Menggagas Kembali Bedugul Sebagai Cagar Biosfer
Bedugul adalah kawasan hutan pegunungan yang ada di tengah-tengah pulau Bali. Merupakan peninggalan gunung berapi purba.
Penulis: Zaenal Nur Arifin | Editor: Ida Ayu Suryantini Putri
Laporan Wartawan Tribun Bali, Zaenal Nur Arifin
TRIBUN-BALI.COM, TABANAN - Setiap tanggal 22 April masyarakat dunia memperingatinya sebagai Hari Bumi Sedunia (Earth Day).
Berawal dari sebuah gerakan nasional di Amerika Serikat pada tahun 1970, saat ini hari bumi diperingati dengan berbagai kegiatan bernapaskan kecintaan terhadap alam di 193 negara.
Tanggal 22 April dipilih karena bertepatan pada musim semi di Northern Hemisphere (belahan Bumi utara) dan musim gugur di belahan Bumi selatan.
Adalah Gaylord Nelson, seorang senator Amerika Serikat yang juga seorang pengajar lingkungan hidup, terispirasi oleh banyaknya protes dan demontrasi dari pelajar di Amerika Serikat terkait perang di Vietnam.
Ditambah lagi kasus tumpahan minyak di pesisir Santa Barbara, California pada tahun 1969.
Kasus tumpahan minyak tersebut seakan menjadi tonggak awal bagi Nelson setelah sebelumnya ia kerap dihubungkan dengan aksi kepedulian terhadap lingkungan.
Berbagai kegiatan dan langkah yang dilaksanakan pada peringatan hari bumi bertujuan untuk melindungi agar tetap sehat dan aman jika tidak ada yang membuatnya semakin rusak.
Bumi yang tidak dijaga dengan baik, akan berdampak bagi lingkungan maupun manusia yang hidup di dalamnya. Salah satunya adalah bencana alam dan wabah penyakit.
“Di tengah wabah Covid -19 ini kita dipaksa untuk meninjau kembali relasi kita dengan alam" ungkap Kepala BKT Kebun Raya Eka Karya Bali-LIPI, Didit Okta Pribadi, Selasa (21/4/2020).
Dijelaskannya bahwa, tidak bisa dipungkiri, hilangnya hutan telah mendorong intensitas interaksi manusia dengan kehidupan alam liar sehingga proses transmisi penyakit dari hewan liar ke manusia bisa terjadi.
“Bumi punya caranya sendiri untuk melakukan recovery. Marilah kita mulai bijak dalam berperilaku dan sudah saatnya konservasi dipandang tidak hanya sebagai upaya penyelamatan bumi tetapi juga merupakan upaya untuk menyelamatkan kemanusiaan" tegasnya.
Bedugul adalah kawasan hutan pegunungan yang ada di tengah-tengah pulau Bali. Merupakan peninggalan gunung berapi purba.
Cekungan (basin) endorheik (terkungkung) Bedugul yang berada di perbatasan dua kabupaten Tabanan-Buleleng, Provinsi Bali, merupakan lanskap penting untuk konservasi, penduduk, pertanian, pariwisata, agama, dan budaya.
Aktivitas manusia yang berkembang pesat di wilayah ini menimbulkan kekhawatiran, terutama di zona penyangga, yang secara ekologis tidak dapat dipisahkan dari keberadaan tiga danau (Beratan, Buyan, dan Tamblingan).
Menurut Sutomo, peneliti ekologi di Kebun Raya Bali, telah terlihat adanya perubahan penggunaan lahan di wilayah Bedugul, termasuk wilayah tri-danau, jika dilihat dengan teknik pengindraan jauh dan analisis citra satelit.
Lebih lanjut Sutomo menjelaskan apabila tanpa penerapan teknik konservasi tanah dan air yang tepat dapat menyebabkan erosi, penurunan kualitas air serta sidimentasi dan dapat merusak fungsi area danau sebagai daerah tangkapan air.
Pada tahun 2005, Kebun Raya Bali - Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) bekerjasama dengan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Provinsi Bali mengadakan simposium berjudul "Analisis Daya Dukung dan Kapasitas Sumber Daya di Tri-Danau, Beratan, Buyan, dan Tamblingan".
Direkomendasikan bahwa beberapa spesies tanaman asli di daerah tersebut dapat diperkenalkan kembali untuk mengembalikan fungsi penyangga danau.
Beberapa spesies ditemukan secara alami, seperti cemara pandak (Podocarpus imbricatus) dan cemara geseng (Casuarina junghuhniana).
Adapun beberapa jenis bambu, seperti Scizostachyum branchycladum, Dendrocalamus asper, dan Gigantoclhoa apus, dapat dimanfaatkan karena tanaman ini dapat menjaga sistem air.
Bahkan, seperti Pinanga arinasae (pinang) dan Dicksonia blumei (tumbuhan paku) merupakan spesies langka yang dapat ditemukan di daerah Bukit Pohen Bedugul.
Dalam simposium tersebut juga diusulkan model manajemen yang sesuai dengan daerah cekungan terkungkung Bedugul yaitu pengelolaan dengan konsep cagar biosfer (CB).
Cagar Biosfer adalah situs yang ditunjuk oleh berbagai negara melalui kerjasama program UNESCO-MAB untuk mempromosikan konservasi keanekaragaman hayati dan genetika dalam harmoni dengan pembangunan ekonomi dan kearifan budaya lokal.
Di Indonesia, meskipun kata cagar biosfer telah tercantum dalam undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, namun belum banyak diketahui oleh masyarakat umum.
Cagar biosfer diakui secara internasional sebagai bagian dari program MAB-UNESCO untuk mempromosikan keseimbangan hubungan antara manusia dan alam.
Cagar biosfer memiliki fungsi pendukung penelitian, pemantauan dan proyek percontohan serta pendidikan dan pelatihan.
Dengan demikian, cagar biosfer tidak hanya untuk konservasi, tetapi juga menjadi upaya untuk mengimplementasikan pembangunan berkelanjutan.
Dalam salah satu kegiatan penelitian oleh Kebun Raya Bali (2010) untuk mempelajari keanekaragaman flora dan potensi karbon di Bukit Pohen (salah satu kawasan hutan di Bedugul) terungkap bahwa di dalam petak sampel seluas 1 ha, sangat kaya dengan keanekaragaman hayati, termasuk beberapa spesies flora langka yang harus dilindungi.
Dengan demikian, potensi hayati yang kaya dan unik di balik ancaman degradasi hutan dan alih fungsilahan di daerah cekunganter kungkung Bedugul dapat menjadi pendorong untuk mewujudkan Bedugul sebagai cagar biosfer berikutnya di Indonesia.
Informasi mengenai kondisi biofisik kawasan Bedugul ini saat ini sudah terangkum di dalam sebuah buku yang disusun oleh para peneliti Kebun Raya Bali yang di release di 2018 oleh SEAMEO- BIOTROP.
Diharapkan jika suatu saat Bedugul dapat diusulkan menjadi cagar biosfer, maka buku ini dapat menjadi kerangka acuan yang sangat relevan.
Sekali lagi, kami mengucapkan “Selamat Hari Bumi Internasional 2020”.(*)