Corona di Bali
Dari Rumah Ibadah hingga Membayangkan Berakhirnya Pandemi Corona
Corona telah mengajarkan banyak hal yang tak hanya ihwal kesehatan, tetapi juga relasi sosial, budaya, ekonomi, hingga politik.
Penulis: Widyartha Suryawan | Editor: Ady Sucipto
TRIBUN-BALI.COM - Rumah-rumah ibadah seketika sepi, bahkan ada yang ditutup sejak beberapa hari terakhir.
Kawan saya, yang biasanya salat jumat berjamaah di masjid, harus beribadah di rumah.
Kawan yang Kristen punya cerita: saat misa dua minggu lalu, ritus jabat tangan salam damai untuk sementara waktu ditiadakan, mencelupkan tangan ke air suci juga tak diwajibkan.
Demikian pula umat Hindu Bali. Turunnya Sang Kala Korona ke muka bumi mengharuskan prosesi melasti yang biasanya semarak dengan iring-iringan, kini dibatasi.
Arak-arakan ogoh-ogoh serta keriuhannya saat malam pengerupukan, ditiadakan.
Sasih Kesanga (bulan kesembilan dalam sistem penanggalan Bali) seakan mengingatkan kembali kisah-kisah mistis tentang merajalelanya wabah penyakit.
Nyaris tak ada otoritas agama yang tak tunduk untuk menghindari kerumunan umatnya yang pada hari normal selalu memenuhi tempat-tempat ibadah.
Merapal doa serta puja-puji pada Sang Maha – pada beberapa hari terakhir – cukup dari rumah masing-masing.
Saya menemukan gambar menarik di Twitter terkait kondisi ini. Dalam gambar tersebut, tampak tiga orang petinggi agama yang berbeda menunggu seorang pakar ilmiah sedang melakukan riset di depannya.
Kemudian gambar tersebut dipertegas dengan tulisan: All religions waiting for a positive response from Science.
Belum pernah saya saksikan ada wabah yang lebih mengerikan daripada apa yang terjadi saat ini.
Covid-19 yang pertama kali ditemukan di Wuhan, China, pada akhir 2019 lalu, kini telah menjadi pandemi global.
Tak hanya orang-orang biasa; banyak pesohor, pejabat, selebritis, yang beragama, agnostik, atheis, dan sebagainya telah terjangkit wabah tersebut.
Awal Maret lalu, pemerintah Indonesia mengumumkan dua orang positif Covid-19 untuk pertama kalinya. Hanya dalam waktu dua pekan, jumlahnya melonjak tajam.
Data terbaru hingga 28 Maret 2020, sudah ada 1.155 kasus yang terkonfirmasi positif dan 102 orang meninggal dunia karena corona di Indonesia.
Sementara secara global, Johns Hopkins University & Medicine mencatat, 662 ribu telah terkonfirmasi positif dan 30 ribu nyawa dari 177 negara dinyatakan melayang akibat corona.
Statistik tersebut bisa jadi terus bertambah.
Untuk memutus rantai penyebaran virus corona, masyarakat diminta menghindari kerumunan (social distancing dan physical distancing) seiring meningkatnya jumlah kasus positif corona.
Sejumlah perusahaan memberlakukan kebijakan work from home bagi para buruhnya.
Di Bali, tak sedikit saya dengar ada pekerja yang dirumahkan tanpa dibayar, terutama para abdi pariwisata.
Sekolah-sekolah ditutup, para siswa diminta belajar di rumah. Tempat-tempat wisata menyusul ditutup.
Jalanan yang biasanya macet dengan suara klakson yang meraung-rangung, perlahan mulai lengang.
Di tengah banyaknya manusia yang menjerit -- baik yang terjangkit corona maupun tidak -- kabarnya, di masa karantina selama wabah corona ini, lapisan ozon justru mulai pulih.
Menurut New Scientist, lubang di lapisan ozon di atas Antartika terus pulih, yang menyebabkan perubahan sirkulasi atmosfer.
Mungkinkah corona adalah cara Semesta untuk memulihkan dirinya?
Membayangkan Pandemi Berakhir
Saat ini negara-negara di dunia sedang berusaha untuk mengakhiri pandemi ini.
China, sebagai negara yang pertama kali terjangkit corona, perlahan-lahan mulai pulih.
Italia kemudian sempat menyusul dengan catatan kasus positif Covid-19 terbanyak mengungguli Negeri Tirai Bambu itu.
Dalam beberapa hari terakhir, jumlah kasus terkonfirmasi positif Covid-19 Amerika Serikat melesat jauh mengungguli kedua negara tersebut dengan 124 ribu kasus (per 28 Maret 2020). Sementara Italia 92 ribu kasus, dan China 82 ribu kasus.
Kita tidak tahu kapan pandemi ini berakhir.
Yuval Noah Harari penulis berkebangsaan Israel yang menulis trilogi ‘Sapiens’, ‘Homo Deus’ dan ‘21 Lessons for the 21st Century’ menyebut manusia tengah menghadapi krisis global – mungkin krisis terbesar generasi kita.
Dalam satu artikelnya yang dimuat di Financial Times baru-baru ini, ia percaya bahwa pandemi ini akan berakhir jika disongsong oleh solidaritas global.
Pertama dan terutama, kata Harari, untuk mengalahkan virus kita perlu berbagi informasi secara global. Itulah keuntungan besar manusia daripada wabah ini.
Harari melanjutkan: “Coronavirus di Cina dan coronavirus di AS tidak dapat bertukar tip tentang cara menginfeksi manusia. Tetapi Cina bisa mengajarkan banyak pelajaran berharga kepada AS tentang coronavirus dan cara mengatasinya.
“Apa yang ditemukan seorang dokter Italia di Milan di pagi hari mungkin bisa menyelamatkan nyawa di Teheran pada malam hari. Ketika pemerintah Inggris ragu-ragu antara beberapa kebijakan, itu bisa mendapatkan saran dari Korea yang telah menghadapi dilema yang sama sebulan lalu. Tetapi agar ini terjadi, kita membutuhkan semangat kerja sama dan kepercayaan global.”
Sekarang mari kita membayangkan jika pandemi ini telah berakhir. Tampaknya akan ada cukup banyak perubahan dalam kebudayaan manusia di waktu yang akan datang.
Lihat saja saat ini hampir seluruh manusia di dunia telah didisiplinkan pada masa pandemi ini.
Corona telah mengajarkan banyak hal yang tak hanya ihwal kesehatan, tetapi juga tentang relasi sosial, budaya, ekonomi, hingga konstelasi politik yang turut mengalami penyesuaian-penyesuaian.
Yang terdekat adalah cara kita memperlakukan orang lain juga telah berubah.
Manusia mulai membiasakan diri dengan hal baru yang tidak mereka lakukan ketika dalam kondisi normal.
Tak mudah memang menyambut hal baru ketika kita sudah merasa sangat nyaman dengan kondisi sebelumnya.
Terlebih lagi bagi mereka yang sudah menikmati keuntungan pada situasi sebelum pandemi.
Banyak yang mengutuk kondisi ini, tetapi Semesta terlalu digdaya.
Maka barangkali, inilah saatnya bagi kita semua, untuk berhenti sejenak sembari melihat Semesta bekerja. (*)