarti upah minimum hilang.

Kalau dipaksakan UMP Jawa Barat tinggal Rp 1,8 juta’ UMK Kabupaten Bekasi yang besarnya Rp 4,4 juta, jadi turun drastis karena akan merujuk ke besaran UMP Jawa Barat.

Poin kedua yang ditolak adalah terkait pesangon. Dia memprotes ketentuan yang menyebutkan besaran pesangon yang harus dibayarkan maskimal hanya 17 kali gaji.

Ketiga, Said menyebut draft RUU Cipta Kerja membebaskan penggunaan tenaga kerja outsourcing di semua jenis pekerjaan dengan jam kerja tak terbatas.

"RUU Cipta Kerja membolehkan karyawan kontrak dan outsourcing bebas. Itu nyambung ke yang sebelumnya, berarti menghilangkan pesangon dong.

Bu Menteri Tenaga Kerja (Mennaker) Ida Fauziah bilang ada sweetener 5 bulan. Kita enggak butuh itu, butuhnya job security (keamanan kerja) dan salary security (keamanan gaji)," katanya.

Poin keempat yang disoroti KSPI adalah soal jam kerja yang dinilainya eksploitatif.

Kelima, adanya potensi penggunaan tenaga kerja asing (TKA) kategori unskilled workers atau buruh kasar.

"Jadi tak perlu izin tertulis menteri. Pakai izin menteri saja, kini sudah masuk TKA China di proyek Meikarta, dan baru ketahuan tuh gara-gara isu virus corona. Kalau izin itu dihapus, maka akan mudah TKA buruh kasar masuk," kata dia.

Selanjutnya, Said memprotes poin mengenai ketentuan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) yang menurutnya dipermudah.

Ketujuh, berkurangnya jaminan sosial bagi pekerja buruh, khususnya jaminan kesehatan dan jaminan pensiun. Lalu, penggunaan karyawan kontrak yang tak terbatas.

"Untuk pekerja sakit dan pekerja yang dapat haid, dalam UU 13 tahun 2003, dua hari haid upah dibayar. Yang keluarga nikah, orang tua meninggal libur 1 hari tidak dipotong gaji. Di Omnibus Law tidak dibayar," kata dia.

Terakhir, soal sanksi pidana yang, kata Said, dihilangkan.

Menurut dia, belum ada pasal yang menyebutkan bahwa pengusaha akan mendapat sanksi apabila telat membayar upah maupun tak memberi pesangon.

Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), Andi Gani Nena Wea, juga mengungkapkan hal yang sama dengan Said Iqbal.

Ia mengaku sangat terkejut dengan isi draft Omnibus Law Cipta Kerja karena banyak poin yang merugikan buruh.

"Saya masih teringat cita-cita ayahanda almarhum Jacob Nuwa Wea saat menyusun UU No 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Aturan ini dibuat saat Jacob Nuwa Wea menjabat Mennakertrans di era Presiden Megawati," ujar Andi di Jakarta, Minggu (16/2).

"Isinya sangat melindungi nasib buruh, berbeda 180 derajat dengan Omnibus Law Cipta Kerja yang justru menyulitkan nasib buruh," sambungnya.

Menurutnya, ada banyak hak buruh yang dihapus dan tak lagi berlaku dengan hadirnya Omnibus Law, seperti perubahan jam kerja, sistem kerja, kerja kontrak, outsourcing, upah minimum, dan pesangon.

Selain itu, aturan tenaga kerja asing, sistem kerja dari long life menjadi fleksibel, serta soal jaminan sosial.

"Aturan yang membela nasib buruh dengan membatasi masa kontrak kerja, pesangon yang memadai, outsourcing terbatas untuk 5 jenis pekerjaan, sanksi pidana untuk pengusaha yang tidak menaati aturan dalam UU No 13 Tahun 2013, kenapa itu semua harus dihapuskan?" paparnya.

Andi pun menyebut serikat buruh hingga saat ini tidak pernah diajak berdiskusi tentang Omnibus Law Cipta Kerja, meski pemerintah mengklaim telah berkomunikasi.

"Sebutkan dengan jelas siapa pimpinan buruh yang terlibat dari awal penyusunan RUU Cipta Kerja, jangan mengada-ada," ucapnya.

Sekretaris Umum Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI), Afif Johan juga memprotes hal yang sama.

Ia mengatakan, pemerintah tidak transparan dalam perumusan RUU Cipta Kerja.

"Proses pembuatan RUU Cipta Kerja ini kurang transparan. Karena kami tidak dilibatkan secara keseluruhan," ujarnya.

Seperti diberitakan sebelumnya, Surat Presiden (Surpres) terkait draft Omnibus Law Cipta Kerja sudah ditandatangani Presiden Joko Widodo dan disampaikan kepada pimpinan DPR RI pada Rabu (13/2) lalu.

Staf Ahli Bidang Hubungan Ekonomi dan Politik Hukum Keamanan Kemenko Perekonomian, Elen Setiadi mengatakan bahwa saat ini ada 45 juta orang angkatan kerja yang bekerja tidak penuh.

Jumlah itu terjadi karena mereka disebut tidak tercover penuh oleh Undang-Undang Ketenagakerjaan.

Untuk menyelesaikan masalah tersebut, kata Elen, Presiden Joko Widodo kemudian selalu menegaskan perlu adanya pembukaan lapangan kerja baru.

Hal itu disampaikan Elen dalam diskusi ‘RUU Omnibus Law Cipta Kerja` di Jakarta, Kamis (13/2) malam.

"Ada 45 juta orang angkatan kerja yang bekerja tidak penuh alias 38,3 persen. Dia tidak tercover penuh Undang-Undang Tenaga Kerja. Mereka ini harus dipikirkan," kata Elen.

Kepala Subdirektorat Standarisasi dan Fasilitas Pengupahan, Kemennakertrans, Amelia Diatri Tuangga Dewi, menyebut Omnibus Law merupakan kompilasi dari banyak undang-undang untuk mengatasi undang-undang yang tumpang tindih.

Omnibus Law juga berangkat dari situasi perubahan cepat dunia saat ini yang harus direspon dengan cepat pula.

"Melalui Omnibus Law, mekanisme perubahan hukum dapat lebih cepat dilakukan.

Misalnya saja, melalui RUU Cipta Kerja kita dapat memanusiakan manusia," ujar Amelia dalam pernyataannya, Kamis(13/2) lalu.

Amelia juga menjelaskan bahwa Omnibus Law tetap mengutamakan perlindungan dan kesejahteraan para pekerja. 

Adapun terkait pernyataan bahwa Omnibus Law RUU Cipta kerja ini tertutup dari publik, ia menanggapi bahwa hal ini bukan ditutup-tutupi, namun memang belum waktunya untuk dibuka ke publik karena masih pada tahap identifikasi masalah. 

"Ketika sudah rampung keseluruhan draftnya dan diberikan kepada DPR untuk dibahas, barulah draft RUU tersebut dapat dikritisi atau ditanggapi oleh publik melalui mekanisme yang berlaku," ujarnya

Lima Aturan Rugikan Buruh

1.Perubahan jam kerja

Versi RUU Omnibus Law:

Pada Pasal 77 RUU Cipta Kerja disebutkan setiap pengusaha wajib melaksanakan ketentuan waktu kerja. Waktu kerja sebagaimana dimaksud paling lama 8 jam satu hari dan 40 jam satu minggu. Dan, pelaksanaan jam kerja bagi pekerja/buruh di perusahaan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.

Aturan Lama (UU No 13 Tahun 2003 Ketenagaakerjaan):

Aturan itu berbeda jika dibandingkan dengan UU Ketenagakerjaan. Di pasal 77 ayat 2 UU Ketenagakerjaan disebutkan waktu kerja diatur dalam dua bentuk. Pertama, sebanyak 7 jam sehari dan 40 jam seminggu untuk enam hari kerja dalam 1 minggu. Kedua, sebanyak 8 jam sehari dan 40 jam 1 minggu untuk 5 hari kerja dalam satu minggu.

2. Pemberian Lembur

Versi RUU Omnibus Law:

Terdapat penambahan waktu lembur yang dapat diberikan oleh pengusaha kepada pekerja. Di draft RUU Cipta Kerja yang diatur di pasal 78 ayat 1 huruf b disebutkan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak 4 jam dalam satu hari dan 18 jam dalam satu minggu. Sementara itu, di pasal 78 ayat 2 disebutkan pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh melebihi waktu kerja wajib membayar upah kerja lembur

Aturan Lama:

Pada pasal 78 ayat 1 huruf b UU Ketenagakerjaan disebutkan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak tiga jam dalam satu hari dan 14 jam dalam satu minggu.

3. Perubahan Rumus Pesangon

Versi Omnibus Law:

Di draft RUU Cipta Kerja, komponen yang digunakan sebagai dasar perhitungan pesangon dan uang penghargaan masa kerja buruh ada dua. Pertama, upah pokok pekerja. Kedua, tunjangan tetap yang diberikan kepada buruh dan keluarganya.

Meskipun terjadi perubahan dasar penghitungan, jumlah pesangon yang diberikan apabila pekerja terjadi pemutusan hubungan kerja, tidak mengalami perubahan. Besaran pesangon paling banyak sembilan kali upah yang diberikan bagi buruh yang masa kerja 8 tahun atau lebih

Aturan Lama:

Untuk penghitungan pesangon, UU Ketenagakerjaan melihat komponen yang digunakan sebagai dasar perhitungan uang pesangon, uang penghargaan masa kerja dan uang pengganti yang seharusnya diterima pekerja adalah upah pokok.

4. Pemutusan Hubungan Kerja

RUU Omnibus Law:

Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) dilaksanakan berdasarkan kesepakatan antara pengusaha dengan pekerja atau buruh. Dalam hal kesepakatan tidak tercapai, penyelesaian pemutusan hubungan kerja dilakukan melalui prosedur penyelesaian perselisihan hubungan industrial sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Aturan Lama:

Di UU Ketenagakerjaan disebutkan pengusaha. pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK.

Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.

5. Pengajuan Cuti Panjang

Versi Omnibus Law:

Di draft RUU Cipta Lapangan Kerja disebutkan perusahaan dapat memberikan cuti panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Aturan Lama:

Mengacu pada pasal 79 ayat 2 huruf d UU Ketenagakerjaan, disebutkan istirahat panjang sekurang-kurangnya 2 (dua) bulan dan dilaksanakan pada tahun ketujuh dan kedelapan masing-masing 1 (satu) bulan bagi pekerja/buruh yang telah bekerja selama 6 (enam) tahun secara terus-menerus pada perusahaan yang sama dengan ketentuan pekerja/buruh tersebut tidak berhak lagi atas istirahat tahunannya dalam 2 (dua) tahun berjalan dan selanjutnya berlaku untuk setiap kelipatan masa kerja 6 (enam) tahun. (glery/tribunnetwork)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved