Gerubug Bah Bedeg, Wabah Mengerikan Pernah Menerjang Bali dan Tercatat dalam Lontar

Menurut budayawan dan pegiat lontar, Sugi Lanus, dulu Bali pernah terpapar atau terkena wabah mengerikan.

Penulis: Putu Supartika | Editor: Eviera Paramita Sandi
Tribun Bali/Rizal Fanany
Gunung Agung saat diabadikan dari Pura Besakih,Karangasem,Jumat (22/9/2017) 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR- Menurut budayawan dan pegiat lontar, Sugi Lanus, dulu Bali pernah terpapar atau terkena wabah mengerikan.

Menurutnya, wabah tersebut tercatat dalam beberapa lontar.

Salah satunya terekam dalam Geguritan Jayaprana.

“Geguritan ini bukan salah hanya hayalan penduduk dan bukan cerita sebelum tidur biasa. Ini adalah rekaman peristiwa wabah endemik yang sempat menghancurkan kehidupan di masa lalu yang lokasi kejadiannya di desa Kalianget, kecamatan Seririt, Buleleng,” kata Sugi Lanus, Sabtu (21/3/2020).

Menurut Sugi Lanus, tak jauh dari Desa Kalianget, terdapat cerita rakyat tentang asal-usul nama desa Sidatapa yang juga punya kenangan tentang wabah yang menghancurkan desanya.

“Mereka menyebutnya sebagai Gering Gerubug Bah Bedeg. Menurut cerita orang-orang tua ada wabah besar terjadi di desa Sidatapa. Secara temurun dikisahkan dahulunya desa Sidatapa bernama desa Gunung Sari. Cikal-bakalnya ada kelompok keluarga yang terpisah-pisah tinggal di kawasan pedusunan Leked, Kunyit, dan Sengkarung. Ketiganya ini bergabung membentuk desa. Dinamakan Desa Gunung Sari,” imbuhnya.

Tidak dikisahkan setelah berapa tahun kemudian, desa yang tenang ini berubah mencekam.

Namun banyak kematian tiba-tiba dan tak masuk akal yang membuat warga ketakutan.

Kemudian datang seorang pertapa yang membantu dan setelah mendapat petunjuk dari tapanya tersebut akhirnya warga bisa diselamatkan.

“Desa ini kemudian namanya diganti menjadi Desa Sidatapa. Dimaksudkan sebagai desa yang selamat karena seorang pertapa ‘siddha’ (berhasil) melakukan ‘tapa’,” katanya.

Tak hanya penduduk Sidatapa, Desa Pedawa, Desa Banjarasem, dan Desa Kalisada , juga mengenal kisah gerubug ini dan mereka mengenal dengan Gering Bah Bedeg.

Masyarakat desa Julah termasuk Sembiran, kecamatan Tejakula, punya kisah mendalam tanaman gerubug, sakit gede, bah bedeg dan gering agung.

Jika penduduknya keluar desa, mereka membawa daun intaran atau mimba (Azadirachta indica).

“Menurut sejarahnya daun ini menyelamatkan masyarakat Julah dari gerubug. Intaran (Mimba) menjadi tanaman yang wajib ada di setiap rumah masyarakat. Tanaman ini di Julah sangat disakralkan, karena jasa menyelamatkan leluhurnya, dan khasiatnya sampai sekarang terbukti menyembuhkan berbagai penyakit. Intaran terus dipakai sampai saat ini sebagi sarana upacara seperti tepung tawar. Bisa juga daunnya diusapkan di tangan untuk mematikan bakteri,” katanya.

Sugi Lanus mengatakan gerubug memiliki arti wabah yang menelan kematian mendadak dan serempak, tidak ditemukan gejala lama, langsung mewabah dan menewaskan.

“Kata gerubug bisa dipakai ketika ternak mati mendadak serempak, dan juga kematian manusia yang terjadi serempat dan mewabah,” paparnya.

Istilah gerubug ini banyak disebut dalam lontar-lontar Bali seperti Usada buduh, Usada Rarae, Usada kacacar, Usada Tuju, usada Paneseb, Usada Dalem, Usada Ila, Usada bebai, Usada Ceraken Tingkeb, Usada Tiwang, Usada Darmosada, Usada Uda, Usada Indrani, Usada Kalimosada, Usada Kamarus, Usada Kuranta Bolong, Usada Mala, Usada Rukmini Tatwa, Usada Smaratura, Usada Upas, Usada Yeh, Usada Buda Kecapi, Usada Cukil Daki, Usada Kuda, Usada Pamugpug, dan Usada Pamugpugan, dan lontar lainnya.

“Kita mengenal ratusan penyakit (gering) yang pernah menimpa masyarakat Bali. Lontar ini adalah bukti kalau Bali pernah terpapar berbagai wabah. Salah satunya yang sangat ditakuti adalah gerubug,” katanya.

Bahkan menurut Sugi Lanus, di Dukuh Penaban, Karangasem memiliki tarian Canglongleng.

Tari ini mengisahkan ketika Dukuh Penaban mengalami gerubug.

Kemudian ada orang pintar di desa mendapat pawisik untuk mengusir gerubug ini.

“Dilakukanlah upacara mecaru atau suguhan dengan mengogong Ida Bhatara dengan busana poleng atau hitam putih. Sambil bersorak sorak ‘aahh iiihhh uuuhhh..’ Setelah itu dilakukan gerubug pun hilang. Bendesa Dukuh Penaban menyebutkan tarian itu sampai saat ini selalu ditarikan setiap ada upacara atau aci di Pura Puseh Desa Dukuh Penaban,” katanya.

Sehingga dengan pengalaman di masa lalu ini, menurutnya masyarakat harus waspada.

 “Bhuta-Kala dan Dewa itu juga ciptaan Hyang Widhi. Ada kalanya Bhuta-Kala lewat atau nyelang margi (pinjam jalan), maka kita yang menepi dan mabrata mengurung diri. Artinya juga kita diminta melakukan brata. Kalau sudah selesai paragin nyane (jalan mereka) kita bisa keluar sebagai mana mestinya. Bahkan Gunung Agung meletus kita orang Bali menyebut kalau Ida makarya tur mamargi (Beliau bekerja dan berjalan). Kalau kekuatan alam sedang bergerak, kita yang nalar dan eling yang minggir dan menepi,” katanya. (*)

Sumber: Tribun Bali
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved