Liputan Khusus

Kasus Kekerasan Seksual di Denpasar Tinggi, Pelaku Didominasi Adalah Orang Terdekat Korban

Di Kota Denpasar, ada puluhan kasus kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak di Denpasar.

Penulis: I Wayan Erwin Widyaswara | Editor: Ady Sucipto
Tribunnews
Ilustrasi korban pelecehan seksual 

TRIBUN-BALI.COM, DENPASAR -- Di Kota Denpasar, ada puluhan kasus kekerasan seksual yang dialami oleh anak-anak di Denpasar.

Jumlah tersebut relatif meningkat dari tahun ke tahun.

Dari data Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (P2TP2A), tercatat puluhan anak-anak menjadi korban kekerasan seksual setiap tahun.

“Untuk kekerasan seksual memang cukup tinggi di Denpasar. Sebetulnya kekerasan seksual tidak ada tolok ukur atau indikator untuk menentukan tinggi atau rendahnya kekerasan.

Dengan adanya satu kekerasan seksual pun harus ditangani segera karena dampaknya bagi anak-anak sangat besar karena menyangkut masa depan mereka,” kata Pendamping Hukum P2TP2A Kota Denpasar, Gusti Ayu Agung Yuli Marhaeningsih saat ditemui Tribun Bali belum lama ini.

Teliti dan Pencemburu, Ini Nasib Lahir Senin Umanis Watugunung

Pendidikan Kespro di Denpasar Masih Dianggap Tabu, Begini Sebabnya

Pengakuan Mengejutkan 4 Pria Penganiaya & Pembunuh Anjing di Kuta: Dibakar & Dikonsumsi di Kos

Dalam lingkup Bali secara keseluruhan, kasus kekerasan seksual pada anak juga tergolong tinggi.

Bahkan, pada tahun 2014 sampai 2016 silam itu, Bali sempat mendapat rapor merah dari Komnas Perlindungan anak.

“Kasus kekerasan seksual di Bali sangat tinggi. Bahkan sempat diberikan rapor merah oleh Komnas Perlindungan Anak,” kata Ketua Harian P2TP2A Kota Denpasar, Luh Putu Anggreni, beberapa waktu lalu.

Dari catatan P2TP2A Denpasar, kasus kekerasan seksual di Kota Denpasar menunjukkan peningkatan dari tahun ke tahun.

Rinciannya, pada tahun 2012 jumlah kasus kekerasan seksual yang tercatat di Denpasar sebanyak 22 kasus, 2013 (22 kasus), 2014 (38 kasus), 2015 (49 kasus), 2016 (46 kasus), 2017 (28 kasus), 2018 (34 kasus), dan 2019 (24 kasus).

“Data tersebut bersumber dari pengaduan korban yang datang langsung ke kami, dan dari catatan Polresta Denpasar yang diberikan ke kami setiap tahun,” kata Marhaeni.

Marhaeni yang selama ini menjadi pendamping para korban kekerasan seksual di Denpasar mengungkapkan rata-rata dalam kasus kekerasan seksual tersebut, para pelakunya adalah orang-orang terdekat korban, seperti keponakan, kakek, kakak, bahkan tak jarang ayah kandung korban, serta orang-orang terdekat korban di lingkungan sekolah baik teman, maupun oknum guru.

Ia juga mengungkap bahwa meningkatnya kasus kekerasan seksual pada anak tak terlepas dari pengaruh media sosial yang semakin melekat dalam dunia anak-anak dan remaja saat ini.

Kasus yang menimpa gadis yang masih kelas 6 SD tahun 2017 di Denpasar misalnya, ia harus menahan malu akibat dihamili oleh seorang pemuda yang baru dikenal di media sosial.

Pun begitu dengan kasus yang menimpa remaja SMP di Denpasar yang sempat trauma dan terpaksa melanjutkan sekolah di luar negeri karena video syurnya bersama pasangan tersebar di grup grup WA di Bali.

Saat ini, P2TP2A Denpasar juga menangani anak perempuan berusia 13 tahun yang tahun 2019 lalu diperkosa oleh sepupunya hingga hamil.

Setelah anaknya lahir, ia kembali diperkosa oleh mertuanya.

“Jadi dia takut sebelumnya dan bingung harus bagaimana, akhirnya dulu dinikahi oleh pelaku, dan setelah anaknya lahir, dia disetubuhi mertuanya.

Saya sudah edukasi orangnya, saya siap dampingi untuk proses hukum, tapi dia masih ragu-ragu,” ungkap Marhaeni.

Kasus kekerasan seksual pada anak juga sempat dialami oleh anak-anak atau perempuan yang mengalami disabilitas atau gangguan psikologis.

Meskipun usia wanita tersebut sudah tergolong dewasa, namun menurut Marhaeni, sebetulnya psikologis wanita tersebut masih anak-anak lantaran mengalami gangguan mental.

“Untuk korban yang disabilitas ini banyak sekali terjadi di Bali. Terkadang sampai diperkosa berkali-kali, sampai tidak diketahui siapa orang yang menghamili korbannya. Di sana kadang polisi kebingungan biasanya,” ungkap Marhaeni.

Bahkan, baru baru ini P2TP2A Denpasar juga mendampingi sejumlah anak yang menjadi korban pelecehan di sebuah asram tempat belajar spiritual.

Mereka seperti diberikan sugesti sehingga setengah sadar, kemudian pelaku mencium dan meraba-raba si perempuan yang usianya masih remaja.

“Kalau yang ini kasusnya sudah sampai ke ranah pengadilan, tapi polisi belum pernah mengungkapnya, karena kan berbahaya kalau identitas anak diketahui,” ujar Marhaeni.

Selama mendampingi anak yang menjadi korban kekerasan seksual, Marhaeni menyebut para pelaku juga kerap membela diri dengan dalih suka sama suka.

Namun dalam UU No 35 Tahun 2014 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, diatur bahwa meskipun suka sama suka, apabila korban adalah anak, pelaku tetap dikenakan hukuman minimal 5 tahun penjara, atau maksimal 15 tahun penjara. (win)

Kasus Kekerasan Seksual di Denpasar
Tahun 2012: 22 kasus
Tahun 2013: 22 kasus
Tahun 2014: 38 kasus
Tahun 2015: 49 kasus
Tahun 2016: 46 kasus
Tahun 2017: 28 kasus
Tahun 2018: 34 kasus
Tahun 2019: 24 kasus

Sumber: Tribun Bali
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved